Jumat, 08 Maret 2013

KPK, Anas, dan Uji Kredibilitas


KPK, Anas, dan Uji Kredibilitas
Abdul Hakim MS  ;  Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 08 Maret 2013

  
Polemik panjang terkait status hukum Ketua Umum Partai Demokrat (PD), Anas Urbaningrum, selesai sudah. Pada Jumat, 22 Februari 2013, Mantan Ketua Umum PB HMI ini dinyatakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka terkait kasus pembangunan fasilitas olah raga di Hambalang. 

Menurut KPK, Anas ditetapkan sebagai tersangka setelah ditemukan dua alat bukti kuat tentang penerimaan hadiah atau janji terkait proyek Hambalang ketika masih menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014. KPK lantas menjerat Anas dengan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan ancaman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun.

Gebrakan yang dilakukan KPK ini tentu luar biasa. Penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka menjadi sejarah pertama seorang pucuk pimpinan the ruling party dibawa ke meja hijau. Selain itu, Anas Urbaningrum menjadi ketua umum partai politik kedua yang dijerat KPK dalam waktu tidak sampai satu bulan. Sebelumnya, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, juga sudah ditangkap terkait kasus impor daging sapi pada 29 Januari 2013. 

Langkah-langkah besar KPK ini seolah menyempurnakan gebrakan sebelumnya. Sebagaimana diketahui, meski sempat mendapat “perlawanan” dari Polri, KPK tetap berani “menyeret” Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus simulator ujian SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Penetapan Djoko Susilo bahkan sempat memanaskan hubungan kedua lembaga ini untuk kedua kalinya dengan memunculkan polemik 'Cicak vs Buaya' jilid II. Sebelumnya, KPK pernah bersitegang dengan Polri terkait kasus yang membelit Susno Duadji dalam polemik 'Cicak vs Buaya' jilid I. 

Serangan Balik

Meski demikian, langkah-langkah berani KPK dalam membasmi kasus rasuah ini bukanlah tanpa risiko. Upaya perlawanan untuk memasung KPK menjadi lembaga yang tak bertaji terus saja menggejala. Naasnya, upaya pelemahan ini justeru hadir dari lembaga-lembaga penting negara yang memiliki peran vital dalam perang melawan korupsi di negeri ini, DPR dan Polri.

Tentu kita tak bisa lupa dengan upaya kriminalisasi yang menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah pada 2009 silam. Dalam rekaman yang diperdengarkan di sidang MK ketika itu, upaya kriminalisasi terhadap kedua lembaga pimpinan KPK ini diarsiteki oleh oknum yang ada di lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan LPSK. 

Dari DPR, berkali-kali lembaga perwakilan yang terhormat ini mencoba mereduksi kewenangan-kewenangan kunci yang dimiliki KPK untuk membasmi korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dinilai banyak kalangan sudah cukup mumpuni untuk menindak para koruptor, terus saja coba direvisi. Poin penting kewenangan yang ingin dibatasi DPR adalah terkait penuntutan dan penyadapan yang harus mendapat izin pengadilan. Seandainya tidak mendapat penentangan kuat dari masyarakat, mungkin saja dua kewenangan ini sudah melayang dari KPK. 

Belum lagi wacana pembubaran KPK yang berkali-kali dikeluarkan oleh para politisi senayan. Kita tentu masih ingat pada 2008, politisi Partai Demokrat (PD), Ahmad Fauzi, minta KPK dibubarkan. Ia menilai bahwa KPK sudah menjadi lembaga superbody. Kemudian pada 2011, anggota Komisi III DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah, juga menuntut hal serupa. Dengan terang-terangan, Fahri menganggap KPK sudah tak dibutuhkan lagi. Bahkan banyak dari anggota DPR yang menyebut KPK sebagai “berhala Demokrasi” dengan nyinyir.

Dari lembaga kepolisian, salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjayanto, dengan terang-terangan menyebut ada upaya kriminalisasi terhadap salah satu penyidiknya, Kompol Novel Baswedan, yang dilakukan oleh Polri. Sebagaimana diketahui, pada 5 Agustus 2012 lalu, polisi menggeruduk Gedung KPK untuk menjemput paksa Novel yang dituduh terlibat dalam tindak pidana kekerasan yang terjadi pada tahun 2004. Cukup beruntung bagi KPK karena Presiden SBY turun tangan untuk menengahi konflik sehingga penyidik handalnya itu tak jadi hilang. Sebelumnya, Polri sudah menarik banyak penyidiknya yang ada di KPK.

Rentetan panjang upaya pelemahan KPK seperti tertuang dia atas, diyakini banyak pihak sebagai upaya serangan balik para koruptor (corruptors fight back). Itu sebabnya, para pimpinan dan pegawai KPK harus berteguh hati. Karena memang, dalam memberantas korupsi, selain keberanian, yang diperlukan adalah komitmen kuat agar praktik penggerogotan uang negara ini bisa lenyap dari bumi pertiwi.

Uji Kredibiltas

Melihat beratnya tantangan yang dihadapi KPK, maka sudah sepatutnya lembaga ini juga tak gegabah dalam menjalankan tugasnya. Adanya kabar tak sedap terkait bocornya sprindik penetapan status tersangka terhadap Anas Urbaningrum yang melibatkan level pimpinan KPK, menjadi ujian kredibiltas yang sesungguhnya. Apalagi, banyak kalangan menengarai bahwa penetapan status tersangka Anas lebih banyak dibumbui aroma politis. 

Kritik yang banyak muncul ke KPK saat ini adalah penetapan Anas sebagai tersangka agak terlambat. Karena rumor keterlibatan Anas sudah mencuat dua tahun silam, tepatnya saat M. Nazaruddin ditangkap KPK pada 2011. Sejak itu, Anas terus saja dikait-kaitkan dengan kasus korupsi yang merundung mantan Bendahara Umum PD ini. Dalam berbagai kesempatan, Nazaruddin selalu menuduh Anas sebagai dalang dari beberapa kasus korupsi yang tengah menjerat dirinya.

Dugaan KPK diintervensi pun mengemuka. Hal itu setidaknya merujuk pada dua indikasi. Pertama, penetapan status tersangka kepada Anas Urbaningrum dilakukan setelah Presiden SBY meminta agar KPK dengan segera memperjelas status hukumnya. Kedua, pada saat mengemukakan delapan jalan penyelamatan PD, SBY dengan tegas sudah meminta Anas agar fokus mengurus masalah hukum yang menjeratnya di KPK. Hal ini banyak diinterpretasikan beberapa kalangan bahwa SBY sudah tahu jikalau suami Atiyah ini sebetulnya bakal berurusan dengan pengadilan Tipikor.

Melihat kondisi ini, KPK semestinya harus lebih mawas diri. Karena saat ini, banyak mata yang akan menyorot sekecil apapun kesalahan yang akan dilakukan. Itu sebabnya, KPK harus bisa menjawab kehawatiran dengan kerja yang lebih profesional dengan tak ikut larut dalam pusaran politik yang makin panas menjelang pemilu 2014 mendatang. Karena disinilah uji kredibiltas KPK yang sebenarnya.

Oleh karena itu, dalam menangangi kasus-kasus “panas” yang saat ini sedang mengemuka, hendaknya KPK tetap berada di koridor hukum. Jangan sampai kasus Anas urbaningrum, misalnya, bisa menjadi penyebab tergerogotinya kredibiltas KPK yang sudah dianggap publik cukup berhasil memberantas praktik rasuah. Karena jika itu terjadi, rasanya publik tak punya lagi kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum. Dan itu artinya, corruptors fight back menemui kemenangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar