Kamis, 21 Maret 2013

Komunikasi Politik pada Tahun Politik


Komunikasi Politik pada Tahun Politik
Gunawan Witjaksana ;  Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
SUARA MERDEKA, 21 Maret 2013

  
"Elite perlu lebih memahami ilmu public relations bahwa tiap institusi, tak mungkin terlepas dari faktor pemicu krisis citra"

ENTAH siapa kali pertama melontarkan istilah tahun politik ke ranah publik, namun bagi Indonesia tahun 2013 memang pantas disebut tahun politik. Sayang, elite politik tidak begitu tepat menerjemahkannya sehingga malah menampakkan kesan mereka saling salip dan saling mementingkan kelompok dalam upaya merebut simpati rakyat terkait dengan pilkada, pileg, dan Pilpres 2014.

Saking antusiasnya, apa pun yang merugikan kelompok atau partai politik (parpol) mereka, selalu dikaitkan dengan kepentingan jangka pendek guna memenangi pileg ataupun pilpres tahun depan. Padahal, sebenarnya yang sedang menimpa elite, kelompok, atau parpol, jelas-jelas terkait dengan kasus hukum.

Contoh aktual ketika Presiden PKS diduga terlibat kasus hukum maka penggantinya dalam pidato politik saat pelantikan langsung melontarkan tuduhan ada konspirasi oleh pihak tertentu, melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pidato  politik yang akhirnya justru menuai berbagai kritik, mampu mereka redam demi menghindari saling bantah, sehingga citra partai tersebut tidak kian terpuruk.

Demikian pula ketika Presiden SBY dalam sebuah sidang kabinet menyinggung dan memerintah salah satu menterinya berkait kasus lumpur Lapindo agar segera menyelesaikan kewajibannya terhadap warga Sidoarjo. Sontak, beberapa elite Golkar pun meradang menuduh SBY mempolitisasi kasus Lapindo guna menyeimbangkan berbagai kecaman terhadap beberapa elite Demokrat yang diduga korupsi. Demikian pula ketika beberapa elite parpol di Komisi III DPR diperiksa terkait kasus simulator SIM.

Yang paling gres, setelah Anas Urbaningrum ditetapkan oleh KPK menjadi tersangka kasus Hambalang dan ia berhenti sebagai ketua umum partai. Pernyataan persnya justru realitas itu dianggapnya telah mempolitisasi kasus hukum yang membelitnya. Terlebih tatkala nama sekjen partai, Ibas, juga disebut-sebut diduga menerima dana Hambalang. Ditambah ketika berbagai media mem-blow-up dengan menunjukkan rincian pengeluaran uang versi Mindo Rosalina Manulang.

Seni Komunikasi

Pertanyaannya, mengapa hal-hal semacam itu dilakukan oleh elite politik kita yang katanya ingin menyejahterakan rakyat? Menguntungkankah model komunikasi politik semacam itu, dan bagaimana sebaiknya ke depan?

Bila para elite memahami bahwa sebenarnya pengertian politik itu bukan hanya kekuasaan melainkan juga memiliki pengertian sebagai seni, maka para elite tentu tidak akan segampang sekarang ini dengan saling serang dan saling menjatuhkan demi peningkatan citra masing-masing. Selain kegiatan saling serang itu dari sisi public relations (PR) menunjukkan ketidakharmonisan, utamanya pada internal, faktanya rakyat yang makin cerdas pun akan menilai bagaimana mungkin parpol semacam itu mampu memikirkan rakyat. Menyelesaikan konflik internal saja, tidak mampu.

Demikian pula tatkala saling serang itu terjadi antarparpol, rakyat pun akan berpikir bagaimana mereka bisa bekerja sama, bahu-membahu mengelola negara, bila belum berkuasa saja sudah saling berebut citra, bahkan saling sikut. Berbagai istilah ekstrem semacam politik Sengkuni, sadisme politik, dan sejenisnya, dari sisi semiotika dan penggunaan simbol dalam wacana jelas  menunjukkan egoisme masing-masing. Bila hal ini dilihat dari seni berkomunikasi, jelas mengabaikan rasa empati dan etika berkomunikasi, yang bisa berdampak melahirkan antipati.

Bila hal itu tidak segera diakhiri (seperti secara apik dilakukan oleh PKS setelah menuduh ada konspirasi) maka bukan peningkatan elektabilitas parpol yang akan diperoleh, melainkan justru sebaliknya, yakni keterpurukan. Berbagai adagium klasik seperti nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, mestinya dipahami dan dilakukan oleh para politikus kita.

Mestinya para elite perlu lebih memahami ilmu public relations sehingga mengerti bahwa tiap institusi (termasuk parpol), tidak mungkin terlepas dari faktor pemicu krisis citra, termasuk bagaimana memgelola dan mengatasinya. Kasus dugaan korupsi yang menimpa tokoh parpol sebagai dampak karut-marutnya sistem politik kita saat ini hampir tidak mungkin dihindari dan disangkal.    

Solusinya, lebih baik mengakui dan meminta maaf sekaligus berjanji tidak mengulangi bila sudah terbukti melalui proses peradilan. Seandainya baru dugaan, serahkan saja kepada aparat hukum, sembari menghindari model komunikasi politik yang terlalu antusias dan model justifikasi komunikasi. Lebih baik menggantinya dengan komunikasi yang  jujur, informatif, persuasif, komprehensif, sekaligus empatik. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar