Salah satu persoalan aktual dan tren di balik
pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pasca-reformasi
adalah mengenai pemberhentian (impeachment)
kepala daerah dan juga pengunduran diri kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah. Usul pengunduran diri kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
pada umumnya tidak banyak menimbulkan kontroversi dan gejolak politik yang
tajam. Sebaliknya, usul pemberhentian seorang kepala daerah oleh sebagian
kalangan diyakini bisa berpotensi menimbulkan gejolak politik di
masing-masing daerah.
Atas persoalan tersebut, publik sering kali meminta
kepada pemerintah pusat, khususnya melalui Kementerian Dalam Negeri, agar
bersikap tegas, memberi teguran/peringatan, atau bahkan memberhentikan
kepala daerah dan/wakil kepala daerah, yang diduga dan didakwa melakukan
pelanggaran hukum (pidana khusus dan pidana umum), melanggar sumpah
jabatan, dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Eksistensi kepala daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus dilihat dari dua aspek. Pertama, kepala daerah/wakil kepala
daerah sebagai pejabat publik yang memimpin pemerintahan daerah sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, kepala
daerah/wakil kepala daerah sebagai jabatan politik, di mana sumber
legitimasi politiknya sebagai proses politik diperoleh melalui mekanisme
langsung (Pasal 18 ayat 4).
Mekanisme Pemberhentian
Setiap kepala daerah/wakil kepala daerah dapat
diberhentikan karena dua alasan, yaitu faktor politik dan faktor hukum.
Pertama, faktor politik terjadi apabila tindakan pemberhentian kepala
daerah bukan karena meninggal dunia ataupun atas permintaan sendiri,
melainkan karena usul DPRD jika mereka; (a) tidak dapat melaksanakan tugas
secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6
bulan (Pasal 29 1 ayat 2 huruf b), tidak lagi memenuhi syarat sebagai
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah (Pasal 29 1 ayat 2 huruf c),
dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah (Pasal 29 1 ayat 2 huruf d), tidak melaksanakan kewajiban
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah (Pasal 29 1 ayat 2 huruf e), dan
melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah (Pasal
29 1 ayat 2 huruf f).
Mekanisme pemberhentian kepala daerah/wakil kepala
daerah dengan proses ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 29 ayat 3 dan 4 huruf a, b,
c, d, dan e, dan sebagai pejabat publik, hal ini diatur dalam PP Nomor 6
Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 123 ayat 4. Ketentuan yang ada
dalam Pasal 29 ayat 3 dan 4 huruf a, b, c, d, dan e ini kemudian menjadi
dasar bagi Pasal 123 ayat 2, PP Nomor 6 Tahun 2005 tersebut.
Dalam Pasal 123 ayat 2 PP tersebut dijelaskan bahwa
mekanisme pemberhentian kepala daerah, atas sejumlah sebab, salah satunya
adalah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah (Pasal 123 ayat 2d) dan melanggar larangan sebagai
(Pasal 123 ayat 2f). Mekanisme pemberhentian kepala daerah/wakil kepala
daerah sudah diatur dalam Pasal 123 ayat 4a, b, c, d, dan e), yaitu
berdasarkan pendapat DPRD yang memutuskan pemberhentian kepala daerah/wakil
kepala daerah kepada presiden karena melanggar sumpah/janji jabatan. Dan
pendapat DPRD tersebut telah diputuskan sekurang-kurangnya oleh dua pertiga
dari jumlah anggota DPRD yang dihadiri oleh tiga perempat dari anggota DPRD
(Pasal 123 ayat 4b). Lalu, Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan
memutuskan pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 hari setelah permintaan
tersebut disampaikan oleh DPRD dan putusannya bersifat final (Pasal 123
ayat 4c).
Apabila Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan
dan atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat
Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah
anggota DPRD, dan putusan diambil oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari
jumlah anggota DPRD yang hadir untuk mengusulkan pemberhentian kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada presiden (Pasal 123 ayat 4d).
Jika Rapat Paripurna DPRD tersebut telah memutuskan pemberhentian kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah dan kemudian diusulkan kepada presiden,
maka presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan
usul tersebut (Pasal 123 ayat 4e).
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan PP
Nomor 6 Tahun 2005 di atas, proses politik pemberhentian kepala
daerah/wakil kepala daerah didasarkan pada usul pemberhentian berdasarkan
pendapat DPRD. Pendapat atas bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh kepala
daerah/wakil kepala daerah merupakan proses politik yang ada di tangan DPRD.
Pendapat DPRD inilah yang bisa mengusulkan pemberhentian (impeachment)
terhadap kepala daerah. Jika berdasarkan pendapat DPRD kemudian MA
memutuskan bahwa mereka terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan atau
tidak melaksanakan kewajiban, dan kemudian DPRD berdasarkan hasil Rapat
Paripurna DPRD mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah kepada presiden, maka presiden wajib memproses usul
tersebut.
Kedua, pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah
karena faktor pelanggaran hukum. Pemberhentian kepala daerah/wakil kepala
daerah berlangsung sebagai proses hukum, apabila kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan, karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak
pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
Dalam proses hukum ini, presiden dapat memberhentikan kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah dengan pemberhentian sementara maupun
pemberhentian tetap berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, di mana pemberhentian sementara dan pemberhentian
tetap dilakukan presiden tanpa melalui usulan DPRD.
Siapa pun yang menjadi pejabat publik-baik
melalui mekanisme politik maupun penunjukan-senantiasa memiliki tanggung
jawab jabatan yang terikat dengan peraturan perundang-undangan yang
mengikatnya. Sebab, kita semua harus menyadari bahwa tidak ada jabatan
publik mana pun, khususnya jabatan kepala daerah yang dipilih melalui
mekanisme pemilihan langsung sekalipun, dapat kebal dari pemberhentian.
Maka, adalah tanggung jawab mereka sebagai kepala daerah untuk selalu
mematuhi segala aturan perundang-undangan agar terhindar dari obyek
pemberhentian tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar