Sabtu, 23 Maret 2013

Membangun Kekerabatan Air


Membangun Kekerabatan Air
Amien Widodo ;  Kepala Pusat Studi Kebumian Bencana
dan Perubahan Iklim ITS Surabaya
JAWA POS, 22 Maret 2013
  

HARI INI, 22 Maret, diperingati sebagai Hari Air Dunia. Momen ini adalah tempat dan ruang untuk memfokuskan perhatian dunia atas peran penting tersedianya air bersih dan mengupayakan serta mengampanyekan tata kelola sumber daya air segar yang berkelanjutan. Mulanya, 22 Maret 1993 dipilih sebagai satu hari dari satu tahun yang direkomendasikan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UNCED). Pada Desember 2010, Majelis Umum PBB mendeklarasikan 2013 sebagai Tahun Kerja Sama Air Internasional (termaktub dalam Resolusi A/RES/65/154).

Saking vitalnya air, PBB membentuk UN Water yang mengurusi masalah air sebagai kebutuhan dasar manusia. Pengelolaan air yang baik merupakan tantangankarena beberapa karakteristik yang unik: itu tidak merata dalam ruang dan waktu, siklus hidrologi sangat kompleks, dan gangguan terhadap sistem akan memiliki efek ganda. Ada tujuh miliar manusia bergantung kepada air. Air adalah sumber daya bersama  dan manajemen perlu mempertimbangkan  berbagai kepentingan yang sangat mungkin timbul konflik antara kelompok yang satu dan kelompok lainnya. Hal itu memberikan kesempatan untuk bekerja sama di antara pengguna air. 

Kerja sama tingkat lokal juga perlu dilakukan demi ketersediaan air yang berkelanjutan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hutan alam asli Indonesia luasannya semakin susut dikarenakan penebangan hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan mengakibatkan penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Ancaman kerusakan resmi yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan sekitar 1,17 juta hektare per tahun. Tapi, berdasar data yang dikeluarkan oleh State of the World's Forests 2007 yang dikeluarkan  The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka kerusakan hutan di Indonesia pada periode 2000-2005 sekitar 1,8 juta hektare per tahun. 

Dampak penggundulan hutan mengakibatkan air hujan langsung mengalir sebagai aliran permukaan (aliran banjir) menuju ke laut sehingga hampir tidak ada yang tersimpan ke dalam tanah. Keberadaan hutan bisa menyerap air hujan lebih besar dari 80 persen. Itu menunjukkan bahwa hutan di pegunungan bisa membantu mendistribusikan hujan semusim dalam jangka setahun dan dikeluarkan secara proporsional lewat mata air-mata air. 

Akibat minimnya air yang tersimpan di dalam tanah, cadangan air bersih di dalam tanah juga akan berkurang. Kekurangan cadangan air dalam tanah bakal diikuti terganggunya sistem tata air dalam tanah yang dulu diatur oleh akar dan vegetasi melalui mekanisme transpirasi. Kekurangan cadangan air tanah juga akan diikuti menurunnya jumlah mata air yang menyuplai debit sungai di bawahnya. 

Di beberapa daerah sudah mulai kehilangan mata air, atau jumlah mata air berkurang, atau debit mata air mengecil sehingga sungai tak berair lagi. Dampak berikutnya, ketersediaan pangan akan terpengaruh. Fakta yang terjadi saat ini bahwa efek yang ditimbulkan gara-gara penggundulan hutan sangat besar dan merugikan kehidupan masyarakat yang mendiami wilayah daerah aliran sungai. 

Kuantitas dan kualitas air yang mengalir sangat bergantung kepada perilaku masyarakat yang bermukim di hulu sungai (kawasan resapan dan kawasan mata air). Dengan kata lain, kita yang mendiami dalam satu wilayah aliran sungai secara ekologis merupakan saudara serta saling bergantung dan saling membutuhkan. 

Saat ini sebagian besar saudara kita yang bermukim di hulu sungai kekurangan dalam berbagai hal, termasuk miskin ilmu pengetahuan ekologis. Mereka melakukan segalanya untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk menebang hutan dan menjual kayunya. Mereka tidak tahu bahwa penebangan hutan bisa memengaruhi sungai di bawahnya. Kita sebagai pengguna air mestinya bersyukur punya saudara ekologis yang mau merawat kawasan resapan dan kawasan mata air. 

Rasa syukur itu akan baik kalau diwujudkan dalam bentuk persaudaraan yang saling menguntungkan. Mungkin semua orang harus disadarkan bahwa kekerabatan perlu dipupuk dan diwujudkan secara nyata. Agar di bagian hulu tidak merusak atau mengubah hutan mereka, kita yang di kota bisa mengajarkan cara hidup di kawasan hutan tanpa merusak hutan itu. Misalnya, kita mengajari agroindustri seperti beternak lebah, pertanian rotan, anggrek, dan buah-buahan. 

Kita yang berada di kawasan kota bisa membuat industri pengolahan madu, pengolahan rotan, dan semacamnya yang akan mengambil dan mengguanakan bahan baku dari kawasan hulu tersebut. Jangan lupa, kita juga sebagai pembeli dan pasar produk-produk mereka sehingga usaha mereka bisa lumintu. Harapannya agar mereka tidak bergantung kepada kayu hutan. Yang punya uang lebih bisa membatu menyekolahkan mereka hingga ke perguruan tinggi. Harapannya, pemikiran mereka berubah terhadap perilaku mereka selama ini. Perguruan tinggi juga harus membuka diri bagi anak anak yang bermukim di kawasan pegunungan ini untuk dapat sekolah secara gratis.

Saya berharap, pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Kehutanan merencanakan terwujudnya kekerabatan antar penduduk yang bermukim di hulu, di tengah, dan di bagian hilir. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar