Bocornya surat perintah penyidikan
Anas Urbaningrum, kesalahan tulis vonis ala Achmad Yamanie, tumpang tindih
sertifikat tanah, hingga pemalsuan identitas adalah cermin kondisi umum
birokrasi di seluruh Tanah Air.
Realitas sosial ini mempertegas
ketidakberesan birokratis dan ketidakpastian hukum bangsa kita.
Milieu birokrasi di atas adalah
buah dari mekanisme rekrutmen birokrat tanpa memperhatikan etika profesi.
Dalam sistem ini, profesionalitas calon birokrat acap kali dikalahkan
jaringan nepotisme. Komersialisasi jabatan fungsional birokrat di sejumlah
instansi penting terus berlangsung. Setoran-setoran siluman tetap
berlanjut. Muncullah pegawai-pegawai non-profesional yang kurang terampil.
Kondisi ini diperparah lingkungan kerja yang tidak menjunjung dimensi
pelayanan sosial.
Reaksi atas sistem koruptif itu melahirkan
prinsip the right man in the right
place. Kesimpang siuran dan kelambanan pelayanan sosial umumnya
diakibatkan ketidakterampilan dan ketidakseriusan penanganan tugas.
Pengurusan izin dan dokumen resmi hingga berbulan-bulan dalam era modern
ini termasuk gejala kontraproduktif yang irasional. Kepentingan dan
keperluan masyarakat tidak ditangani dengan segenap hati oleh birokrat.
Penempatan birokrat yang
proporsional, menurut L Peter dan R Hull, akan memperkuat kerja sama
antar-oknum dan instansi. Profesionalitas seorang birokrat tampak dari
keahlian dan tanggung jawab dalam penunaian tugas. Pengetahuan dasar
tentang kompleksitas dunia administrasi dan kemajuan teknologi modern
memperlancar tugas birokrat.
Dalam era digital, setiap kegiatan
birokratis bisa terpantau melalui ketentuan administratif. Dimensi tanggung
jawab dan transparansi disoroti dari semua sudut. Kompetensi dan keahlian
seorang birokrat yang berbudi baik menentukan seluruh mutu pelayanan
sosial. Lingkungan kerja yang sehat, bersih, dan berorientasi
kemasyarakatan akan memengaruhi irama kerja.
Rajut Kaidah Etis
Rontoknya kaidah etis dari dunia
birokrasi ternyata mengaburkan orientasi pelayanan publik. Peran tata
tertib birokrasi yang berkadar etis diabaikan. Seorang pemimpin terbiasa
memerintah anak buah untuk menjalankan kehendaknya. Tak heran, seorang
birokrat akan bekerja seperti mesin tanpa jiwa pelayanan sosial. Etisitas
birokrat lenyap ditelan egoisme, sektarianisme, mekanisme, dan nepotisme.
Kecenderungan birokrat untuk bertindak otokratis dan acuh tak acuh ternyata
menggeser peran kaidah etis dunia birokrasi (M Weber).
Tak sedikit birokrat menggunakan
peluang emas untuk memperkaya diri. Suasana kerja yang indisipliner, tidak
efisien, sewenang-wenang, tidak jujur, dan manipulatif adalah dampak
disorientasi etis seorang birokrat. Jalan-jalan inkonstitusional ditempuh
untuk meraup keuntungan dari para pengguna jasa birokrat. Adalah rahasia
umum, sampai sekarang ”pungli” masih semarak di jalan raya, di
gedung-gedung pemerintah, bahkan di bandara dan ruang penerbangan. Dimensi
tanggung jawab dan kepercayaan dalam kaidah etis birokrat dilupakan.
Suasana birokrasi ini muncul
karena inkonsistensi penerapan kaidah etis dalam bingkai hukum positif.
Sistem kontrol sosial birokrat sangat lemah. Kebanyakan birokrat berpakaian
rapi dan bermobil mahal, tetapi enggan turun ke lapangan. Kekacauan dan
kerusakan di lapangan hampir tidak pernah terpantau. Maka, gedung sekolah
yang hampir roboh, jalan rusak, dan kebobrokan pelayanan publik menjadi
contoh nyata dampaknya.
Bersihkan Birokrat Korup
Program reformasi mekanisme
rekrutmen birokrat termasuk agenda mendesak. Dimensi profesionalitas
berdasarkan uji kelayakan semestinya melampaui aneka bentuk kepentingan
terselubung (vested interests).
Mekanisme rekrutmen yang bersih,
transparan, dan akuntabel seharusnya melahirkan birokrat profesional
berakhlak luhur dan dedikatif. Birokrat dedikatif pasti memengaruhi sistem
pelayanan birokrasi. Menurut DS Pugh, kehadiran tenaga profesional ini
diperlukan karena birokrasi tidak berciri unitarian, melainkan
multidimensional.
Proses pembersihan birokrat ini
dapat dijabarkan dalam bentuk merekonstruksi mentalitas birokrat yang
cenderung permisif, koruptif, manipulatif, diskriminatif, dan kolusif.
Karakterisasi mentalitas ini perlu dikawal oleh kode etik birokrat.
Yang perlu diprioritaskan adalah
rekonstruksi mentalitas penegak keadilan, seperti polisi, jaksa, hakim,
KPK, MA, dan MK. Jika oknum-oknum (penting) instansi ini masih ”kotor”,
bagaimana mungkin mereka membersihkan birokrat lain? Tugas ”bersih-bersih”
ini menjadi tanggung jawab hakiki penyelenggara negara dalam tahun politik
ini.
Pemerintah yang bebas KKN hanya
wacana tanpa ditopang birokrat bersih. Sadarkah kita, bureaucracy negeri ini dalam proses menjadi ”bureaucrazy”? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar