Selasa, 05 Maret 2013

Keadilan bagi Seluruh Partai


Keadilan bagi Seluruh Partai
M Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 04 Maret 2013
  

Benarkah kehidupan demokrasi kita berkembang karena kesadaran rakyat, yang makin terdidik, dan dari hari ke hari makin merasakan perlunya kehidupan yang demokratis, adil dan egaliter? 

Bila jawabannya “ya, benar”, dan didukung data meyakinkan, maka menjadi semakin jelas bagi kita bahwa penguasa tidak terlibat dalam usaha mengembangkan demokrasi di negeri kita ini. Siapa rakyat, dan siapa penguasa, dalam hal ini? Mungkin, pertama-tama, rakyat harus dipahami di dalam, atau melalui, gelombang besar yang merupakan bagian dari kekuatan global, yang secara sangat jelas menuntut perubahanperubahan tatanan politik, dan mendesakkan agenda kerakyatan global pula, yaitu demokratisasi. 

Teriakan global ini juga merupakan kesadaran pemikiran global, yang harus diterapkan pada tingkat lokal. Di sini menjadi jelas pula bahwa kekuatan global itu seolah berakar di tingkat lokal, tetapi jelas bertemu dengan aspirasi lokal, sehingga apa yang global dan apa yang lokal tak mudah dipisahkan. Dari satu segi ini tak mungkin terlepas dari gagasan lama, yang dipelihara baik-baik, dan menjadi kebanggaan kaum aktivis LSM di mana-mana, mengenai “think globally, act locally” pada tahun 1980-an dulu. 

Dari segi yang lain, ini mencerminkan dengan jelas bahwa kata “rakyat” di sini merupakan representasi dari kekuatan kemasyarakatan yang melek kehidupan politik nasional maupun global, yaitu ‘civil society’. Ini mencakup kalangan intelektual, termasuk mahasiswa, para peneliti di lembaga-lembaga penelitian, semua media dan para jurnalis masing-masing, organisasi sosial keagamaan, dan umat masing-masing, LSM, organisasi profesi, kaum profesional, dan kekuatan-kekuatan adat yang tersebar si seluruh pelosok negeri. 

Sebaliknya siapa penguasa? Tanpa berbelit-belit, penguasa di sini jelas mereka yang menjalankan mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dari tingkat kelurahan hingga ke istana, lembaga kepresidenan, dan presidennya secara pribadi. Dalam banyak hal, parlemen— yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat— juga berperan sebagai penguasa, yang tak kalah kaku, dan sok kuasa, dibanding kalangan eksekutif. 

Varian lain, yang tampaknya tak berkuasa, dan tak menjalankan roda pemerintahan, ialah dunia bisnis. Mereka sering menjadi bagian penguasa, dan mempengaruhi mereka untuk banyak hal. Dunia bisnis ini sering merupakan kekuatan lokal, maupun sekaligus kekuatan global. Mereka bisa “membeli” pemerintah, sekaligus parlemen. 

Di saat pemerintah, parlemen dan dunia bisnis bersatu padu membendung arus suara rakyat, mereka kuat. Apalagi bila dunia bisnis global ada pula di dalamnya. Gerakan menuntut demokratisasi, yang lebih jelas memberi manfaat besar bagi rakyat, bisa dibikin kandas Perjuangan rakyat bukan hanya membentur satu tembok tebal, melainkan tiga. Tembok eksekutif, tembok legislatif, dan tembok dunia bisnis, yang berhasil mencengkeram kedua kekuatan resmi kenegaraan itu. 

Kita mencatat, demokratisasi kita tumbuh, mungkin agak meyakinkan, sesudah Orde Baru ambruk. Menjelang Pemilu 1999, yang mencemaskan, semua orang dicengkam rasa takut bila dalam pemilu tersebut terjadi kerusuhan berdarah, sebagaimana terjadi tahun sebelumnya. Tapi kecemasan itu tak terbukti. Pemilu berlangsung lancar, dan demokratis. Dunia kagum pada kita. Dana bantuan asing buat pemilu saat itu sangat besar. Kita sendiri hanya memikul kewajiban membiayai yang kecil-kecil. 

Selain dana, ‘leadership’, yaitu pemikiran yang mengarahkan agar pemilu berjalan aman dan demokratis, juga merupakan sumbangan tenaga ahli asing. Dalam ‘leadership’ kepemiluan ini kita hanya bertanggung jawab dalam hal-hal yang lebih teknis. Dalam pemilu berikutnya, tahun 2004, kekuatan dana dan leadership di bidang kepemiluan berubah. Dalam kedua hal itu, apa yang bisa disebut bantuan asing hanya tinggal separuhnya. Kira-kira, formulanya, 50% kemampuan kita sendiri, dan 50% sisanya merupakan bantuan asing. Ini suatu kemajuan hebat bagi kita. 

Maka dalam Pemilu 2009, kekuatan civil society mendesain, dan menginginkan kepemiluan yang lebih ideal: pemilu oleh kekuatan bangsa kita sendiri. Kita mandiri seratus persen. Di bidang dana, “full” seratus persen, dana kita. Di bidang leadershippun ‘full’cerminan leadershipnasional kita. “The Partnership for Governance Reform” saat itu bekerja keras, siang malam, dan murah hati mengeluarkan budgetuntuk “membangun” sebuah KPU yang mandiri. Ini agenda dan pekerjaan tingkat nasional yang sangat melelahkan. 

Saat itu KPU hancur dari dalam. Komisioner yang dipilih pemerintah, yang sangat mengabaikan suara civil society, terdiri dari orang-orang yang “tak berbunyi”. Cita-cita untuk mewujudkan “kebanggaan” nasional ini dalam pemilu tersebut kandas. Campur tangan pemerintah terlalu dalam. Dan masalah sensitif terbuka. Mudah dimengerti bila sejak awal tampak permainan sabun dalam pembentukan KPU, apalagi kemudian terbukti munculnya rentetan masalah yang tak kunjung reda sesudahnya. 

Tak banyak orang yang mencatat dan memahaminya sebagai problem serius di bidang politik. Maksudnya problem yang mengkhianati kepentingan rakyat untuk mewujudkan agenda demokratisasi, yang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di bidang politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Pengkhianatan terhadap agenda besar ini semua hilang begitu saja dari kesadaran publik. 

Dan muncullah sekarang, kekuatan-kekuatan partai politik, yang kelihatannya vandalis, dan cenderung melahap partaipartai lain, agar mereka tak bisa tumbuh. Persaingan dunia bisnis juga menunjukkan vandalisme seperti itu. Bisnis kecil dilahap bisnis besar. Orang-orang partai, yang seharusnya lebih egaliter, merasa tidak perlu bersikap egaliter. Orang partai mau hidup sendiri, mau berkuasa sendiri. 

Pendatang baru selalu dilirik bukan sebagai “partner”, melainkan sebagai “musuh” yang sebaiknya “diuntal” mentah-mentah. Sangat banyak keluhan dari partai-partai yang dibikin tak berdaya oleh KPU, yang boleh jadi bermain mata, boleh jadi ”tahu sama tahu” dengan DPR. KPU yang lalu dibuat pemerintah. Dan siapa tahu KPU ini dibuat DPR. Atau merupakan pasangan perselingkuhan politik DPR, yang mewakili partai-partai yang tak menyukai demokrasi yang lebih pluralistik. 

Selama ini partai-partai terbukti tak becus berbuat baik bagi rakyat, mereka tak mampu menata kehidupan politik. Sudah terbukti yang korup ratarata berasal dari partai. Tapi partai yang ditolak KPU, dan sudah melakukan langkah-langkah hukum, didukung Bawaslu dan Mahkamah Agung, masih tetap dicekik. 

Di antara banyak partai yang mengeluh, PKPI merupakan contoh paling drastis. Urusan partai ini di KPU lebih merupakan urusan hukum, tapi ketika kejelasan sudah diperoleh secara hukum, DPR campur tangan secara politik. Cahaya keadilan bagi seluruh partai politik belum merekah. Yang menutup cahaya itu justru orang-orang politik sendiri. Maka rakyat harus lebih gigih berjuang, agar demi cita-cita ini. Mereka yang dizalimi tak boleh putus asa. 

Kekuatan civil society yang besar, akan menjadi gelombang, yang menemani mereka. Dan setia untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar