Anas Urbaningrum, Ketua Partai
Demokrat, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Berita ini sesungguhnya
telah ditunggu-tunggu cukup lama karena informasi tentang indikasi
keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang berulang kali diungkapkan Nazarudin
dan sejumlah saksi lain.
Meski keterlibatan Anas masih
harus dibuktikan oleh KPK, berita ini menambah panjang deretan politikus
muda yang tersangkut kasus korupsi. Fenomena ini sungguh memprihatinkan
karena banyak kalangan berharap besar kepada politikus muda untuk melakukan
perubahan politik yang lebih responsif, akuntabel, dan bersih dari korupsi.
Alih-alih berubah, justru para politisi muda terlibat dalam kasus korupsi,
bahkan dalam skala lebih besar. Bukan hanya di ranah politik, korupsi juga
dilakukan di lembaga pendidikan.
Saat ini Rektor Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, telah dinyata- kan sebagai
tersangka dan ditahan karena kasus korupsi dana tanggung jawab sosial
perusahaan. Bantuan untuk petani dan orang miskin justru mengalir ke
kantong para pejabat universitas itu. Sungguh memprihatinkan karena
semestinya kita berharap kampus menjadi oase tempat kejujuran dan
integritas dijunjung tinggi, bukannya justru ikut-ikutan melakukan korupsi.
Penyebab Korupsi
Melihat kasus-kasus korupsi di
atas, kita perlu melihat korupsi secara lebih jernih. Selama ini korupsi
dianggap sebagai masalah moral dan religius. Pelakunya dianggap kurang
memegang teguh ajaran agama dan moralitas. Maka, kemudian, solusi
pemberantasan korupsi adalah meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan.
Bahkan, di beberapa instansi pemerintah, untuk memberantas korupsi
diselenggarakan pelatihan kecerdasan spiritual.
Namun, lihatlah, banyak pela- ku
korupsi justru orang yang taat beribadah. Kasus korupsi impor daging sapi
justru melibatkan ketua partai yang selama ini mengampanyekan antikorupsi
dan dikenal sangat agamis. Bahkan, pengadaan Al Quran di Kementerian Agama
turut dikorupsi.
Banyak pihak yang memandang
korupsi karena kecilnya gaji pejabat dan pegawai pemerintah. Mereka
melakukan korupsi karena didorong oleh kebutuhan ekonomis. Namun, dari
kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi, tampak hidup mereka jauh dari
sederhana. Bahkan, Nazaruddin bisa melarikan diri ke luar negeri sebelum
akhirnya ditangkap KPK di Kolombia.
Juga bisa dilihat di televisi
bagaimana para politisi korup memiliki rumah besar berharga mahal plus
mobil mewah. Dari gaya hidup mereka, jelas korupsi dilakukan bukan
semata-mata karena gajinya tidak cukup.
Dari kasus-kasus korupsi yang
belakangan ini terungkap, saya justru melihat yang terjadi adalah
reproduksi korupsi di dalam masyarakat kita di berbagai bidang. Praktik
korupsi dilakukan oleh para politisi muda dan elite partai, baik partai
yang sekuler maupun partai yang agamis.
Korupsi juga dilakukan di lembaga
pendidikan yang membuatnya tidak berbeda dengan lembaga peradilan, kantor
pelayanan publik, dan berbagai instansi korup lainnya.
Habitus Korupsi
Untuk memahami bagaimana
reproduksi korupsi dilakukan, saya meminjam pemikiran Pierre Bourdieu
tentang habitus. Korupsi tak disebabkan semata-mata karena kreativitas
individu yang mampu mengakali hukum dan lembaga peradilan. Korupsi juga tak
disebabkan semata-mata oleh struktur atau sistem yang memaksa setiap
individu di dalamnya untuk melakukan korupsi. Korupsi dituntun oleh habitus
yang memberikan panduan kepada individu di dalam masyarakat bagaimana
berkata, berpikir, dan bertindak.
Individu bersifat tahan lama dan
bisa diwariskan atau dipindahposisikan mengikuti individu. Namun, habitus
bukan struktur atau sistem yang deterministik. Habitus dibentuk oleh
individu-individu melalui perulangan praktik sosial dalam jangka waktu yang
lama. Habitus korupsi dibentuk oleh perulangan praktik korupsi yang
dilakukan secara terus-menerus dan tanpa disadari kemudian menjadi sebuah
habitus yang memberikan panduan dan pembelajaran kepada siapa pun untuk melakukan
korupsi.
Karena habitusnya korup, praktik
korupsi kemudian menjadi suatu tindakan normal dan wajar. Pelakunya tak
merasa melakukan korupsi sehingga, dalam kasus Hambalang, seorang tersangka
justru dengan percaya diri mengatakan siap digantung di Monas apabila
terbukti bersalah. Habitus korupsi menjadikan seorang ustaz yang memimpin
partai politik ikut mengatur dan menikmati praktik korupsi sembari pada
saat yang sama terus berkhotbah untuk bersih (tidak korupsi) dan peduli
kepada umat. Alih-alih melakukan pembenahan internal dan mengatur ulang
mekanisme pendanaan partai, penerusnya justru menyerukan tobat nasional dan
menuding adanya konspirasi.
Habitus menjadikan praktik korupsi
tidak disadari lagi dan menjadi kebiasaan yang terus berulang sehingga banyak
pelaku dan pendukungnya seakan-akan tidak habis mengerti mengapa mereka
ditangkap karena korupsi. Habitus korupsi membuat korupsi direproduksi oleh
para individu di berbagai medan kehidupannya. Tidak mengherankan apabila
kemudian praktik korupsi tak hanya dilakukan oleh para politisi, tetapi
juga terjadi di lembaga pendidikan atau bahkan lembaga agama.
Korupsi direproduksi melalui
praktik sehari-hari di dalam masyarakat yang dituntun oleh habitus korup.
Meskipun banyak koruptor telah dipenjarakan oleh penegak hukum, korupsi
tetap terjadi karena, sebagai praktik sosial, korupsi terus-menerus
direproduksi. KPK pun tidak akan sanggup memberantas korupsi karena
kapasitasnya terlampau kecil untuk menghentikan barisan koruptor yang terus
muncul di medan politik, birokrasi pemerintah, organisasi agama, dan
berbagai medan kehidupan lainnya.
Agenda besar pemberantasan korupsi
bukan sekadar memenjarakan koruptor, melainkan bagaimana menghentikan
reproduksi korupsi dengan melakukan transformasi dari habitus korup menuju
habitus antikorupsi. Membentuk habitus baru membutuhkan perulangan praktik
sosial secara terus-menerus sehingga, dalam pengertian ini, pemberantasan
korupsi harus dilakukan dengan konsisten. Tanpa mengubah habitus, akan
banyak politisi, pemimpin agama, guru, pegawai pemerintah, dan pengusaha
yang akan memenuhi penjara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar