Minggu, 03 Maret 2013

Tantangan Ulama Muda


Tantangan Ulama Muda
Hamid Fahmy Zarkasyi  ;  Ketua Majelis Intelektual
dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
REPUBLIKA, 02 Maret 2013


Pada 28 Februari 2013, usia Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) genap setahun. Ini adalah perjalanan singkat dari sebuah gerakan pemikiran dan sekaligus sosial. Waktu setahun bagi organisasi telah cukup untuk belajar dan melihat tantangan umat Islam di Indonesia dan dunia. Yang jelas, tantangan umat Islam dewasa ini belum sebanding dengan sumber daya manusia yang dimiliki. 

Tantangan umat Islam yang paling mendasar adalah pendidikan dan keilmuan. Dalam bidang pendidikan umat Islam masih tercekoki oleh dikotomi sistem pendidikan, yaitu agama dan umum. Sistem pendidikan yang dikotomis dari seluruh tingkatan ini menghasilkan dua macam lulusan. Lulusan sistem pertama umumnya dikenal dengan sebutan ulama, ustaz, atau kiai. Lulusan sistem kedua dikenal dengan cendekiawan atau intelektual pakar bidang teknik, kedokteran, arsitektur, fisika, matematika, hukum, dan sebagainya.

Kondisi ini menunjukkan tugas dan tantangan. Tugasnya merajut kerja sama antara ulama dan intelektual dalam melahirkan disiplin ilmu Islam. Tantangannya adalah merintis bidang-bidang ilmu yang lebih banyak lagi. Jika ilmu ekonomi Islam sudah dan sedang berproses, masih terbuka tantangan untuk integrasi ilmu psikologi, politik, sosiologi, fisika, dan sebagainya.

Tugas, tantangan, dan harapan di atas bukan tanpa halangan. Saat ini, muncul cendekiawan Muslim yang antiistilah sains Islam, ekonomi Islam, ilmu politik Islam, dan semacamnya. Mereka menganggap, ilmu itu netral tidak ada bedanya ilmu Islam dan Barat. Semua ilmu, menurut mereka, berasal dari Tuhan. Mereka ini adalah kelompok cendekiawan Muslim yang tersekulerkan.

Halangan lain datang dari kelompok liberal. Mereka itu membawa metodologi "baru" studi Islam yang disebut "pembacaan kontemporer". Hasil dari pembacaan itu adalah tafsir baru terhadap ayat-ayat Alquran yang kemudian menghasilkan hukum-hukum dan konsep-konsep baru dalam berbagai hal. Tapi, metodologi itu ternyata harus mendekonstruksi ilmu-ilmu Islam tradisional untuk menjustifi kasi konsep- konsep Barat.

Tantangan ini harus dijawab bukan hanya oleh ulama, melainkan juga para intelektual. Sebab, ini adalah perang pemikiran (ghazwul fikri) atau perang framework atau manhaj berpikir. Para ulama tidak cukup hanya berbekal ilmu turats dan para intelektual tidak cukup berbekal logika dan ilmu sosial- humaniora. Yang diperlukan adalah penguasaan terhadap khazanah ilmu pengetahuan Islam di masa lampau dan filsafat ilmu serta metode berpikir Barat postmodern. 

Kembali ke soal kerja sama, selain di tingkat akademis, upaya serius untuk mempertemukan kedua potensi ini secara sinergis dalam bidang kemasyarakatan, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan sangat dirindukan. Umat sekarang masih mengharap adanya jalinan kerja sama serius antara pelaku bisnis dengan ulama dan pakar muamalat untuk proyek ekonomi umat yang menyejahterakan.

Demikian juga kerja sama antara politikus dan penguasa dengan para ulama yang berkecimpung dalam kegiatan sosial dan pendidikan untuk sebuah proyek umat yang monumental. Masih banyak lagi proyek-proyek yang dirindukan umat. Di sini hubungan ulama dan cendekiawan atau intelektual, umara, dan ulama perlu ditingkatkan dari sekadar ukhuwah Islamiyah menjadi ukhuwah Ilmiyyah dan ukhuwah `amaliyyah

Tugas lain yang tidak kalah penting adalah menghimpun potensi pengusaha dan konglomerat Muslim yang sukses untuk pengembangan pengusaha Muslim kecil menengah dalam bingkai keumatan. Di sini, asosiasi, himpunan, atau persatuan pengusaha Muslim dalam berbagai sektor perlu segera dilahirkan atau dikembangluaskan. 

Selanjutnya, perlu diupayakan agar kekayaan para pengusaha dan konglomerat Muslim itu diarahkan untuk kepentingan umat yang strategis. Di sini, para pengusaha memerlukan nasihat dari para ulama dan intelektual Muslim. Sebaliknya, para ulama perlu     dukungan para pengusaha.

Ukhuwah atau persatuan juga lebih tidak kelihatan dalam dunia politik. Partai-partai politik Islam seperti tidak mempunyai visi dan misi yang sama dan tentu tidak akan dapat bekerja sama. Kerja sama dengan partai politik yang tidak berbasis Islam seakan lebih mudah dibanding dengan partai politik Islam. Partai politik Islam juga tidak mampu lagi mendulang suara mayoritas, seperti zaman Masyumi, padahal jumlah Islam masih tetap mayoritas. Politik Islam masih berorientasi kekuasaan, bukan keumatan. Membangun wajah partai politik yang benar-benar Islami adalah tugas dan tantangan bersama.

Mesin partai masih diwarnai oleh miskinnya stok pemimpin berkualitas. Pemimpin yang memiliki ilmu, kecakapan manajemen, kemauan bekerja, dan akhlak mulia. Bangsa ini merindukan pemimpin berkualitas, bersih, dan mampu menjaga diri dari berbagai godaan harta, takhta, dan wanita. Bagaimana umat Islam menyiapkan pemimpin yang berkualitas? 

Inilah tugas dan tantangan masa depan. Dalam menghadapi kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan umat, diperlukan cendekiawan Muslim yang pakar hukum dan ulama yang memahami masalah. Pemahaman terhadap masalah hukum dalam konteks keumatan perlu kerja sama tokoh ulama dan pemimpin umat dengan para profesional bidang hukum agar dapat dilanjutkan dengan legal action. Selain itu, umat Islam memendam banyak persoalan yang memerlukan jawaban segera, serius, ilmiah, dan tuntas. Tak hanya sekadar fatwa, umat perlu tanggapan yang bisa dipahami secara rasional dalam bentuk tulisan yang lengkap, akademik, dan dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah tugas yang harus diemban ulama dan intelektual muda Muslim.

Tentu masih banyak tantangan yang dihadapi umat saat ini. Tak cukup lembaran ini untuk menuliskannya secara keseluruhan. Tapi, yang terpenting bagaimana menguatkan kerja sama antarseluruh elemen masyarakat Muslim dan meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Wallahu a'lam.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar