Sabtu, 23 Maret 2013

Manipulasi versus Inspirasi


Manipulasi versus Inspirasi
Komaruddin Hidayat ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 22 Maret 2013

  
Apakah tindakan seseorang atau kelompok digerakkan oleh kesadaran dan pilihan bebas yang datang dari dalam diri seseorang ataukah pengaruh dan tekanan dari luar dirinya? 

Pertanyaan inilah yang ingin dibahas dengan judul tulisan di atas. Istilah manipulasi tidak selalu berkonotasi negatif. Di dalam rekayasa teknologi, manipulasi ini secara sadar dilakukan misalnya bagaimana membuat barang dagangan agar terlihat indah berwarna mengkilat keemasan meskipun bukan dari emas. 

Dalam dunia perfilman, rekayasa ini sangat penting dilakukan, bagaimana memanipulasi suatu adegan agar menarik ditonton meskipun itu hanya sebuah tontonan. Dalam dunia bisnis dan politik, manipulasi semakin masif dilakukan. Ada yang secara halus dan ada yang vulgar. Semuanya memerlukan dana besar. Tujuannya sama yaitu bagaimana memengaruhi perilaku masyarakat agar membeli produk atau memilih partai dan tokoh tertentu meski tanpa pemahaman yang mendalam. 

Teknologi periklanan sebagai sarana manipulasi merupakan pilar kapitalisme modern yang juga ditiru oleh para politisi untuk mencari dukungan. Karena terdapat unsur bujuk-rayu dan penipuan, manipulasi tidak akan melahirkan loyalitas. Dengan berjalannya waktu, orang yang melakukan sesuatu karena pengaruh manipulasi pada akhirnya akan kecewa, bahkan berbalik memusuhi. 

Adapun inspirasi memiliki mekanisme psikologis yang berbeda. Meskipun awalnya dating dari luar, inspirasi memiliki dimensi pencerahan dan daya dorong terhadap pemikiran, pertimbangan, dan pilihan sadar pelakunya sehingga seseorang memiliki kesadaran dan kebebasan penuh apakah akan melakukan ataukah tidak. Dengan kata lain, manipulasi merupakan dorongan yang datang dari luar tanpa penanaman pemahaman dan kesadaran. 

Sedangkan inspirasi adalah dorongan yang datang dari dalam diri seseorang setelah melalui perenungan dan pemahaman. Proses sosial politik yang berlangsung dalam masyarakat selama ini miskin edukasi yang menginspirasi, tapi lebih dominan bersifat manipulatif. Seseorang dikondisikan untuk memilih parpol atau tokoh tertentu tanpa proses pemahaman yang cukup, tetapi lebih karena pengaruh iklan dan bujuk-rayu serta imbalan materi.

Kultur ini tentu saja tidak akan mendorong partisipasi sosial untuk ikut serta memikirkan dan memajukan bangsa. Yang terjadi adalah mobilisasi sesaat dari masyarakat kerumunan. Mereka akan bergerak mengikuti stimulus dan insentif emosional serta material tanpa mengetahui arah dan tujuan perubahan sosial yang tengah berlangsung. Edukasi dan inspirasi politik tidak dilakukan oleh kalangan parpol, yang dilakukan adalah manipulasi dan mobilisasi massa. 

Kalau dibiarkan, budaya ini akan membawa masyarakat pada kekecewaan, kemarahan, dan kegagalan. Pada urutannya rakyat kehilangan kepercayaan terhadap politik. Perilaku serupa juga terjadi di ranah ekonomi. Coba kita amati. Rakyat semakin konsumtif akibat banyak pilihan dan rayuan yang ditawarkan oleh iklan, namun lapangan pekerjaan tidak meningkat secepat laju produk-produk konsumsi yang secara gencar dijajakan media massa. 

Sementara jumlah penduduk berkembang terus. Gejala ini sudah berlangsung sejak akhir era Orde Baru yang melahirkan generasi konsumtif, generasi penikmat hasil pembangunan, berkat sukses orang tuanya. Namun, mereka tidak memiliki etos kerja keras. Mereka bukan generasi yang terpanggil untuk menanam dengan kerja keras, tapi selalu menuntut penghasilan tinggi dengan jalan pintas. 

Tak heran jika koruptor bermunculan di semua level dan semua lini. Mereka memilih gaya hidup yang mahal, tanpa dukungan penghasilan yang seimbang. Pendeknya, manipulasi akan menghasilkan perilaku semu, tidak otentik, biaya mahal, dan kehidupan lalu dijalani dengan dangkal. Pendidikan dan agama sesungguhnya sangat menekankan kekuatan inspiratif dan liberatif, sebuah gagasan dan sikap yang membebaskan, bukan membelenggu dan menipu. 

Disayangkan, kadangkala dijumpai metode dan materi pelajaran agama juga terjatuh menjadi doktrin manipulatif, bukan inspiratif dan liberatif, padahal pada dasarnya tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Beragama dengan terpaksa merupakan kontradiksi di dalam dirinya mengingat kesalehan dan kebajikan tidak akan muncul kecuali dari orangorang yang melakukannya dengan ikhlas, sadar dan merdeka, bebas dari tekanan dan manipulasi. 

Iman, ilmu, dan amal selalu ditampil menjadi satu paket. Seseorang dianjurkan berbuat berdasarkan keyakinan yang diterangi ilmu. Keimanan membuat tindakan menjadi otentik, ilmu melahirkan kesadaran dan pencerahan atas pilihannya, dan amal merupakan manifestasi kehendak yang tercerahkan. Komunikasi sosial manipulatif mesti diganti dengan komunikasi inspiratif liberatif. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar