Senin, 04 Maret 2013

Kasus Hukum Anas, Lanjutkan!


Kasus Hukum Anas, Lanjutkan!
Saldi Isra ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
MEDIA INDONESIA, 04 Maret 2013


STATUS hukum baru (mantan) Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urba ningrum menimbulkan kehebohan luar biasa dunia penegakan hukum dan politik negeri ini. Bahkan, dengan merujuk situasi yang berkembang, itu menjadi fakta yang sulit dimentahkan. Dari semua kasus indikasi korupsi yang melibatkan tokoh politik yang pernah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perubahan status hukum Anas dapat dinilai yang paling heboh dan paling menyita perhatian masyarakat. Bahkan, sebagian kalangan secara serampangan memberi tafsir politis terhadap proses hukum yang menimpa Anas.

Karena beberapa kondisi yang melatarbelakangi, kehebohan hebat yang mengiringi status tersangka Anas dapat dipahami. Misalnya, kemungkinan peran dan keterlibatan Anas dalam kasus korupsi kompleks olahraga terpadu Hambalang telah lama mengisi ruang publik. Apalagi, Anas pernah mengeluarkan peryataan bahwa dirinya siap digantung di Monas jika terbukti terlibat dalam kasus korupsi Hambalang. Sikap optimistis Anas di tengah kehebohan pemberitaan kasus korupsi Hambalang tentu saja menjadi magnet yang membedakan dengan kasus-ka sus lain yang dita ngani KPK.

Tidak hanya itu, perkembangan kasus Anas juga menjadi penantian panjang internal Partai Demokrat. Sebagaimana diketahui, sejak M Nazaruddin menyebut keterlibatan Anas, partai politik (parpol) peraih suara terbesar dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 seperti sedang memasuki krisis internal serius. Persoalan tersebut kian akut karena hari demi hari elektabilitas Partai Demokrat makin merosot. Karena itu, sebagian pihak internal berpandangan, pilihan terbaik (dan mungkin satu-satunya) guna menjaga kelangsungan Partai Demokrat: KPK memperjelas status hukum Anas.

Selain itu, suasana menjadi makin heboh karena jauh hari sebelum dijadikan sebagai tersangka, dokumen surat perintah penyidikan Anas bocor ke publik. Entah apa yang terjadi, bocornya dokumen itu berimpitan dengan substansi jumpa pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jeddah (5/2), yang meminta KPK segera menyelesaikan kasus Hambalang yang menyeret kader Partai Demokrat, termasuk di dalamnya Anas. Tak berhenti pada permintaan itu, begitu kembali dari kunjungan kenegaraan, Yudhoyono meminta Anas fokus menghadapi masalah hukum di KPK.

Rangkaian kejadian tersebut di atas, langsung ataupun tidak, menjadi bentangan fakta empiris yang membuka wilayah tafsir politik yang sangat liar terhadap status tersangka Anas. Dalam posisi itu, publik yang posisi itu, publik yang menghendaki proses hukum berjalan secara wajar menjadi resah dan khawatir. Perasaan demikian muncul karena takut tafsir politik yang begitu amat berpotensi merusak langkah peng ungkapan kasus korupsi Hambalang. Lebih jauh dari itu, tafsir yang tidak tepat berpotensi pula menisbikan upaya pemberan tasan korupsi yang diakukan KPK.

Logika Konspirasi

Selain kepada Anas, dalam waktu tiga bulan terakhir, KPK telah pula menetapkan Menpora Andi Alifian Mallarangeng dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka. Tanpa harus memuji berlebihan, tiga orang yang ditetapkan sebagai tersamgka meru pakan tokoh sentral di parpol masing masing, yang membuktikan capaian luar biasa KPK. Sebagai bukti bekerjanya proses hukum, Andi dijadikan tersangka dalam kasus yang sama dengan Anas, sementara Luthfi dijadikan sebagai tersangka dalam kasus suap daging impor di Kementerian Pertanian.

Tidak hanya dalam kasus ketiga figur sentral itu, pengalaman sejauh ini membuktikan apabila proses hukum menyentuh tokoh politik, selalu saja timbul tafsir politik di luar batas penalaran yang wajar. Dari semua tafsir yang pernah muncul, penilaian bahwa proses hukum ialah bagian konspirasi politik dapat dikatakan yang paling sering dikemukakan. Misalnya, secara terbuka, tuduhan serupa pernah keluar dari PKS ketika Luthfi dijadikan tersangka dan kemudian ditangkap KPK. Dengan menggunakan diksi yang lebih halus, hal yang sama sempat pula keluar dari mulut Anas.

Namun dari semua kasus yang pernah ditangani KPK, tafsir politik terasa lebih kental dalam peningkatan status hukum Anas. Tidak hanya dalam soal rangkaian fakta yang ditulis di bagian awal tulisan ini, tetapi juga pada beberapa fakta yang terjadi setelah Anas dijadikan sebagai tersangka.
Dengan menggunakan logika teori konspirasi, Anas mampu menjelaskan semua peristiwa yang terjadi sebelum ia menjadi tersangka menjadi sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan. Bagi Anas, rangkaian peristiwa itu bergerak ke satu titik: menjadikan dirinya sebagai tersangka. Dalam menambahkan rangkaian itu, Anas menyebutkan dirinya bukanlah figur yang diharapkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Bandung 2010.

Simpati dan Perlawanan

Boleh jadi, pidato multimakna yang disampaikan Anas, sehari setelah dia ditetapkan sebagai tersangka, di Kantor DPP Partai Demokrat (23/2), menghadirkan magnet sehingga hal itu mampu menghadirkan simpati luar biasa dari sejumlah tokoh. Barangkali, sangat jauh di luar nalar sejumlah pihak, kehadiran para tokoh itu seperti memosisikan Anas sebagai orang yang mendapat musibah besar. Masalahnya, benarkah kunjungan itu menjadi bukti simpati kepada Anas? Atau, jangan-jangan, kunjungan itu menjadi bentuk dan sekaligus cara lain menujukkan perlawanan kepada Presiden Yudhoyono.

Namun, apa pun motivasi di balik kunjungan para tokoh tersebut, kita tidak mungkin melarang berbagai pihak mengunjungi Anas. Namun, soal hal terpenting yang harus dijadikan catatan, jangan sampai buah dari kunjungan tersebut merusak dan mendegradasi serta menis bikan proses hukum yang dilaku kan KPK. Dalam pengertian ini, sebaiknya pihak yang berkunjung tidak larut dalam pertanyaan: apakah status hukum tersangka kepada Anas murni proses hukum atau proses politik. Harusnya, mereka yang datang berkunjung meminta Anas untuk menyampaikan semua informasi yang diketahui dalam kasus korupsi Hambalang.

Sebagai upaya memberantas korupsi, pandangan yang mengatakan penetapan status hukum Anas sebagai tersangka merupakan hasil dari rekayasa politik ialah pandangan yang kebablasan. Dalam hal ini, perlu dikemukakan kembali, sebagai sebuah proses hukum yang telah berlangsung lama, amat mungkin, fase pe ningkatan status Anas bertemu dengan puncak prahara di internal Partai Demokrat. Karena itu, bertahan dalam tafsir politik atas kerja keras KPK dalam menindaklanjuti proses hukum Hambalang dengan memberikan dukungan overdosis kepada Anas dapat dikatakan sebagai bentuk simpati yang kebablasan.

Lanjutkan

Kecuali tertangkap tangan, KPK memang kelihatan sangat hati-hati dalam melakukan proses hukum kasus korupsi. Karena kehati-hatian itu pula, proses hukum di KPK terkesan berjalan lamban. Bahkan, proses hukum begitu kerap menghadirkan penilaian lain, KPK tebang pilih dalam penegakan hukum. Namun, ketika sesesorang ditetapkan menjadi tersangka, KPK pasti telah memiliki bukti-bukti yang kuat. Pengalaman selama ini menunjukkan dengan alat bukti yang dimiliki, KPK menjadi lebih mudah membuktikan dalam proses persidangan.

Dalam kasus Anas, kalau hanya sebatas indikasi menerima gratifikasi, banyak pihak percaya bahwa dari sejak lama bekas Ketua Umum Partai Demokrat itu dijadikan tersangka. Bahkan, dalam sebuah jumpa pers, salah seorang pemimpin KPK pernah mengatakan KPK sedang menyelisik kasus lain yang lebih besar. Artinya, begitu Anas ditetapkan tersangka, KPK hampir dapat dipastikan memiliki bukti-bukti lain yang mampu menunjukkan peran Anas dalam kasus korupsi Hambalang.

Dengan berkaca dari kasus driving simulator di Korps Lalu Lintas Polri, misalnya, ketika kasus itu terkuak ke permukaan, banyak kalangan internal kepolisian yang membantah dan bahkan melakukan perlawanan. Namun, begitu KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka dan melacak aliran uang yang ada, mata publik menjadi terbelalak. Sebagai ikutan dari kasus tersebut, KPK mulai menyelisik dugaan aliran dana Korps Lalu Lintas Polri kepada para politikus DPR. Pada kasus ini, KPK mengendus praktik korupsi dengan cara mengikuti aliran uang hasil korupsi.

Dengan menggunakan logika itu, banyak pihak berharap KPK mampu bekerja keras dengan kecepatan di atas rata-rata dalam melanjutkan kasus Anas. Bagaimanapun, kasus itu tidak boleh berhenti hanya sampai pada penetapan Anas sebagai tersangka. Guna melangkah pasti ke arah itu, KPK tidak boleh terpengaruh oleh segala ingar-bingar politik di seputar di seputar penetapan Anas sebagai tersangka. Penuntasan kasus itu tidak hanya dimaksudkan sekadar memastikan hukum Anas, tetapi sekaligus untuk menyelisik dan mengetahui ke mana saja dana Hambalang mengalir.

Sekiranya KPK gagal mengungkap secara tuntas megaskandal korupsi Hambalang, peristiwa yang serupa sangat mungkin terulang kembali di masa depan. Lagi pula, penikmat dana Hambalang tidak boleh ada yang bertepuk tangan karena proses hukum hanya mampu menjangkau kalangan terbatas. Karena itu, proses hukum Anas tak boleh berhenti. Lanjutkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar