"Elite
perlu lebih memahami ilmu public relations bahwa tiap institusi, tak
mungkin terlepas dari faktor pemicu krisis citra"
ENTAH siapa kali pertama melontarkan
istilah tahun politik ke ranah publik, namun bagi Indonesia tahun 2013
memang pantas disebut tahun politik. Sayang, elite politik tidak begitu
tepat menerjemahkannya sehingga malah menampakkan kesan mereka saling salip
dan saling mementingkan kelompok dalam upaya merebut simpati rakyat terkait
dengan pilkada, pileg, dan Pilpres 2014.
Saking antusiasnya, apa pun yang merugikan
kelompok atau partai politik (parpol) mereka, selalu dikaitkan dengan
kepentingan jangka pendek guna memenangi pileg ataupun pilpres tahun depan.
Padahal, sebenarnya yang sedang menimpa elite, kelompok, atau parpol,
jelas-jelas terkait dengan kasus hukum.
Contoh aktual ketika Presiden PKS diduga
terlibat kasus hukum maka penggantinya dalam pidato politik saat pelantikan
langsung melontarkan tuduhan ada konspirasi oleh pihak tertentu, melalui
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pidato politik yang akhirnya justru
menuai berbagai kritik, mampu mereka redam demi menghindari saling bantah,
sehingga citra partai tersebut tidak kian terpuruk.
Demikian pula ketika Presiden SBY dalam
sebuah sidang kabinet menyinggung dan memerintah salah satu menterinya
berkait kasus lumpur Lapindo agar segera menyelesaikan kewajibannya
terhadap warga Sidoarjo. Sontak, beberapa elite Golkar pun meradang menuduh
SBY mempolitisasi kasus Lapindo guna menyeimbangkan berbagai kecaman
terhadap beberapa elite Demokrat yang diduga korupsi. Demikian pula ketika
beberapa elite parpol di Komisi III DPR diperiksa terkait kasus simulator
SIM.
Yang paling gres, setelah Anas Urbaningrum
ditetapkan oleh KPK menjadi tersangka kasus Hambalang dan ia berhenti
sebagai ketua umum partai. Pernyataan persnya justru realitas itu
dianggapnya telah mempolitisasi kasus hukum yang membelitnya. Terlebih
tatkala nama sekjen partai, Ibas, juga disebut-sebut diduga menerima dana
Hambalang. Ditambah ketika berbagai media mem-blow-up dengan menunjukkan
rincian pengeluaran uang versi Mindo Rosalina Manulang.
Seni
Komunikasi
Pertanyaannya, mengapa hal-hal semacam itu
dilakukan oleh elite politik kita yang katanya ingin menyejahterakan
rakyat? Menguntungkankah model komunikasi politik semacam itu, dan
bagaimana sebaiknya ke depan?
Bila para elite memahami bahwa sebenarnya
pengertian politik itu bukan hanya kekuasaan melainkan juga memiliki
pengertian sebagai seni, maka para elite tentu tidak akan segampang
sekarang ini dengan saling serang dan saling menjatuhkan demi peningkatan citra
masing-masing. Selain kegiatan saling serang itu dari sisi public relations (PR) menunjukkan
ketidakharmonisan, utamanya pada internal, faktanya rakyat yang makin
cerdas pun akan menilai bagaimana mungkin parpol semacam itu mampu
memikirkan rakyat. Menyelesaikan konflik internal saja, tidak mampu.
Demikian pula tatkala saling serang itu
terjadi antarparpol, rakyat pun akan berpikir bagaimana mereka bisa bekerja
sama, bahu-membahu mengelola negara, bila belum berkuasa saja sudah saling
berebut citra, bahkan saling sikut. Berbagai istilah ekstrem semacam
politik Sengkuni, sadisme politik, dan sejenisnya, dari sisi semiotika dan
penggunaan simbol dalam wacana jelas menunjukkan egoisme
masing-masing. Bila hal ini dilihat dari seni berkomunikasi, jelas mengabaikan
rasa empati dan etika berkomunikasi, yang bisa berdampak melahirkan
antipati.
Bila hal itu tidak segera diakhiri (seperti
secara apik dilakukan oleh PKS setelah menuduh ada konspirasi) maka bukan
peningkatan elektabilitas parpol yang akan diperoleh, melainkan justru
sebaliknya, yakni keterpurukan. Berbagai adagium klasik seperti nglurug
tanpa bala, menang tanpa ngasorake, mestinya dipahami dan dilakukan oleh
para politikus kita.
Mestinya para elite perlu lebih memahami
ilmu public relations sehingga mengerti bahwa tiap institusi (termasuk
parpol), tidak mungkin terlepas dari faktor pemicu krisis citra, termasuk
bagaimana memgelola dan mengatasinya. Kasus dugaan korupsi yang menimpa
tokoh parpol sebagai dampak karut-marutnya sistem politik kita saat ini
hampir tidak mungkin dihindari dan disangkal.
Solusinya, lebih baik mengakui dan meminta
maaf sekaligus berjanji tidak mengulangi bila sudah terbukti melalui proses
peradilan. Seandainya baru dugaan, serahkan saja kepada aparat hukum,
sembari menghindari model komunikasi politik yang terlalu antusias dan
model justifikasi komunikasi. Lebih baik menggantinya dengan komunikasi
yang jujur, informatif, persuasif, komprehensif, sekaligus empatik.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar