Investasi selalu mengandung
risiko untung dan rugi. Perusahaan yang menjual produk investasi harus
diawasi dengan ketat oleh otoritas untuk menghindari berbagai jenis
penipuan. Di seluruh dunia, otoritas yang mengawasi perusahaan yang menjual
produk investasi selalu mengatur paling tidak tiga aspek.
Aspek pertama, pada tataran
korporasi. Aspek ini paling tidak terdiri atas tiga hal. Pertama, kecukupan
modal minimum. Kedua, batasan portofolio investasi. Ketiga, pemisahan
rekening perusa- haan dan nasabah. Pengaturan aspek ini dimaksudkan untuk
mencegah kejahatan korporasi (corporate
crime).
Aspek
kedua, pada tataran pengelola perusahaan. Aspek ini paling tidak terdiri atas
tiga hal juga. Pertama, kompetensi manajemen berupa pengalaman dan
keahlian. Kedua, integritas pengurus berupa rekam jejak yang tidak tercela.
Ketiga, tata pengelolaan yang baik dan transparan. Pengaturan aspek ini
dimaksudkan untuk mencegah kejahatan pimpinan perusahaan (white collar crime).
Aspek
ketiga, pada tataran pelaksana lapangan perusahaan. Aspek ini terdiri atas
tiga hal. Pertama, pengenalan selera risiko nasabah (risk appetite). Kedua, pengetahuan tenaga penjual akan produk
investasi yang dijualnya. Ketiga, transparansi dalam menjelaskan risiko
investasi. Pengaturan aspek ini dimaksudkan untuk mencegah keja- hatan
tenaga pelaksana (blue collar crime).
Persoalan mulai muncul ketika produk-produk
investasi berkembang demikian cepat dan mencari celah-celah regulasi
sehingga produk-produk tersebut tidak berada dalam yurisdiksi
otoritas-otoritas yang selama ini bertugas mengawasi perusahaan yang
menjual produk investasi. Contoh yang paling anyar adalah kasus investasi
emas bodong.
Pada
tahun lalu, Malaysia dan Singapura dikejutkan dengan skandal besar investasi
emas bodong. The Gold Guarantee
Malaysia (TGG-M) dan Asia Pacific
Bullion yang berbasis di Singapura dikejutkan dengan kaburnya pemimpin
perusahaan itu, Lee Song Teck. Geneva Singapura juga melakukan hal yang sama,
pemimpinnya, Leow Wee Khong, tidak diketahui keberadaannya. Bank Sentral
Singapura memasukkan tiga perusahaan itu dalam Daftar Waspada Investasi
Perusahaan tidak Berizin.
Bank
Sentral Malaysia melakukan hal yang sama untuk Geneva Malaysia, Pageantry Gold, Caesar Gold, Worldwide Far East,
dan Bestino. Sebagai taktik
pemasarannya, salah satu perusahaan itu malah mengaku model penjualan
emasnya telah disetujui oleh Bank Sentral, sesuai dengan prinsip syariah
dan mempunyai Dewan Pengawas Syariah, bahkan menampilkan foto mantan
perdana menteri Malaysia untuk meyakinkan calon nasabahnya.
Tiga
pemimpin Geneva, Marcus Yee Yuen Seng, Ng Poh Weng, dan Chin Wai Leong, disangkakan
telah melakukan praktik bank gelap, pencucian uang, dan penghindaran pajak
oleh Bank Sentral Malaysia. Tiga orang ini juga menjadi pemimpin Geneva
Singapura.
Perusahaan-perusahaan
investasi emas bodong ini bersembunyi di celah regulasi yang belum mengatur
penjualan produk investasi emas berkedok penjualan emas. Mekanisme bisnis
mereka adalah menjual emas dengan harga 20-25 persen di atas harga pasar.
Katakan saja, harga pasar Rp 500 ribu per gram dijual Rp 600 ribu per gram.
Nasabah mendapat dua hal untuk kelebihan harga itu. Pertama, nasabah dapat
diskon harga 2,5 persen per bulan dari harga beli emas. Kedua, pada akhir
periode kontrak, nasabah dapat jaminan pembelian kembali emas sebesar harga
belinya.
Selisih
harga emas itulah yang menyebabkan perusahaan sejenis ini tidak dapat
dikategorikan sebagai perusahaan penjual emas, tapi masuk dalam kategori
perusahaan yang menjual produk investasi. Selisih harga emas itulah yang
berpotensi menjadi money game atau
dikenal luas sebagai sistem ponzi.
Itu pula yang dijadikan alasan Bank Sentral
Malaysia mengenakan sangkaan "penghimpunan dana masyarakat secara
ilegal". Dalam praktiknya, bahkan sebagian besar transaksi tidak
terjadi penyerahan fisik emas, hanya sebagian kecil emas yang diserahkan
fisiknya, atau terjadi selisih waktu antara penyerahan uang dan penyerahan
fisik emas.
Model
bisnis yang persis sama kemudian ditawarkan di Indonesia. Salah satu perusahaan
bahkan menggunakan taktik pemasaran yang persis sama. Dengan menyalahgunakan
rekomendasi Dewan Syariah Nasional MUI, yang seharusnya digunakan untuk
mengurus kelengkapan izin legalitas dari otoritas yang berwenang, namun
digunakan untuk kepentingan pemasaran mengelabui calon nasabah. Juga
menampilkan foto ketua DPR dan ketua MUI untuk tujuan yang sama. Setelah
itu, giliran Indonesia dikejutkan dengan skandal yang sama, kaburnya
pemilik PT GTIS warga negara Malaysia, Michael Han Cun Ong, Edward CH Ho,
sedangkan Dato Zahari Sulaiman sebagai komisarisnya.
Kesadaran
otoritas keuangan akan adanya celah regulasi ini terlihat dari munculnya
berbagai regulasi di beberapa negara tentang investasi emas. Cina bahkan
sejak 1949 melarang penjualan produk investasi emas oleh swasta, baru sejak
2002 diizinkan bertahap dengan aturan yang ketat. Amerika Serikat juga
telah melarang semua produk investasi emas dalam bentuk produk derivatif
emas dan perak kepada investor ritel. Bank Sentral India juga membuat
regulasi tentang hal yang sama. Otoritas Malaysia dan Singapura
memasukkannya ke dalam yurisdiksi mereka sebagai kegiatan shadow banking.
Itu
sebabnya, ketika GTIS meminta rekomendasi DSN MUI untuk kelengkapan dokumen
mengurus legalitas izin, DSN MUI memberikan sederet ketentuan dan syarat
yang harus dipenuhi. Di antara yang terpenting adalah harus adanya
penyerahan uang dan fisik emas secara tunai pada saat yang bersamaan.
Memahami
adanya perbedaan harga pembelian emas dengan harga pasar, yang memasukkan
perusahaan ini sebagai perusahaan yang menjual produk investasi, DSN MUI mengarahkan
perusahaan ini mengurus legalitas izinnya ke Badan Pengawas Perdagangan
Berjangka Komoditi (Bappebti). OJK tidak menjadi pilihan karena yurisdiksinya
tidak mencakup produk investasi berbasis komoditas.
Ada
dua alasan DSN MUI mengarahkannya ke Bappebti. Pertama, UU No 10 Tahun 2011
tentang Perdagangan Ber jangka Komoditas telah mengakomodasi produk syariah.
Kedua, DSN MUI telah bekerja sama dengan Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) untuk
produk syariah berdasarkan Fatwa DSN No 82 Tahun 2011. Hal ini sangat
penting karena model bisnis seperti yang ditawarkan GTIS ini memang belum
dikenal dalam yurisdiksi Bappebti, BBJ, dan berbeda dengan yang digariskan
dalam Fatwa DSN No 82.
GTIS
bermain di celah regulasi yang ada. Tidak masuk yurisdiksi Bank Indonesia,
OJK, maupun Bappebti. Yurisdiksi penjualan fisik emas juga tidak karena
adanya perbedaan harga beli emas dengan harga pasar, ada diskon bulanan,
kontrak, dan buy back guarantee.
DSN
MUI jelas bukan otoritas yang memiliki yurisdiksi. DSN MUI diberi wewenang
oleh UU Perseroan Terbatas untuk memberikan rekomendasi syariah yang
diperlukan dalam mengurus izin usaha bagi perusahaan yang akan menawarkan
produk berbasis syariah.
Bank
Indonesia sebagai otoritas yang mengatur mikro-prudensial, khususnya bidang
perbankan, memang tidak memiliki wewenang untuk mengatur perusahaan nonbank
seperti GTIS. Namun, bila GTIS melakukan kegiatan shadow banking, tentu masuk
dalam ranah BI. Sebagai otoritas makroprudensial yang mencakup otoritas moneter
dan sistem pembayaran, jelas berkepentingan dengan cadangan emas, devisa,
dan tentunya perdagangan emas serta valas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar