Polemik panjang terkait
status hukum Ketua Umum Partai Demokrat (PD), Anas Urbaningrum, selesai
sudah. Pada Jumat, 22 Februari 2013, Mantan Ketua Umum PB HMI ini
dinyatakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka
terkait kasus pembangunan fasilitas olah raga di Hambalang.
Menurut KPK, Anas ditetapkan sebagai tersangka setelah
ditemukan dua alat bukti kuat tentang penerimaan hadiah atau janji terkait
proyek Hambalang ketika masih menjabat sebagai anggota DPR RI periode
2009-2014. KPK lantas menjerat Anas dengan pasal 12 huruf a atau b atau
pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) dengan ancaman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun.
Gebrakan yang dilakukan KPK ini tentu luar biasa. Penetapan
Anas Urbaningrum sebagai tersangka menjadi sejarah pertama seorang pucuk
pimpinan the ruling party dibawa ke meja hijau. Selain itu, Anas
Urbaningrum menjadi ketua umum partai politik kedua yang dijerat KPK dalam
waktu tidak sampai satu bulan. Sebelumnya, mantan Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, juga sudah ditangkap terkait kasus
impor daging sapi pada 29 Januari 2013.
Langkah-langkah besar KPK ini seolah menyempurnakan
gebrakan sebelumnya. Sebagaimana diketahui, meski sempat mendapat
“perlawanan” dari Polri, KPK tetap berani “menyeret” Irjen Pol Djoko Susilo
sebagai tersangka dalam kasus simulator ujian SIM di Korps Lalu Lintas
(Korlantas) Polri. Penetapan Djoko Susilo bahkan sempat memanaskan hubungan
kedua lembaga ini untuk kedua kalinya dengan memunculkan polemik 'Cicak vs
Buaya' jilid II. Sebelumnya, KPK pernah bersitegang dengan Polri terkait
kasus yang membelit Susno Duadji dalam polemik 'Cicak vs Buaya' jilid I.
Serangan Balik
Meski demikian, langkah-langkah berani KPK dalam membasmi
kasus rasuah ini bukanlah tanpa risiko. Upaya perlawanan untuk memasung KPK
menjadi lembaga yang tak bertaji terus saja menggejala. Naasnya, upaya
pelemahan ini justeru hadir dari lembaga-lembaga penting negara yang
memiliki peran vital dalam perang melawan korupsi di negeri ini, DPR dan
Polri.
Tentu kita tak bisa lupa dengan upaya kriminalisasi yang
menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah pada 2009 silam. Dalam
rekaman yang diperdengarkan di sidang MK ketika itu, upaya kriminalisasi
terhadap kedua lembaga pimpinan KPK ini diarsiteki oleh oknum yang ada di
lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan LPSK.
Dari DPR, berkali-kali lembaga perwakilan yang terhormat
ini mencoba mereduksi kewenangan-kewenangan kunci yang dimiliki KPK untuk
membasmi korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang
dinilai banyak kalangan sudah cukup mumpuni untuk menindak para koruptor,
terus saja coba direvisi. Poin penting kewenangan yang ingin dibatasi DPR
adalah terkait penuntutan dan penyadapan yang harus mendapat izin
pengadilan. Seandainya tidak mendapat penentangan kuat dari masyarakat,
mungkin saja dua kewenangan ini sudah melayang dari KPK.
Belum lagi wacana pembubaran KPK yang berkali-kali
dikeluarkan oleh para politisi senayan. Kita tentu masih ingat pada 2008,
politisi Partai Demokrat (PD), Ahmad Fauzi, minta KPK dibubarkan. Ia
menilai bahwa KPK sudah menjadi lembaga superbody. Kemudian pada
2011, anggota Komisi III DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Fahri Hamzah, juga menuntut hal serupa. Dengan terang-terangan,
Fahri menganggap KPK sudah tak dibutuhkan lagi. Bahkan banyak dari anggota
DPR yang menyebut KPK sebagai “berhala Demokrasi” dengan nyinyir.
Dari lembaga kepolisian, salah satu pimpinan KPK, Bambang
Widjayanto, dengan terang-terangan menyebut ada upaya kriminalisasi
terhadap salah satu penyidiknya, Kompol Novel Baswedan, yang dilakukan oleh
Polri. Sebagaimana diketahui, pada 5 Agustus 2012 lalu, polisi menggeruduk
Gedung KPK untuk menjemput paksa Novel yang dituduh terlibat dalam tindak
pidana kekerasan yang terjadi pada tahun 2004. Cukup beruntung bagi KPK
karena Presiden SBY turun tangan untuk menengahi konflik sehingga penyidik
handalnya itu tak jadi hilang. Sebelumnya, Polri sudah menarik banyak penyidiknya
yang ada di KPK.
Rentetan panjang upaya pelemahan KPK seperti tertuang dia
atas, diyakini banyak pihak sebagai upaya serangan balik para koruptor (corruptors fight back). Itu
sebabnya, para pimpinan dan pegawai KPK harus berteguh hati. Karena memang,
dalam memberantas korupsi, selain keberanian, yang diperlukan adalah
komitmen kuat agar praktik penggerogotan uang negara ini bisa lenyap dari
bumi pertiwi.
Uji Kredibiltas
Melihat beratnya tantangan yang dihadapi KPK, maka sudah
sepatutnya lembaga ini juga tak gegabah dalam menjalankan tugasnya. Adanya
kabar tak sedap terkait bocornya sprindik penetapan status tersangka
terhadap Anas Urbaningrum yang melibatkan level pimpinan KPK, menjadi ujian
kredibiltas yang sesungguhnya. Apalagi, banyak kalangan menengarai bahwa
penetapan status tersangka Anas lebih banyak dibumbui aroma politis.
Kritik yang banyak muncul ke KPK saat ini adalah
penetapan Anas sebagai tersangka agak terlambat. Karena rumor keterlibatan
Anas sudah mencuat dua tahun silam, tepatnya saat M. Nazaruddin ditangkap
KPK pada 2011. Sejak itu, Anas terus saja dikait-kaitkan dengan kasus
korupsi yang merundung mantan Bendahara Umum PD ini. Dalam berbagai
kesempatan, Nazaruddin selalu menuduh Anas sebagai dalang dari beberapa
kasus korupsi yang tengah menjerat dirinya.
Dugaan KPK diintervensi pun mengemuka. Hal itu setidaknya
merujuk pada dua indikasi. Pertama, penetapan status tersangka kepada Anas
Urbaningrum dilakukan setelah Presiden SBY meminta agar KPK dengan segera
memperjelas status hukumnya. Kedua, pada saat mengemukakan delapan jalan
penyelamatan PD, SBY dengan tegas sudah meminta Anas agar fokus mengurus
masalah hukum yang menjeratnya di KPK. Hal ini banyak diinterpretasikan
beberapa kalangan bahwa SBY sudah tahu jikalau suami Atiyah ini sebetulnya
bakal berurusan dengan pengadilan Tipikor.
Melihat kondisi ini, KPK semestinya harus lebih mawas
diri. Karena saat ini, banyak mata yang akan menyorot sekecil apapun
kesalahan yang akan dilakukan. Itu sebabnya, KPK harus bisa menjawab kehawatiran
dengan kerja yang lebih profesional dengan tak ikut larut dalam pusaran
politik yang makin panas menjelang pemilu 2014 mendatang. Karena disinilah
uji kredibiltas KPK yang sebenarnya.
Oleh karena itu, dalam menangangi kasus-kasus “panas”
yang saat ini sedang mengemuka, hendaknya KPK tetap berada di koridor
hukum. Jangan sampai kasus Anas urbaningrum, misalnya, bisa menjadi
penyebab tergerogotinya kredibiltas KPK yang sudah dianggap publik cukup
berhasil memberantas praktik rasuah. Karena jika itu terjadi, rasanya
publik tak punya lagi kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum. Dan itu
artinya, corruptors fight back menemui kemenangannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar