Kamis, 14 Maret 2013

Jerat Simalakama Pilkada


Jerat Simalakama Pilkada
Sumaryoto ;  Anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan    
SUARA MERDEKA, 13 Maret 2013

  
IBARAT menghadapi buah simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Itulah pemilihan umum kepala daerah (pilkada), apakah akan tetap dilaksanakan secara langsung atau dikembalikan ke sistem tidak langsung, dalam arti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang memilih.

Sejak 2004 pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat. Namun karena banyak ekses yang ditimbulkan, Mendagri Gamawan Fauzi mewacanakan mengembalikan pilkada seperti semula, yakni dilakukan oleh DPRD, baik pemilihan gubernur maupun bupati/wali kota.

Sesungguhnya gagasan mengembalikan pilkada ke DPRD telah diwacanakan banyak orang, termasuk oleh Ketua DPR Marzuki Alie. Bahkan Marzuki mengusulkan agar presiden menunjuk secara langsung gubernur, dengan dalih dia wakil pemerintah pusat di daerah.

Apa yang melatari wacana itu? Adalah pertimbangan antara manfaat dan mudarat. Dalam pandangan Islam, lebih baik menghindari mudarat ketimbang mengambil manfaat. Pertanyaannya, adalah pilkada langsung ataukah oleh DPRD, yang lebih banyak mudaratnya? Relatif memang, bergantung dari sudut mana kita memandang.

Secara Demokratis

Dari kacamata demokrasi, pilkada langsung oleh rakyat merupakan sistem ideal karena merupakan pengejawantahan adagium vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Demokrasi menyentuh langsung akar rumput, dengan catatan nihil money politics. Bila ada praktik politik uang maka yang terjadi suara rakyat adalah suara uang.

Pilkada langsung juga dapat mewujudkan senses of local response terhadap keseluruhan agenda publik. Itu karena kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan langsung berkonsekuensi harus selalu mempertimbangkan suara rakyat dalam tiap keputusan politik yang diambil.

Pesta demokrasi secara langsung itu juga lebih memacu pergerakan ekonomi kerakyatan. Pilkada langsung akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan berbagai tambahan penghasilan dari barang dan jasa yang mereka tawarkan, seperti pesanan makanan, spanduk, baliho, kaus, kartu nama, atribut parpol, dan alat peraga kampanye.

Seperti diketahui, pilkada langsung ''hanya'' diatur oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak diamanatkan oleh konstitusi. Ini berbeda dari pilpres yang diamanatkan oleh konstitusi.

Pasal 18 UUD 1945 hanya menyebutkan, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Secara demokratis ini kemudian diterjemahkan secara langsung. Dalam perjalanannya, pilkada langsung itu ternyata terlalu progresif. Praktik politik uang merebak, konflik horizontal terjadi di mana-mana.

Dalam pilkada langsung, seorang calon bupati/wali kota butuh modal hingga puluhan miliar rupiah, dan calon gubernur perlu modal hingga ratusan miliar rupiah supaya terpilih. Bahkan untuk bisa memenangi pemilihan kepala desa di beberapa daerah pun perlu uang Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar, baik untuk membeli atribut kampanye maupun money politics yang dibagikan kepada calon pemilih.

Maka begitu terpilih, yang kali pertama muncul di benak mereka adalah bagaimana secepatnya mengembalikan modal. Mereka menerapkan politik machiavellian alias menghalalkan segala cara. Akibatnya, banyak kepala daerah terjerat kasus hukum. 

Data dari Kemendagri menyebutkan, saat ini 290 kepala daerah berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana berbagai kasus hukum. Sebanyak 251 orang (86,2%) di antaranya tersangkut korupsi.
Di sisi lain, pilkada langsung juga menghadirkan banyak konflik horizontal. Di berbagai daerah seusai pilkada ada anggota masyarakat tidak puas kemudian membakar kantor bupati, kantor wali kota, kantor gubernur hingga kantor KPU di daerah itu. Tawuran antarpendukung calon juga banyak terjadi. Di Papua misalnya, baru-baru ini 55 orang tewas gara-gara kerusuhan terkait pilkada. Pun tak ada jaminan kepala daerah yang dihasilkan dari pilkada  langsung lebih berkualitas dan berkinerja lebih baik.

Konflik Horizontal

Bagaimana dengan pilkada oleh wakil rakyat? Berkaca dari pengalaman, praktik politik uang dalam pilkada oleh DPRD ternyata juga merebak. Suara para wakil rakyat ''dibeli'' oleh calon kepala daerah sehingga yang terjadi politik dagang sapi. Wakil rakyat dari partai politik pemilik kursi terbanyak memiliki bargaining position atau posisi tawar lebih tinggi.

Menghindari Mudarat

Bedanya, dalam pilkada langsung dana untuk money politics itu unlimited atau tak terbatas, dan dalam pilkada oleh DPRD limited alias terbatas, sebatas nominal yang ditawarkan dan suara jumlah anggota DPRD yang mau ''dibeli''.

Dalam pilkada oleh DPRD, parpol memiliki hegemoni dan dengan mudah bisa mengabaikan suara mayoritas rakyat. Calon kepala daerah yang dipilih parpol melalui kepanjangan tangannya di DPRD belum tentu sesuai dengan aspirasi rakyat. Juga tak ada jaminan bahwa kepala daerah terpilih tidak bakal korupsi.

Pilkada oleh anggota legislatif juga incompatible atau tidak berkesesuaian dengan pilpres yang dilaksanakan secara langsung. Namun memiliki sisi positif, yaitu bisa menghindarkan konflik horizontal. Selain itu, suatu kenyataan bahwa bupati/wali kota/gubernur hasil pilihan DPRD jarang terdengar terjerat kasus korupsi, karena tampaknya biaya menuju ke posisi itu jauh lebih kecil (tanpa biaya atribut dan money politics-nya jauh lebih kecil).

Kini, buah simalakama pilkada kita serahkan kepada pemerintah dan Komisi II DPR yang sedang membahas perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam regulasi itu terdapat sistem pilkada: apakah tetap dilaksanakan secara langsung atau dikembalikan ke DPRD. Prinsipnya, lebih baik menghindari mudarat daripada mengambil manfaat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar