Jumat, 08 Maret 2013

Caleg Perempuan yang Bijak


Caleg Perempuan yang Bijak
Toeti Prahas Adhitama  ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 08 Maret 2013

  
KISRUH perpolitikan menuju 2014 perlu cepat ditanggapi. Bu kan hanya Pak SBY yang menunjukkan keprihatinan, publik yang awam pun mencemaskan memburuknya situasi. Kalau mau jujur, partai-partai politiklah yang paling bertanggung jawab meredam kekalutan. Demokrasi kita sedang teruji. Nantinya yang tidak terlupakan ialah bagaimana para pemimpin sekarang menangani persoalan. Yang akan diingat, kekisruhan itu timbul terutama karena sikap dan perilaku sederetan pemimpin yang tidak terpuji. Lacurnya, rakyat cenderung akan lebih ingat pada perilaku mereka yang keliru daripada mengenang jasa baik para pemimpin lain selama ini-gejala begini sering terjadi.

Tantangan lain pun muncul berupa persoalan lama yang selalu dipermasalahkan seputar masa pemilu, khususnya soal persyaratan kuota 30% untuk caleg perempuan. Itu berkaitan dengan masalah diskriminasi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perjuangan demokrasi. Faktanya, diskriminasi ialah lambang keangkuhan yang mungkin hanya bisa ditundukkan kebijaksanaan.

“Knowledge is proud because he knows so much. Wisdom is humble because she knows no more.“ Itu kesan umum yang kita peroleh tentang beda sikap antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam berpolitik.

Alasannya bisa digali dari peradaban manusia sendiri. Tentang perempuan, menurut ajaran Timur lama, bagian yang gelap dalam kehidupan ini, bagian yang tidak dikenal, yang misterius, dianalogikan dengan perempuan. Air menjadi lambangnya karena memiliki kedalaman misterius dari mana lahir kehidupan. Kedalaman dan kepasifannya beranalogi dengan ketidakagresifan perempuan. Menurut ajaran Timur lama itu, konon perempuan sejati tahu bahwa sikap yang luhur tidak mengenal agresi karena kebaikan dan kebajikan tertinggi ibarat air--hanya mengisi, hanya merendah, hanya melimpah. Kata-kata filsuf China Lao Tse (604-531 SM) mendukung gagasan itu.

Bagaimana kalau perekrutan perempuan menjadi persyaratan pemilu yang akan datang ini? Persoalan itu meminta perhatian tersendiri. Beban partai-partai politik bertambah berat karena usaha perekrutan caleg perempuan tidak semudah perkiraan orang. Bersyukurlah partai-partai politik yang mampu menjadi magnet bagi caleg perempuan berkualitas. Makin besar jumlah kelompok seperti itu yang tertarik menjadi caleg, makin besar harapan bagi kemaslahatan bersama masyarakat Indonesia.

Sikap Perempuan, Dulu dan Sekarang

Kalau dulu menurut Lao Tse perempuan ibarat air yang hanya mengisi, merendah, dan melimpah, apakah sekarang, 2.500 tahun kemudian, anggapan itu masih harus berlaku? Tentang itu sebenarnya biarkan laki-laki atau perempuan bertanya pada diri sendiri. Masing-masing memiliki persepsi berbeda. Namun, jelas anggapan seperti itu bisa menumbuhkan sikap diskriminatif terhadap gender; selain ada hal-hal lain seperti ketentuan alam yang membedakan fungsi biologis laki-laki dan perempuan, yang dalam perjalanan waktu membagi tugas-tugas laki-laki dan perempuan sesuai dengan `kodratnya'. Belum lagi kalau bicara soal tradisi dan agama. Masalah-masalah primordial itu masih ada.

Mungkin karena keinginan kita mewujudkan demokrasi dan menyegerakan modernisasi peran perempuan, Pasal 8 butir d UU Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif menyatakan daftar bakal calon peserta pemilu juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.

Apakah mungkin persyaratan itu bisa terpenuhi? Koran Tempo edisi 1 Oktober 2009 menyebutkan persentase anggota DPR menurut jenis kelamin periode 1999-2004: laki-laki/ perempuan 91,0%-9,0%; 20042009: 89,3%-10,7%; dan 2009-2014: 82,4%-17,6%. Seperti kita lihat, pada periode terakhir ini jumlah keterwakilan kita sudah lebih tinggi daripada angka rata-rata keterwakilan perempuan di perwakilan rakyat dunia, yang hanya sekitar 15%. Bahkan parlemen di wilayah Timur Tengah nyaris tidak memiliki keterwakilan perempuan yang berarti. Namun, perempuan Skandinavia memiliki keterwakilan melebihi 40%. Mungkin kenyataan tersebut yang membuat HAM di negara-negara Skandinavia sampai sekarang menjadi rujukan masyarakat dunia.

Peran Perempuan Dalam Berpolitik

Perempuan-perempuan Skandinavia kelihatannya berpengaruh besar terhadap
pembangunan karakter bangsa--kalau kita melihatnya dari sudut kesuksesan HAM di Skandinavia. Peran itu tentu lebih berarti daripada sekadar menorehkan angka 30% untuk keterwakilan perempuan dalam perwakilan rakyat. Yang penting ialah makna keterwakilan itu. Tentu 30% akan sangat bermakna bila perempuan-perempuan di perwakilan rakyat bisa efektif memberikan peran terbaik mereka bukan sekadar menjadi mitra laki-laki dalam berpolitik, melainkan sebagai kelompok yang efektif membangun karakter bangsa. Inilah pentingnya pendidikan politik untuk para kader partai-partai politik--masing-masing mengusung yang terbaik dalam dirinya untuk disumbangkan kepada bangsa dan negara.

Kalau diambil padanannya di bidang manajemen, barangkali peran perempuan dalam pembangunan politik diharapkan tidak ubahnya seperti peran pemimpin pelayan-pemimpin yang melayani. Itu tepat sekali untuk peran dalam perwakilan rakyat, yang memanifestasikan diri dalam kepedulian bahwa yang menjadi prioritas tertinggi: orang lain adalah untuk dilayani.

Sifat-sifat dari pemimpin pelayan: mau mendengarkan dan merenungkan, mau berempati, memiliki nurani, mampu menjalankan persuasi, memberikan komitmen, dan membangun masyarakat. Idealnya, begitulah peran perempuan dalam berpolitik. Semoga partai-partai politik mampu menjadi magnet untuk perempuan-perempuan bermartabat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar