Aetika bertandang ke Indonesia,
Hassan Hanafi, pemikir Islam asal Mesir, menyatakan bahwa Islam Indonesia
bisa menjadi `jembatan peradaban' antara dunia Islam dan Barat. Islam di
Indonesia memiliki budaya dan sejarah yang kaya dan kuat, yang membentuk
pola keislaman moderat. Moderatisme inilah yang mampu menghadapkan Islam
dan Barat secara setara.
Pandangan Hanafi ini tentu
bukan pepesan kosong mengingat Islam Indonesia memang memiliki hal itu. Yakni,
moderatisme yang di satu sisi terbuka dengan kemajuan zaman dan di sisi
lain mengakar pada kepribadian bangsa. Hal ini berbanding terbalik
dengan pandangan peneliti Barat. Misalnya, Clifford Geertz yang melihat
Islam di Indonesia hanyalah `kulit tipis' yang menutupi `isi tebal' dari
tradisi Hindu- Buddha. Maka, Islam di Indonesia adalah Islamicate: "Islam adat" (customary Islam) yang telah ternodai oleh adat non-Islam. Islam
model ini merupakan tradisi rendah (low
tradition) ketika dibandingkan dengan tradisi tinggi (great tradition) Islam
Timur-Tengah.
Pandangan bias ini kemudian
dikritik oleh kalangan Indonesianis sendiri. Mark Woodward, guru besar Religious Studies Arizona State University
dan sekarang mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM), menolak anggapan
Geertz di atas. Menurut Woodward, Islam di Indonesia telah membumi ke dalam
tradisi Hindu-Buddha dan akhirnya menciptakan budaya Islam baru yang
berbeda dengan Timur-Tengah.
Hal yang tidak kalah penting
adalah pandangan dasar Islam tentang dialog peradaban. Surat al-Hujurat
ayat 13, misalnya, mengindikasikan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa agar bisa saling belajar satu sama lain. Inilah ayat
utama yang menjadi dalil dan rujukan dialog dengan penuh keterbukaan dan
persahabatan.
Dua modal Tesis Islam Indonesia
sebagai `Islam adat' ada benarnya meskipun tidak harus dibenturkan dengan
`tradisi tinggi' Islam. Artinya, di Indonesia telah terjadi akulturasi
Islam dan adat. Akulturasi ini terjadi, misalnya, di Minangkabau dengan
semboyan adat besandi syarak, syarak besandi kitabullah. Semboyan ini
merupakan win-win solution atas
pertikaian kaum adat dengan ulama dalam Perang Padri selama 16 tahun
(1822-1838).
Akulturasi Islam dan lokalitas
bukanlah sinkretisme, melainkan pribumisasi Islam. Sebab, sinkretisme
merupakan `gado-gado teologis' yang menghilangkan batas keislaman.
Sementara, pribumisasi Islam hanyalah peminjaman bentuk budaya lokal
sebagai media sosialisasi nilai-nilai Islam.
Di satu sisi, peminjaman ini bisa diartikan secara teknis: sebagai media
dakwah. Di sisi lain, bisa dipahami sebagai kontinuitas kebudayaan nusantara.
Artinya, meskipun diperbarui oleh Islam, `zat dasar' dari kebudayaan itu
tetaplah kebudayaan nusantara.
Pada titik inilah, Islam di
nusantara menjadi bagian dari budaya nusantara.
Hal ini membuahkan kekayaan kultural Islam di Indonesia yang setelah
lahirnya negara-bangsa, bersikap akulturatif dengan kebangsaan. Jika kekayaan
kultural Islam nusantara merupakan modal pertama bagi Islam Indonesia,
kebangsaan Indonesia perspektif Islam merupakan modal kedua dari Islam di
negeri ini.
Menariknya, hal ini dilakukan melalui penyinambungan realitas Islam nusantara
menjadi kebangsaan Indonesia.
Berdasarkan kitab Bughyatul Mustarsyidin
karya Syekh Abdurrahman al-Masyhur, sebuah wilayah bisa menjadi dar al-Islam (wilayah Islam) ketika
memuat dua hal. Pertama, terdapatnya kekuasaan Islam. Kedua, kebebasan umat
Islam menjalankan syariat. Maka, para ulama pada 1936 telah melegitimasi
wilayah nusantara sebagai dar
al-Islam (negeri Islam). Status nusantara sebagai "negeri Islam"
inilah yang kondusif bagi nasionalisme Islam.
Artinya, karena Pemerintah RI adalah pemerintah darurat yang punya
kewenangan menerapkan syariat, Islam bisa ditegakkan di dalam bangunan
negara bangsa.
Peran Dialogis
Berdasarkan realitas di atas, menjadi
wajar jika Islam Indonesia memiliki modal bagi `jembatan peradaban'. Hal
ini terjadi karena moderatisme dan kemodernan Islam. Moderatisme membuahkan
toleransi agama. Dengan cara ini, Islam Indonesia memiliki beberapa peran
dialogis dalam hubungan Islam dan Barat. Pertama, dialog antariman. Hal ini
mudah dilakukan karena penekanan atas sub- stansi Islam yang membuahkan
toleransi beragama. Kedua, dialog budaya.
Dalam kaitan ini, Islam
Indonesia bisa menjadikan akulturasi Islam dan budaya nusantara sebagai
contoh terbaik bagi dialog Islam dan kebudayaan.
Dengan modal dan peran strategis ini, Barat akan belajar Islam yang sesungguhnya.
Hichem Djait, cendekiawan Muslim Afrika, kata-kata bijaknya layak
mengakhiri tulisan ini, "The
world is big enough for all human cultures and civilizations to interact
and coexist, but too small for a war of civilization. We are dealing with
the pattern emerging which is not confrontation between civilizations but
of each one with modernity." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar