Rabu, 20 Maret 2013

Islam dan Dialog Peradaban



Islam dan Dialog Peradaban
Abdurrahman Mas’ud  ;  Kapuslitbang Pendidikan Agama
dan Keagamaan Kementerian Agama RI
REPUBLIKA, 15 Maret 2013


Aetika bertandang ke Indonesia, Hassan Hanafi, pemikir Islam asal Mesir, menyatakan bahwa Islam Indonesia bisa menjadi `jembatan peradaban' antara dunia Islam dan Barat. Islam di Indonesia memiliki budaya dan sejarah yang kaya dan kuat, yang membentuk pola keislaman moderat. Moderatisme inilah yang mampu menghadapkan Islam dan Barat secara setara.

Pandangan Hanafi ini tentu bukan pepesan kosong mengingat Islam Indonesia memang memiliki hal itu. Yakni, moderatisme yang di satu sisi terbuka dengan kemajuan zaman dan di sisi lain mengakar pada kepribadian bangsa. Hal ini berbanding terbalik dengan pandangan peneliti Barat. Misalnya, Clifford Geertz yang melihat Islam di Indonesia hanyalah `kulit tipis' yang menutupi `isi tebal' dari tradisi Hindu- Buddha. Maka, Islam di Indonesia adalah Islamicate: "Islam adat" (customary Islam) yang telah ternodai oleh adat non-Islam. Islam model ini merupakan tradisi rendah (low tradition) ketika dibandingkan dengan tradisi tinggi (great tradition) Islam Timur-Tengah. 

Pandangan bias ini kemudian dikritik oleh kalangan Indonesianis sendiri. Mark Woodward, guru besar Religious Studies Arizona State University dan sekarang mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM), menolak anggapan Geertz di atas. Menurut Woodward, Islam di Indonesia telah membumi ke dalam tradisi Hindu-Buddha dan akhirnya menciptakan budaya Islam baru yang berbeda dengan Timur-Tengah. 

Hal yang tidak kalah penting adalah pandangan dasar Islam tentang dialog peradaban. Surat al-Hujurat ayat 13, misalnya, mengindikasikan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar bisa saling belajar satu sama lain. Inilah ayat utama yang menjadi dalil dan rujukan dialog dengan penuh keterbukaan dan persahabatan.

Dua modal Tesis Islam Indonesia sebagai `Islam adat' ada benarnya meskipun tidak harus dibenturkan dengan `tradisi tinggi' Islam. Artinya, di Indonesia telah terjadi akulturasi Islam dan adat. Akulturasi ini terjadi, misalnya, di Minangkabau dengan semboyan adat besandi syarak, syarak besandi kitabullah. Semboyan ini merupakan win-win solution atas pertikaian kaum adat dengan ulama dalam Perang Padri selama 16 tahun (1822-1838). 

Akulturasi Islam dan lokalitas bukanlah sinkretisme, melainkan pribumisasi Islam. Sebab, sinkretisme merupakan `gado-gado teologis' yang menghilangkan batas keislaman. Sementara, pribumisasi Islam hanyalah peminjaman bentuk budaya lokal sebagai media sosialisasi nilai-nilai Islam.
Di satu sisi, peminjaman ini bisa diartikan secara teknis: sebagai media dakwah. Di sisi lain, bisa dipahami sebagai kontinuitas kebudayaan nusantara. Artinya, meskipun diperbarui oleh Islam, `zat dasar' dari kebudayaan itu tetaplah kebudayaan nusantara. 

Pada titik inilah, Islam di nusantara menjadi bagian dari budaya nusantara.
Hal ini membuahkan kekayaan kultural Islam di Indonesia yang setelah lahirnya negara-bangsa, bersikap akulturatif dengan kebangsaan. Jika kekayaan kultural Islam nusantara merupakan modal pertama bagi Islam Indonesia, kebangsaan Indonesia perspektif Islam merupakan modal kedua dari Islam di negeri ini.
 
Menariknya, hal ini dilakukan melalui penyinambungan realitas Islam nusantara menjadi kebangsaan Indonesia.

Berdasarkan kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Syekh Abdurrahman al-Masyhur, sebuah wilayah bisa menjadi dar al-Islam (wilayah Islam) ketika memuat dua hal. Pertama, terdapatnya kekuasaan Islam. Kedua, kebebasan umat Islam menjalankan syariat. Maka, para ulama pada 1936 telah melegitimasi wilayah nusantara sebagai dar al-Islam (negeri Islam). Status nusantara sebagai "negeri Islam" inilah yang kondusif bagi nasionalisme Islam.
 
Artinya, karena Pemerintah RI adalah pemerintah darurat yang punya kewenangan menerapkan syariat, Islam bisa ditegakkan di dalam bangunan negara bangsa.

Peran Dialogis

Berdasarkan realitas di atas, menjadi wajar jika Islam Indonesia memiliki modal bagi `jembatan peradaban'. Hal ini terjadi karena moderatisme dan kemodernan Islam. Moderatisme membuahkan toleransi agama. Dengan cara ini, Islam Indonesia memiliki beberapa peran dialogis dalam hubungan Islam dan Barat. Pertama, dialog antariman. Hal ini mudah dilakukan karena penekanan atas sub- stansi Islam yang membuahkan toleransi beragama. Kedua, dialog budaya.

Dalam kaitan ini, Islam Indonesia bisa menjadikan akulturasi Islam dan budaya nusantara sebagai contoh terbaik bagi dialog Islam dan kebudayaan.
 
Dengan modal dan peran strategis ini, Barat akan belajar Islam yang sesungguhnya. Hichem Djait, cendekiawan Muslim Afrika, kata-kata bijaknya layak mengakhiri tulisan ini, "The world is big enough for all human cultures and civilizations to interact and coexist, but too small for a war of civilization. We are dealing with the pattern emerging which is not confrontation between civilizations but of each one with modernity."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar