|
Hasil amandemen UUD 1945,
Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Partai Politik tanpa kredibilitas yang
tinggi pada pengawasan pendanaan partai politik bertanggung jawab dalam menimbulkan
krisis calon pemimpin nasional pada Pemilu 2014. Beberapa calon pemimpin
nasional yang disebut-sebut media massa dalam beberapa waktu terakhir ini
belum memperjelas siapa sesungguhnya yang akan menjadi calon pemimpin
nasional terkuat berikutnya.
Sementara itu, dalam
pembicaraan secara informal di kalangan masyarakat, sering kali muncul
kerisauan tentang siapakah yang akan menjadi kuda hitam berikutnya.
Aburizal Bakrie yang berasal dari partai besar, yaitu Partai Golkar,
elektabilitasnya sampai hari ini masih sangat rendah. Minimal, demikianlah
elektabilitas versi lembaga polling independen.
Joko Widodo (Jokowi) yang dipandang
mempunyai elektabilitas lebih besar dibandingkan Prabowo Subianto, namun
PDI Perjuangan sampai hari ini tercatat hanya mencalonkan Megawati
Soekarnoputri sebagai calon tunggal.
Sementara itu, Megawati mempunyai elektabilitas yang lebih rendah
dibandingkan Jokowi.
Prabowo Subianto mempunyai elektabilitas
yang besar, namun keberadaan Partai Gerindra saat ini merupakan partai
kecil. Mahfud MD dan Jusuf Kalla mempunyai elektabilitas yang besar, namun
keduanya sampai hari ini tidak mempunyai partai politik pendukung. Dahlan
Iskan yang telah menyatakan minatnya sebagai calon presiden dan mulai
banyak diperkenalkan oleh pers, namun ia tidak mempunyai partai politik
pendukung. Rhoma Irama yang telah menyatakan berminat sebagai calon
presiden, tidak mempunyai partai politik pendukung yang besar.
Hatta Radjasa yang telah
diumumkan sebagai calon presiden juga berasal dari partai yang bukan besar.
Mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum--merupakan partai
politik terbesar saat ini--karena menjadi tersangka kasus korupsi, kemudian
hilang dalam percaturan untuk berprospek sebagai calon presiden di kemudian
hari.
Belajar dari pengalaman
Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak mempunyai partai politik pendukung
yang besar di DPR, stabilitas politik nasional mudah labil. Keberadaan
multipartai yang didesain oleh Amandemen UUD 1945 beserta sistem
presidensial telah menghasilkan partai politik yang tidak dominan di
DPR. Presiden yang menjadi pemenang pemilihan secara langsung pun
tidak dominan.
Realita tersebut menghendaki
para pemenang pemilu berkoalisi dengan partai politik lainnya dalam kabinet
pemerintahan maupun di DPR. Akan tetapi, koalisi tersebut ternyata masih
gagal dalam menghasilkan keputusan politik yang bersifat kuat dan berdurasi
panjang.
Idealisme menghasilkan
pemerintahan yang kuat dan secara bersamaan diharapkan mampu menjaga sistem
demokratisasi yang juga kuat, ternyata belum menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang secara tenteram berpihak kepada rakyat kecil.
Sementara itu, partai-partai politik yang bermaksud menjadi partai oposisi
juga masih gagal membangun alternatif yang lebih baik.
Otonomi daerah yang bersifat
setengah hati telah mempersulit hubungan garis kepemimpinan nasional dengan
pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat menjadi tidak efektif dalam berkoordinasi,
sementara itu pemerintah daerah mendapat dukungan yang bersifat setengah
hati untuk membangun otonomi secara penuh.
Berharap adanya pemimpin yang
kuat dan penuh karakter mampu dihasilkan oleh mekanisme kader partai politik
dan jalur independen dengan menggunakan pilar Undang-Undang di atas
ternyata merupakan suatu tesis yang masih rapuh. Kasus Buol menunjukkan
bahwa hutan sebagai kekayaan alam dikonversi untuk pembangunan perkebunan
kelapa sawit untuk sumber pendanaan pemilukada.
Adakah Solusi?
Ranking orang-orang terkaya
level dunia yang menjadi warga Indonesia bukanlah menjadi kader ataupun peminat
calon pemimpin nasional. Elektabilitas mereka juga sama sekali tidak masuk
perhitungan.
Sistem politik yang ada saat
ini juga gagal membangun mekanisme pengambilan keputusan untuk memecahkan
masalah nasional dan regional, selain sebatas pada manuver-manuver pencitraan.
Kemacetan lalu lintas di perkotaan hendak dipecahkan dengan sistem ganjil-genap
pada wilayah three in one, yang
hanya akan memindahkan dan memperparah kemacetan lalu lintas di sekitarnya.
Masalah banjir dipandang
sebatas dalam perspektif bencana alam dan hendak direspons dengan rekayasa
hujan buatan. Krisis energi BBM hanya disikapi dengan keinginan menaikkan
harga BBM untuk meningkatkan belanja infrastruktur tanpa kemajuan
percepatan nyata untuk pembangunan kilang BBM di dalam negeri, juga tanpa
kemajuan nyata pada konversi BBM ke gas dan bahan bakar nabati.
Tanpa
peningkatan infrastruktur secara nyata dalam nilai yang besar, hanya akan
menimbulkan kesan bahwa APBN dan APBD banyak tersedot untuk belanja pegawai
dan redistribusi anggaran ke kegiatan berpolitik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar