KISRUH perpolitikan menuju
2014 perlu cepat ditanggapi. Bu kan hanya Pak SBY yang menunjukkan
keprihatinan, publik yang awam pun mencemaskan memburuknya situasi. Kalau
mau jujur, partai-partai politiklah yang paling bertanggung jawab meredam
kekalutan. Demokrasi kita sedang teruji. Nantinya yang tidak terlupakan ialah
bagaimana para pemimpin sekarang menangani persoalan. Yang akan diingat,
kekisruhan itu timbul terutama karena sikap dan perilaku sederetan pemimpin
yang tidak terpuji. Lacurnya, rakyat cenderung akan lebih ingat pada
perilaku mereka yang keliru daripada mengenang jasa baik para pemimpin lain
selama ini-gejala begini sering terjadi.
Tantangan lain pun muncul berupa persoalan
lama yang selalu dipermasalahkan seputar masa pemilu, khususnya soal
persyaratan kuota 30% untuk caleg perempuan. Itu berkaitan dengan masalah
diskriminasi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perjuangan demokrasi.
Faktanya, diskriminasi ialah lambang keangkuhan yang mungkin hanya bisa
ditundukkan kebijaksanaan.
“Knowledge is proud because he knows
so much. Wisdom is humble because she knows no more.“ Itu kesan umum
yang kita peroleh tentang beda sikap antara laki-laki dan perempuan,
khususnya dalam berpolitik.
Alasannya bisa digali dari peradaban
manusia sendiri. Tentang perempuan, menurut ajaran Timur lama, bagian yang
gelap dalam kehidupan ini, bagian yang tidak dikenal, yang misterius,
dianalogikan dengan perempuan. Air menjadi lambangnya karena memiliki
kedalaman misterius dari mana lahir kehidupan. Kedalaman dan kepasifannya
beranalogi dengan ketidakagresifan perempuan. Menurut ajaran Timur lama
itu, konon perempuan sejati tahu bahwa sikap yang luhur tidak mengenal
agresi karena kebaikan dan kebajikan tertinggi ibarat air--hanya mengisi,
hanya merendah, hanya melimpah. Kata-kata filsuf China Lao Tse (604-531 SM) mendukung gagasan itu.
Bagaimana kalau perekrutan perempuan
menjadi persyaratan pemilu yang akan datang ini? Persoalan itu meminta
perhatian tersendiri. Beban partai-partai politik bertambah berat karena
usaha perekrutan caleg perempuan tidak semudah perkiraan orang. Bersyukurlah
partai-partai politik yang mampu menjadi magnet bagi caleg perempuan
berkualitas. Makin besar jumlah kelompok seperti itu yang tertarik menjadi
caleg, makin besar harapan bagi kemaslahatan bersama masyarakat Indonesia.
Sikap
Perempuan, Dulu dan Sekarang
Kalau
dulu menurut Lao Tse perempuan ibarat air yang hanya mengisi, merendah, dan
melimpah, apakah sekarang, 2.500 tahun kemudian, anggapan itu masih harus berlaku?
Tentang itu sebenarnya biarkan laki-laki atau perempuan bertanya pada diri
sendiri. Masing-masing memiliki persepsi
berbeda. Namun, jelas anggapan seperti itu bisa menumbuhkan sikap
diskriminatif terhadap gender; selain ada hal-hal lain seperti ketentuan
alam yang membedakan fungsi biologis laki-laki dan perempuan, yang dalam
perjalanan waktu membagi tugas-tugas laki-laki dan perempuan sesuai dengan
`kodratnya'. Belum lagi kalau bicara soal tradisi dan agama. Masalah-masalah primordial itu masih ada.
Mungkin karena keinginan kita mewujudkan
demokrasi dan menyegerakan modernisasi peran perempuan, Pasal 8 butir d UU
Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan
perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu
persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53
UU Pemilu Legislatif menyatakan daftar bakal calon peserta pemilu juga
memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.
Apakah mungkin persyaratan itu bisa terpenuhi? Koran
Tempo edisi 1 Oktober 2009 menyebutkan persentase anggota DPR menurut jenis
kelamin periode 1999-2004: laki-laki/ perempuan 91,0%-9,0%; 20042009:
89,3%-10,7%; dan 2009-2014: 82,4%-17,6%. Seperti kita lihat, pada periode
terakhir ini jumlah keterwakilan kita sudah lebih tinggi daripada angka
rata-rata keterwakilan perempuan di perwakilan rakyat dunia, yang hanya
sekitar 15%. Bahkan parlemen di wilayah Timur Tengah nyaris tidak memiliki
keterwakilan perempuan yang berarti. Namun, perempuan Skandinavia memiliki
keterwakilan melebihi 40%. Mungkin kenyataan tersebut yang membuat HAM di
negara-negara Skandinavia sampai sekarang menjadi rujukan masyarakat dunia.
Peran
Perempuan Dalam Berpolitik
Perempuan-perempuan
Skandinavia kelihatannya berpengaruh besar terhadap
pembangunan karakter bangsa--kalau kita
melihatnya dari sudut kesuksesan HAM di Skandinavia. Peran itu tentu lebih
berarti daripada sekadar menorehkan angka 30% untuk keterwakilan perempuan dalam
perwakilan rakyat. Yang penting ialah makna keterwakilan itu. Tentu 30% akan
sangat bermakna bila perempuan-perempuan di perwakilan
rakyat bisa efektif memberikan peran terbaik
mereka bukan sekadar menjadi mitra laki-laki dalam berpolitik, melainkan
sebagai kelompok yang efektif membangun karakter bangsa. Inilah pentingnya
pendidikan politik untuk para kader partai-partai politik--masing-masing
mengusung yang terbaik dalam dirinya untuk disumbangkan kepada bangsa dan
negara.
Kalau diambil padanannya di bidang
manajemen, barangkali peran perempuan dalam pembangunan politik diharapkan
tidak ubahnya seperti peran pemimpin pelayan-pemimpin yang melayani. Itu
tepat sekali untuk peran dalam perwakilan rakyat, yang memanifestasikan
diri dalam kepedulian bahwa yang menjadi prioritas tertinggi: orang lain
adalah untuk dilayani.
Sifat-sifat dari pemimpin pelayan: mau
mendengarkan dan merenungkan, mau berempati, memiliki nurani, mampu
menjalankan persuasi, memberikan komitmen, dan membangun masyarakat.
Idealnya, begitulah peran perempuan dalam berpolitik. Semoga partai-partai
politik mampu menjadi magnet untuk perempuan-perempuan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar