Sabtu, 09 Maret 2013

Buku Menegakkan Peradaban


Buku Menegakkan Peradaban
Jusman Dalle  ;  Koordinator Nasional Gerakan #SedekahBukuNasional,
Founder Gerakan Indonesia Gemar Menulis (GIGM)
REPUBLIKA, 06 Maret 2013


Sastrawan tersohor Amerika Serikat, Thomas Stearns Eliot (1888), pernah berpetuah, "Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca."
Menafsir Eliot, kita harus lekat dalam dekap akrab buku sebagai sebuah karya tulis dan media transmisi menegakkan masyarakat yang hidup berdasarkan adab sebagai sumber mata air nilai-nilai dalam kehidupan. 
Ada gejala menarik ketika melihat geliat dunia perbukuan di Indonesia. Selain muncul penerbit-penerbit baru bak cendawan pada musim hujan, sejumlah event juga mengisi dunia perbukuan kita. Sebutlah, misalnya, Islamic Book Fair (IBF) yang saat ini sedang berlangsung. IBF merupakan event nasional yang memiliki resonansi regional sebab juga dihadiri oleh pengunjung dari mancanegara, khususnya pengunjung dari negara di kawasan ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Dus, tak salah jika IBF didaulat sebagai event perbukuan terbesar di Asia Tenggara.
Upaya pemerintah membangun intimasi dengan buku sebenarnya juga ada dalam almanak nasional. Sejak 2002, setiap 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang merujuk pada hari didirikannya Parpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980. Namun, sayang, banyak yang belum mengetahui momentum yang digagas oleh mantan mendiknas Abdul Malik Fadjar itu. Event perbukuan nasional seperti IBF menjadi momentum penyegaran untuk terus mendekatkan generasi kita dengan buku. Dekat dengan buku berarti mendekatkan Indonesia dengan sentra peradaban. Buku adalah gudang pengetahuan. Jalinan ide, gagasan, pemikiran, dan kontinuitas peradaban tak bisa dilepaskan dari peran buku.
Sebagai dokumen mozaik pencerah yang tercecar, buku menjadi sumber rujukan. Buku adalah titik tolak merajut imajinasi lantas meretas realita. Terhadap bangsa-bangsa yang pernah menjadi mercusuar dalam sejarah, buku memiliki peran organik. Bangsa Yunani, misalnya, keluar dari halusinasi mitologi menuju babak pencerahan "logos" atau ilmu pengetahuan setelah para filsuf di negeri yang kala itu belum menjadi pusat peradaban mulai mendokumentasikan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam lembaran-lembaran. Maka, lahirlah filsuf yang menjadi legenda ilmu pengetahuan dan hingga kini masih menjadi rujukan, seperti Socrates, Plato, maupun Aristoteles.
Mustafa Siba'i (1915) di dalam bukunya, Min Rawaih Hadharahtina, menerangkan, transformasi peradaban Islam ke Eropa pada abad pertengahan bermula dari semangat perbukuan. Kala itu, buku-buku yang ditulis oleh para ulama Islam menjadi referensi setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Italia, Prancis, dan Spanyol sehingga bisa dibaca oleh orang-orang Barat.
Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial dan juga fisikawan Prancis, mengatakan, berkat terjemahan buku bangsa-bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku sains, perguruan tinggi Eropa berjaya selama lima hingga enam abad. Mereka mengambil rujukan dari Baghdad hingga Andalusia.
John Freely di dalam bukunya, Cahaya dari Timur (2011), berkesimpulan, Barat yang hari ini maju pesat dan menjadi pusat ilmu pengetahuan berutang budi pada umat Islam. Berkat kemurahan umat Islam yang merelakan buku-bukunya diterjemahkan, Barat bisa bertransformasi. Pada akhir abad 20 hingga awal abad 21, Jepang menjadi salah satu benchmark (pembanding) bagaimana buku mampu mentransformasi suatu bangsa. Tak dapat dimungkiri bila maju dan munculnya Negeri Sakura sebagai satu negara penting di dunia dengan produk teknologi yang menembus kamar-kamar kita, juga bertitik tolak dari buku. Jepang adalah bangsa yang gemar membaca.
Dalam telaah psikologi, usia dua hingga tiga tahun merupakan masa krusial perkembangan otak manusia. Menurut Tony Setiabudhi (2003), 80 persen kapasitas otak dan alam bawah sadar manusia mulai dibentuk pada periode tiga tahun pertama. Karena itu, pada masa ini, semestinya anak mulai harus dibiasakan dekat dengan buku untuk menumbuhkan budaya intelektual dan literasi.
Internet
Di tengah geliat positif yang tampak dari dunia perbukuan, belakangan kita juga menyaksikan kuatnya gempuran teknologi yang jika salah respons malah berdampak negatif dan destruktif pada budaya baca dan tulis. Televisi dan internet, misalnya, menjadi magnet yang mengalahkan daya tarik buku. Anak-anak hingga orang dewasa sekalipun, jamak kita saksikan menghabiskan waktu di depan televisi atau berselancar di internet, berjejaring sosial, hingga hampir tak punya waktu untuk membaca. Buku tidak lagi menjadi "sebaik-baik teman duduk". Ini merupakan paradoks di tengah geliat dunia perbukuan.
Tak hanya itu, tantangan lain untuk menjaga hasrat publik terhadap buku adalah sarana-sarana mendekatkan masyarakat dengan buku, seperti taman baca atau perpustakaan, juga sulit diakses. Jauh tertinggal dari jumlah pusat perbelanjaan modern dan hiburan yang bisa kita jumpai dengan mudah. 
Serbuan budaya populer tersebut perlu disikapi secara produktif dengan lebih menggalakkan agenda perbukuan yang lebih inovatif. Termasuk, apresiasi terhadap antusiasme para pelaku dunia perbukuan di Tanah Air seperti satu tren baru dalam penerbitan indie atau self publishing. Yakni, menerbitkan sendiri karya kita yang biasanya dicetak berdasarkan orderan yang diistilahkan print on demand (POD) yang tak jarang melahirkan penulis-penulis ternama dan buku-buku best seller. Ini tentu saja menjadi tantangan bagi penerbit-penerbit ternama yang kerap lebih mengutamakan sisi bisnis ketimbang spirit intelektualnya. Penerbitan buku dengan self publishing cukup memantik antusiasme lahirnya penulis-penulis baru. Termasuk, dari kalangan orang-orang ternama, baik selebritas maupun pejabat publik. 
Sebagai satu sumber pengetahuan, buku telah mengeluarkan suatu kaum dari mitologi menuju logos atau ilmu pengetahuan. Karena pengetahuan itulah, bangsa-bangsa kuat. Ini persis tamsil Francis Bacon (1561-1626), scientia est potentia, ilmu pengetahuan adalah kekuatan. Buku adalah arsip ilmu pengetahuan yang tak lekang oleh zaman. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar