Rabu, 20 Maret 2013

Krisis Calon Pemimpin?



Krisis Calon Pemimpin?
Sugiyono Madelan  ;  Peneliti Indef
REPUBLIKA, 18 Maret 2013


Hasil amandemen UUD 1945, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Partai Politik tanpa kredibilitas yang tinggi pada pengawasan pendanaan partai politik bertanggung jawab dalam menimbulkan krisis calon pemimpin nasional pada Pemilu 2014. Beberapa calon pemimpin nasional yang disebut-sebut media massa dalam beberapa waktu terakhir ini belum memperjelas siapa sesungguhnya yang akan menjadi calon pemimpin nasional terkuat berikutnya. 

Sementara itu, dalam pembicaraan secara informal di kalangan masyarakat, sering kali muncul kerisauan tentang siapakah yang akan menjadi kuda hitam berikutnya. Aburizal Bakrie yang berasal dari partai besar, yaitu Partai Golkar, elektabilitasnya sampai hari ini masih sangat rendah. Minimal, demikianlah elektabilitas versi lembaga polling independen. 

Joko Widodo (Jokowi) yang dipandang mempunyai elektabilitas lebih besar dibandingkan Prabowo Subianto, namun PDI Perjuangan sampai hari ini tercatat hanya mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon tunggal.
 
Sementara itu, Megawati mempunyai elektabilitas yang lebih rendah dibandingkan Jokowi. 
Prabowo Subianto mempunyai elektabilitas yang besar, namun keberadaan Partai Gerindra saat ini merupakan partai kecil. Mahfud MD dan Jusuf Kalla mempunyai elektabilitas yang besar, namun keduanya sampai hari ini tidak mempunyai partai politik pendukung. Dahlan Iskan yang telah menyatakan minatnya sebagai calon presiden dan mulai banyak diperkenalkan oleh pers, namun ia tidak mempunyai partai politik pendukung. Rhoma Irama yang telah menyatakan berminat sebagai calon presiden, tidak mempunyai partai politik pendukung yang besar. 

Hatta Radjasa yang telah diumumkan sebagai calon presiden juga berasal dari partai yang bukan besar. Mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum--merupakan partai politik terbesar saat ini--karena menjadi tersangka kasus korupsi, kemudian hilang dalam percaturan untuk berprospek sebagai calon presiden di kemudian hari.

Belajar dari pengalaman Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak mempunyai partai politik pendukung yang besar di DPR, stabilitas politik nasional mudah labil. Keberadaan multipartai yang didesain oleh Amandemen UUD 1945 beserta sistem presidensial telah menghasilkan partai politik yang tidak dominan di DPR. Presiden yang menjadi pemenang pemilihan secara langsung pun tidak dominan.

Realita tersebut menghendaki para pemenang pemilu berkoalisi dengan partai politik lainnya dalam kabinet pemerintahan maupun di DPR. Akan tetapi, koalisi tersebut ternyata masih gagal dalam menghasilkan keputusan politik yang bersifat kuat dan berdurasi panjang. 

Idealisme menghasilkan pemerintahan yang kuat dan secara bersamaan diharapkan mampu menjaga sistem demokratisasi yang juga kuat, ternyata belum menghasilkan kebijakan-kebijakan yang secara tenteram berpihak kepada rakyat kecil. Sementara itu, partai-partai politik yang bermaksud menjadi partai oposisi juga masih gagal membangun alternatif yang lebih baik.

Otonomi daerah yang bersifat setengah hati telah mempersulit hubungan garis kepemimpinan nasional dengan pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat menjadi tidak efektif dalam berkoordinasi, sementara itu pemerintah daerah mendapat dukungan yang bersifat setengah hati untuk membangun otonomi secara penuh. 

Berharap adanya pemimpin yang kuat dan penuh karakter mampu dihasilkan oleh mekanisme kader partai politik dan jalur independen dengan menggunakan pilar Undang-Undang di atas ternyata merupakan suatu tesis yang masih rapuh. Kasus Buol menunjukkan bahwa hutan sebagai kekayaan alam dikonversi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit untuk sumber pendanaan pemilukada.

Adakah Solusi? 

Ranking orang-orang terkaya level dunia yang menjadi warga Indonesia bukanlah menjadi kader ataupun peminat calon pemimpin nasional. Elektabilitas mereka juga sama sekali tidak masuk perhitungan.

Sistem politik yang ada saat ini juga gagal membangun mekanisme pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah nasional dan regional, selain sebatas pada manuver-manuver pencitraan. Kemacetan lalu lintas di perkotaan hendak dipecahkan dengan sistem ganjil-genap pada wilayah three in one, yang hanya akan memindahkan dan memperparah kemacetan lalu lintas di sekitarnya.

Masalah banjir dipandang sebatas dalam perspektif bencana alam dan hendak direspons dengan rekayasa hujan buatan. Krisis energi BBM hanya disikapi dengan keinginan menaikkan harga BBM untuk meningkatkan belanja infrastruktur tanpa kemajuan percepatan nyata untuk pembangunan kilang BBM di dalam negeri, juga tanpa kemajuan nyata pada konversi BBM ke gas dan bahan bakar nabati. 

Tanpa peningkatan infrastruktur secara nyata dalam nilai yang besar, hanya akan menimbulkan kesan bahwa APBN dan APBD banyak tersedot untuk belanja pegawai dan redistribusi anggaran ke kegiatan berpolitik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar