Selasa, 05 Maret 2013

Mencari Sosok Ketua Umum Demokrat


Mencari Sosok Ketua Umum Demokrat
Tjipta Lesmana ;  Pengamat Politik Senior
SINAR HARAPAN, 04 Maret 2013



Siapa figur paling pas untuk memimpin Partai Demokrat setelah Anas Urbaningrum mengundurkan diri? Dalam tempo satu sampai dua minggu ini, Susilo Bambang Yudhoyono dan kader-kader senior Partai Demokrat pasti akan berkonsentrasi memikirkan masalah ini dan mengambil keputusan definitif.
Pendaftaran calon anggota legislatif dimulai minggu kedua April 2013, kalau tidak salah tanggal 9 April. Daftar caleg yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus ditandatangani oleh sekretaris jenderal dan ketua umum partai.

Di media massa dan media sosial sudah beredar beberapa nama yang dikatakan pantas menjadi pengganti Anas. Sejumlah petinggi Partai Demokrat pun sudah menyatakan pendapatnya, walaupun mereka tidak berani menyebut nama.

Dari beberapa nama yang beredar, entah dari mana sumbernya, dua nama kini seolah menduduki peringkat tertnggi. Kedua nama tersebut adalah Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo—adik ipar SBY yang kini masih menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)—dan Marzuki Alie, Ketua DPR. Di Demokrat, Marzuki duduk sebagai anggota majelis tinggi yang berjumlah sembilan orang.

Pramono Edhie secara tidak langsung telah menepis kemungkinan aktif di dunia politik, apalagi “nyapres” dengan alasan dia masih aktif di TNI. Kalau sudah pensiun pada Mei nanti, ia baru akan memutuskan mau terjun ke politik atau tidak. Dengan demikian, selama Edhie masih KSAD, tidak mungkin ia diplotkan sebagai pengganti Anas. Peraturan melarang setiap personel TNI, apalagi pemimpin teras, untuk aktif di dunia politik.

Toh, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. SBY bisa saja mengangkat Jenderal Edhie sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dengan terlebih dahulu memensiundinikan dirinya dari dinas Angkatan Darat.

Jika SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Demokrat menilai iparnya sungguh dibutuhkan untuk menyelamatkan partai kesayangannya, kenapa tidak? Begitu Edhie pensiun, atau dipensiundinikan, ceritanya pun selesai. Sebagai orang sipil, sang jenderal bisa bergiat di bidang apa pun, termasuk dunia politik.

Hanya saja, pengangkatan Pramono Edhie sebagai Ketua Umum Partai Demokrat niscaya akan menuai kontroversi besar di internal Demokrat. Idealnya, pengganti Anas Urbaningrum berasal dari kader sendiri; bukan dropping dari luar partai. Marzuki Alie sudah menyuarakan resistensi seperti itu secara terbuka.

Menurut Marzuki, tidaklah elok jika orang luar yang menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Nalar Marzuki, menurut analisis saya, seolah-olah Demokrat sudah kehabisan kader andal; padahal banyak kader Demokrat yang andal dan berintegritas.

Kecuali itu, SBY akan dituding penganut nepotisme jika mengangkat Jenderal Edhie sebagai orang pertama di DPP Partai Demokrat. Oleh sebab itu, jika Edhie Baskoro yang diangkat pun, internal Demokrat akan bereaksi. Bukan rahasia lagi, selama menjabat Sekretaris Jenderal Demokrat, kinerja putra SBY ini banyak yang mempertanyakan. Edhie terkesan kuat “tidak bunyi”, apalagi jika menjabat ketua umum.

Masa Depan Partai

SBY tentu menyadari betul bahwa sosok pengganti Anas amat penting untuk masa depan Partai Demokrat yang saat ini sedang gonjang-ganjing dan sangat terpuruk. Di mana-mana pemimpin tertinggi eksekutif partai politik ikut menentukan kemajuan dan kehancuran partai tersebut.

Di negara-negara yang menganut sistem parlementer, siapa yang ditunjuk sebagai ketua umum partai, ia 
otomatis dipersiapkan untuk memimpin pemerintahan. Jika partai memenangkan pemilihan umum, ia hampir otomatis akan ditunjuk sebagai perdana menteri.

Oleh sebab itu, SBY dan kawan-kawannya di Majelis Tinggi dan Dewan Pembina seharusnya memeras otak untuk memilih the best candidate. Calon harus betul-betul memahami historis dan perjalanan partai, harus memiliki konsep terang untuk membangun dan memajukan partai. Ia haruslah sosok yang clean, pekerja keras dan bisa diterima oleh sebagian besar unsur partai, bukan figur yang kontroversial di internal partai.

Beberapa figur kader Demokrat, menurut saya, pantas dipertimbangkan SBY secara serius. Mereka adalah Marzuki Ali, Syarief Hasan, Jero Wacik, dan TB Silalahi.

Marzuki sosok politikus yang sudah teruji sebagai Ketua DPR. Ia memang kadang kontroversial, tapi ia tipe pemimpin yang berani, siap mengambil risiko dari setiap pernyataan dan tindakannya.

Di partai ia termasuk senior, lima tahun menjabat Sekretaris Jenderal Demokrat dan dekat dengan SBY. Ia sebenarnya salah satu calon Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres partai di Bandung pada 2010. Sayang, ia tidak mendapat restu SBY. Aliansi Anas Urbaningrum dan Hadi Utomo (eks ketua umum) akhirnya mengempaskan Marzuki.

Calon yang direstui SBY tatkala itu sebenarnya Andi Mallarangeng. Lima kader senior Demokrat—antara lain Jero Wacik, Syarief Hasan, dan EE Mangindaan—ketika itu sudah dibisiki SBY untuk mendukung Andi. Namun, karena faktor XYZ, Anas akhirnya keluar sebagai pemenang.

Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi RCTI beberapa hari yang lalu, Anas membuka kartu bahwa (a) dirinya sebetulnya “unwanted child”, calon yang tidak direstui SBY, bahkan (b) secara implisit Anas menuding SBY ketika itu meminta dirinya mundur dari pencalonan. Namun karena Anas merasa mendapat dukungan kuat dari akar rumput, dia maju terus di tengah-tengah tekanan politik atas dirinya untuk mundur dari pencalonan.

Jero Wacik dan Syarief Hasan juga dikenal sangat dekat dengan SBY. Dua sosok inilah yang tiba-tiba menggelar jumpa pers di Jakarta pada Minggu, 3 Februari 2013. Pada kesempatan itu, keduanya mengumandangkan “pesan darurat” kepada segenap kader partai; bahwa elektabilitas Partai Demokrat tinggal 8,3 persen menurut hasil jajak pendapat SMRM. Pesan Wacik dan Syarief langsung disambut antusias oleh SBY.

Esok harinya, 4 Februari 2013, SBY dari Arab Saudi meminta seluruh kader partai untuk berdoa supaya Allah SWT memberikan jalan untuk menyelamatkan Demokrat. Secara implisit, SBY sependapat bahwa Partai Demokrat sudah memasuki situasi “gawat darurat” dan menuding Anas Urbaningrum sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Ia pun meminta KPK untuk secepatnya memperjelas status hukum Anas.

Bahwa SBY begitu cepat memberikan respons positif terhadap pernyataan duet Wacik dan Syarief, hal itu menandakan kedekatan SBY kepada kedua kader senior Demokrat ini. Tak hanya itu, menurut hemat saya, jumpa pers yang digelar oleh Wacik dan Syarief sesungguhnya atas pengetahuan dan persetujuan SBY. Tanpa persetujuan SBY, Wacik dan Syarief mustahil berani secara “lancang” menyerang Ketua Umum Anas Urbaningrum!

Jika SBY mengangkat Marzuki sebagai pengganti Anas, Marzuki secara etis harus mengundurkan diri sebagai Ketua DPR. Hal ini sama seperti ketika Anis Matta ditunjuk sebagai Presiden PKS menggantikan Luthfi Hasan, ia pun dibebaskan oleh partainya dari kursi Wakil Ketua DPR. Jika Wacik atau Syarief yang ditunjuk SBY untuk menduduki kursi Ketua Umum Partai Demokrat, apakah mereka harus mundur sebagai menteri? Tidak perlu.

Saat ini paling sedikit ada tiga ketua umum partai politik yang duduk sebagai menteri dalam kabinet SBY, yakni Hatta Radjasa (Menko Kesejahteraan) sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Suryadarma Ali (Menteri Agama) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, dan Muhaimin Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa.
Jika SBY menghendaki sosok yang tegas bertindak, juga loyal dan bagus integritasnya, TB Silalahi adalah orangnya. Dia pensiunan bintang tiga TNI, juga salah satu pendiri Partai Demokrat, menjabat Ketua Komisi Pengawasan Partai Demokrat.

Dialah yang membentuk Tim Investigasi dan memeriksa puluhan kader Demokrat tidak lama setelah Mohamad Nazaruddin menuding ia memberikan dana Rp 100 miliar untuk membantu kubu Anas dalam pemilihan Ketua Umum Demokrat di Kongres Bandung pada 2010.

Sebagai Ketua Tim Investigasi, TB Silalahi pasti tahu banyak tentang apa sesungguhnya yang terjadi pada Kongres Partai Demokrat 2010. Tentu saja hasil penyelidikan tersebut sudah disampaikan kepada SBY dan kader-kader senior Demokrat. Namun SBY dan kader-kader senior ketika itu masih tutup mulut, mungkin untuk menjaga agar tidak terjadi guncangan di internal partai.

Salah satu kekurangan TB Silalahi – dibandingkan ketiga kandidat lainnya – adalah faktor usia. Maka, tampaknya ia lebih enjoy mengurusi lembaga pendidikannya yang amat sukses di Medan ketimbang aktif kembali di Partai Demokrat. Jika diminta duduk sebagai Ketua Umum Demokrat, TB Silalahi pasti menolak. Namun sebagai sosok yang loyal pada SBY, TB Silalahi selalu siap membantu SBY untuk kemajuan Partai Demokrat.

Dengan demikian, Marzuki Alie menjadi kandidat paling kuat untuk menggantikan Anas Urbaningrum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar