Sabtu, 09 Maret 2013

Kaidah Etis Birokrasi


Kaidah Etis Birokrasi
William Chang  ;  Pengampu Kuliah Etika di STIE Widya Dharma, Pontianak; Alumnus Universitas Gregoriana dan Universitas Lateran, Roma, Italia
KOMPAS, 09 Maret 2013


Bocornya surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum, kesalahan tulis vonis ala Achmad Yamanie, tumpang tindih sertifikat tanah, hingga pemalsuan identitas adalah cermin kondisi umum birokrasi di seluruh Tanah Air.
Realitas sosial ini mempertegas ketidakberesan birokratis dan ketidakpastian hukum bangsa kita.
Milieu birokrasi di atas adalah buah dari mekanisme rekrutmen birokrat tanpa memperhatikan etika profesi. Dalam sistem ini, profesionalitas calon birokrat acap kali dikalahkan jaringan nepotisme. Komersialisasi jabatan fungsional birokrat di sejumlah instansi penting terus berlangsung. Setoran-setoran siluman tetap berlanjut. Muncullah pegawai-pegawai non-profesional yang kurang terampil. Kondisi ini diperparah lingkungan kerja yang tidak menjunjung dimensi pelayanan sosial.
Reaksi atas sistem koruptif itu melahirkan prinsip the right man in the right place. Kesimpang siuran dan kelambanan pelayanan sosial umumnya diakibatkan ketidakterampilan dan ketidakseriusan penanganan tugas. Pengurusan izin dan dokumen resmi hingga berbulan-bulan dalam era modern ini termasuk gejala kontraproduktif yang irasional. Kepentingan dan keperluan masyarakat tidak ditangani dengan segenap hati oleh birokrat.
Penempatan birokrat yang proporsional, menurut L Peter dan R Hull, akan memperkuat kerja sama antar-oknum dan instansi. Profesionalitas seorang birokrat tampak dari keahlian dan tanggung jawab dalam penunaian tugas. Pengetahuan dasar tentang kompleksitas dunia administrasi dan kemajuan teknologi modern memperlancar tugas birokrat.
Dalam era digital, setiap kegiatan birokratis bisa terpantau melalui ketentuan administratif. Dimensi tanggung jawab dan transparansi disoroti dari semua sudut. Kompetensi dan keahlian seorang birokrat yang berbudi baik menentukan seluruh mutu pelayanan sosial. Lingkungan kerja yang sehat, bersih, dan berorientasi kemasyarakatan akan memengaruhi irama kerja.
Rajut Kaidah Etis
Rontoknya kaidah etis dari dunia birokrasi ternyata mengaburkan orientasi pelayanan publik. Peran tata tertib birokrasi yang berkadar etis diabaikan. Seorang pemimpin terbiasa memerintah anak buah untuk menjalankan kehendaknya. Tak heran, seorang birokrat akan bekerja seperti mesin tanpa jiwa pelayanan sosial. Etisitas birokrat lenyap ditelan egoisme, sektarianisme, mekanisme, dan nepotisme. Kecenderungan birokrat untuk bertindak otokratis dan acuh tak acuh ternyata menggeser peran kaidah etis dunia birokrasi (M Weber).
Tak sedikit birokrat menggunakan peluang emas untuk memperkaya diri. Suasana kerja yang indisipliner, tidak efisien, sewenang-wenang, tidak jujur, dan manipulatif adalah dampak disorientasi etis seorang birokrat. Jalan-jalan inkonstitusional ditempuh untuk meraup keuntungan dari para pengguna jasa birokrat. Adalah rahasia umum, sampai sekarang ”pungli” masih semarak di jalan raya, di gedung-gedung pemerintah, bahkan di bandara dan ruang penerbangan. Dimensi tanggung jawab dan kepercayaan dalam kaidah etis birokrat dilupakan.
Suasana birokrasi ini muncul karena inkonsistensi penerapan kaidah etis dalam bingkai hukum positif. Sistem kontrol sosial birokrat sangat lemah. Kebanyakan birokrat berpakaian rapi dan bermobil mahal, tetapi enggan turun ke lapangan. Kekacauan dan kerusakan di lapangan hampir tidak pernah terpantau. Maka, gedung sekolah yang hampir roboh, jalan rusak, dan kebobrokan pelayanan publik menjadi contoh nyata dampaknya.
Bersihkan Birokrat Korup
Program reformasi mekanisme rekrutmen birokrat termasuk agenda mendesak. Dimensi profesionalitas berdasarkan uji kelayakan semestinya melampaui aneka bentuk kepentingan terselubung (vested interests).
Mekanisme rekrutmen yang bersih, transparan, dan akuntabel seharusnya melahirkan birokrat profesional berakhlak luhur dan dedikatif. Birokrat dedikatif pasti memengaruhi sistem pelayanan birokrasi. Menurut DS Pugh, kehadiran tenaga profesional ini diperlukan karena birokrasi tidak berciri unitarian, melainkan multidimensional.
Proses pembersihan birokrat ini dapat dijabarkan dalam bentuk merekonstruksi mentalitas birokrat yang cenderung permisif, koruptif, manipulatif, diskriminatif, dan kolusif. Karakterisasi mentalitas ini perlu dikawal oleh kode etik birokrat.
Yang perlu diprioritaskan adalah rekonstruksi mentalitas penegak keadilan, seperti polisi, jaksa, hakim, KPK, MA, dan MK. Jika oknum-oknum (penting) instansi ini masih ”kotor”, bagaimana mungkin mereka membersihkan birokrat lain? Tugas ”bersih-bersih” ini menjadi tanggung jawab hakiki penyelenggara negara dalam tahun politik ini.
Pemerintah yang bebas KKN hanya wacana tanpa ditopang birokrat bersih. Sadarkah kita, bureaucracy negeri ini dalam proses menjadi ”bureaucrazy”? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar