Tidak ada yang mengira, revolusi
yang berkobar di Suriah akan berubah menjadi tragedi politik
berdarah-darah. Faktanya, Musim Semi itu sudah bermetamorfosis menjadi
perang sipil (al-harb al-ahliyyah)
antara kubu rezim Bashar al-Assad dan kubu oposisi.
Setidaknya 70.000-90.000 warga
Suriah tewas, sebanyak 950.000 lebih warga berada di pengungsian, dan
1.000.000 lebih warga kehilangan tempat tinggal. Dari berbagai aspek,
krisis politik di Suriah memerlukan penyelesaian yang bersifat
komprehensif. Krisis tersebut telah menjadi ajang tarik-menarik kepentingan
dan perebutan pengaruh dua negara adidaya di kawasan Timur Tengah, yaitu AS
dan Rusia.
Gamal Wakim dalam Shira’ al-Quwa al-Kubra ’ala Suria: al-Ab’ad
al-Geosiyasiyyah li Azmah 2011 menegaskan, dimensi geopolitik tak bisa
dilepaskan dalam mencermati krisis politik di Suriah. Pertarungannya tak
sekadar antara Al-Assad dan oposisi, melainkan jauh lebih kompleks. Arab
Saudi ditengarai telah menjadi pelopor revolusi di kawasan Daraa dengan
menggunakan kaum Salafi untuk melawan sekte Alawite dan kalangan Kristen.
AS dan Uni Eropa turut serta mendorong revolusi bersama dengan Turki dan
Yordania. Belakangan, Mesir menjadi salah satu negara yang mendesak agar
Al-Assad lengser.
Di pihak lain, Rusia berkukuh
memberikan dukungan terhadap rezim Al-Assad sebagai mitra strategisnya di
Timteng dalam lima dekade terakhir. Faktanya, penyelesaian secara politik
di PBB kerap berakhir dengan kebuntuan karena Rusia menggunakan hak veto
untuk menolak proposal AS dan sekutunya dalam melakukan intervensi politik
di Suriah. Sikap Rusia tidak kalah kuatnya dari sokongan AS dan sekutunya
karena Rusia didukung sepenuhnya oleh China, Iran, dan Lebanon.
Karena itu, krisis politik yang
berlangsung di Suriah punya dampak jauh lebih besar, yang pasti berbeda
dengan Musim Semi yang berlangsung di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya.
Meski tak sama, krisis politik di Suriah mirip yang terjadi di Bahrain.
Dimensi geopolitik sangat kentara sehingga penyelesaiannya harus melibatkan
negara-negara yang terlibat dalam perebutan hegemoni politik. Di Bahrain,
Arab Saudi punya andil yang cukup besar dalam menyelesaikan krisis politik.
Di Suriah, Rusia merupakan faktor obyektif dalam mencari solusi krisis
politik.
Sementara negara-negara Arab tidak
bisa diandalkan untuk menjadi mediator dalam penyelesaian krisis Suriah.
Negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab terbukti tak punya pengaruh
cukup signifikan untuk menekan rezim Al-Assad. Hasil sejumlah pertemuan
Liga Arab dalam memecahkan krisis politik di Suriah hanya dianggap pepesan
kosong.
Ada dua problem yang dihadapi
negara-negara Arab saat ini. Pertama, negara-negara Arab mempunyai problem
internal cukup serius dalam menghadapi gejolak politik di negara
masing-masing. Kedua, negara-negara Arab tak punya kesamaan sikap dalam
menyelesaikan masalah Suriah karena selama ini mereka selalu menjadi
subordinasi dari kekuasaan asing, khususnya AS dan sekutunya. Keberpihakan
rezim negara-negara Arab terhadap kepentingan politik AS di Timteng
menyebabkan hilangnya kepercayaan Bashar al-Assad terhadap Liga Arab.
Masa Depan
Harus diakui, masa depan Suriah
kian tak menentu. Pasalnya, AS dan Uni Eropa semakin telanjang menunjukkan
keberpihakan terhadap oposisi. Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah
menyatakan akan menggelontorkan bantuan 60 juta dollar AS untuk kebutuhan
medis dan pangan. Sementara Uni Eropa akan menambah amunisi kendaraan
berlapis baja dan persenjataan bagi oposisi. Dukungan eksplisit itu kabar
gembira bagi kubu oposisi yang beberapa bulan terakhir kehilangan optimisme
karena rezim Al-Assad tidak mudah ditaklukkan. Persenjataan yang dimiliki
rezim Al-Assad tidak pernah habis. Bahkan, mereka makin melancarkan
serangan militer yang bersifat masif dalam rangka melumpuhkan sentra-sentra
militer milik oposisi.
Bantuan AS dan Uni Eropa akan
menjadi amunisi yang sangat berarti dalam rangka melanjutkan misi
perlawanan terhadap rezim Al-Assad. Namun, langkah AS dan Uni Eropa tidak
akan mudah menaklukkan kekuatan rezim Al-Assad. Pertama, Rusia masih
memberikan dukungan yang kuat terhadap rezim Al-Assad. Proposal Rusia dalam
penyelesaian krisis Suriah tidak pernah berubah sedari awal, yaitu
memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat Suriah untuk menentukan masa
depan mereka. Intervensi asing tak akan menyelesaikan masalah. Secara
implisit, Rusia menghendaki agar mediasi dialog antara rezim Al-Assad dan
oposisi ditempuh untuk mengambil langkah yang memuaskan kedua pihak.
Tentu saja, langkah tersebut tak
mudah dilakukan karena luka dan korban yang ditimbulkan akibat serangan
rezim Al-Assad terhadap kubu oposisi sangatlah besar. Artinya, oposisi akan
mendesak Bashar al-Assad agar meletakkan jabatannya demi kepentingan
Suriah. Sebaliknya, kubu Al-Assad tidak akan menerima solusi tersebut.
Menurut Bashar al-Assad, yang mendesak dilakukan adalah reformasi politik
dan digelar pemilu untuk menentukan pemimpin Suriah.
Kedua, Iran dan Lebanon menyokong
sepenuhnya rezim Al-Assad. Bagi kedua negara tersebut, intervensi AS dan
Uni Eropa semakin membenarkan fakta bahwa di balik aksi oposisi yang begitu
gencar dalam upaya melengserkan rezim Al-Assad hakikatnya adalah
implementasi dari hegemoni AS dan sekutunya. Demokratisasi nyatanya hanya
menjadi kamuflase dalam rangka memperkuat cengkeraman AS dan sekutunya di
Timteng dan dunia Islam pada umumnya.
Ketiga, di antara mereka yang
bergabung dalam kubu oposisi adalah faksi Al Qaeda. Fakta ini semakin
membuktikan kekhawatiran pihak Rusia tentang masa depan Suriah pasca-rezim
Al-Assad. Dalam hal ini, AS dan sekutunya tak pernah mau belajar dari kasus
Taliban di Afganistan. Al Qaeda yang dulu mitra strategis AS kini menjelma
sebagai musuh AS dan negara-negara Barat lainnya, termasuk Rusia.
Jalur Diplomasi
Karena itu, solusi yang terbaik
dalam menyelesaikan krisis politik Suriah adalah memilih jalur diplomasi AS
dan sekutunya dengan Rusia dan China. Langkah yang diambil Presiden
Perancis dalam rangka membujuk Rusia agar mendorong reformasi politik
secara radikal di Suriah merupakan solusi moderat daripada mengambil
langkah-langkah militeristis. Perang sipil hanya akan menyisakan luka amat
mendalam, baik bagi kubu rezim Al-Assad maupun oposisi.
Yang jauh lebih penting, masa
depan Suriah harus dipastikan lebih baik dari rezim Bashar al-Assad yang
dikenal otoriter. Demokratisasi sejatinya tidak hanya berlangsung secara
prosedural, tetapi juga menyentuh substansi demokrasi yang menjamin HAM,
pluralisme, dan keadilan jender. Tanpa jaminan itu, Suriah di masa
mendatang hanya akan jadi perebutan kekuasaan kaum Islamis, sebagaimana
terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya. Di negara-negara itu, Musim Semi
telah menjelma sebagai musim gugur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar