PENYIDIKAN kasus korupsi
simulator SIM dan skandal Irjen Djoko Susilo (DS) kini semakin
diintensifkan. Harta Djoko yang tidak bergerak dan kini sudah disita KPK
sekitar 35 item dengan nilai puluhan miliar rupiah. Harta Djoko benar-benar
sangat fantastis untuk ukuran gaji jenderal polisi, yang berdasar PP
17/2012 (amandemen ke-8 atas PP 29/2001) tentang gaji polisi, bergaji pokok
Rp 4,7 juta per bulan itu.
Kuat
dugaan bahwa Djoko tidak akan mampu bermain sendiri. Ternyata benar bahwa
pengusutan skandal simulator SIM itu mengalir ke mana-mana. Komjen Nanan
Soekarna harus datang ke KPK (6/3) sebagai saksi untuk menjelaskan
posisinya ketika itu sebagai Irwasum. Institusi pengawasan polisi ini
diduga menerima saweran uang panas simulator SIM Rp 1,7 miliar yang
dibuktikan dengan slip setoran bank dari Sukotjo Bambang.
Yang mengherankan, hasil pre-audit yang dilakukan Irwasum justru
tidak menemukan indikasi penyimpangan keseluruhan proses tender simulator
SIM dari sisi dokumen dan berdasar Perpres 54/2010 tentang Pedoman
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Irwasum berdasar live Komjen Nanan dalam sebuah
wawancara elektronik (8/3) tidak memeriksa latar belakang peserta tender,
tidak memeriksa mark-upatau down-grade harga penawaran karena merupakan
kewenangan PPK (pejabat pembuat komitmen) dan KPA (kuasa pengguna
anggaran).
Padahal, Irwasum sendiri adalah Inspektorat Pengawasan Umum, yang
artinya harus mampu memberikan pengawasan secara keseluruhan. Nanan tampak
mengecilkan skop tugas Irwasum dengan dalih tidak ingin mengintervensi
kewenangan PPK dan KPA. Padahal, intervensi sangat berbeda arti dengan
pengawasan.
Hasil clear and
clean analisis Irwasum
atas proses tender simulator SIM sehingga akhirnya mendapat persetujuan PA
(pengguna anggaran), yakni Kapolri Timur Pradopo akan menjadi exit bagi Kapolri, namun tidak bagi
Nanan. Bisa dikatakan, hasil penyelidikan Irwasum adalah kinerja terburuk
polisi dan memberikan kontribusi kerugian negara Rp 198,6 miliar itu. KPK
tentu tidak akan tinggal diam karena setoran Rp 1,7 miliar itu patut diduga
memiliki relasi kuat dengan apa yang dihasilkan dari kesimpulan Irwasum.
Mark-up dan kick-back sejatinya tidak akan dapat
berlangsung apabila tidak ada fasilitasi dan koordinasi informal key-person pada institusi atau lembaga
pengguna anggaran APBN yang berasal dari pajak rakyat tersebut. Inilah
pentingnya "memahami" kewenangan trio PPK, KPA, dan PA dalam
Perpres 54/2010.
Dalam kasus skandal simulator SIM, Wakorlantas Brigjen Didik Purnomo
sebagai PPK ditersangkakan. Peran Didik terasa karena menandatangani surat
perjanjian jual beli antara Korlantas dan PT Citra Mandiri Metalindo Abadi
pada 25 Februari 2011. Didik dijerat pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No
31/1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP.
PPK memiliki sembilan kewenangan dan tugas pokok dalam pasal 11
Perpres 54/2010. Selain itu, PPK memiliki satu hak mengusulkan pemenang
tender dan tiga tugas lain yang tidak kalah penting. Tugas itu adalah
menentukan spesifikasi, membuat HPS (harga perkiraan sendiri), menetapkan
pemenang, membuat kontrak sampai pengawasan saat eksekusi kontrak di
lapangan.
Namun, Didik Purnomo bukan penguasa tunggal dalam proyek ini. Pasal
yang sama ayat 1 butir (h) jelas-jelas mewajibkan kepada PPK untuk
melaporkan perkembangan proyek setiap triwulan kepada PA atau KPA. Kalau
melihat posisi PA ada pada Kapolri, komunikasi Didik tentu kepada Kapolri
secara tidak langsung, namun kepada Djoko Susilo yang ternyata KPA.
Penetapan tersangka Djoko Susilo, Didik Purnomo, dan kini mencari key-person lain adalah langkah tepat KPK.
Normalnya, PPK tidak akan powerful tanpa izin KPA, dan tindakan
KPA pasti atas izin dan sepengetahuan PA dalam hubungan operasional
informal.
Apakah dimungkinkan masing-masing pejabat bertindak insubordinasi
tanpa memberikan laporan? Dapat saja terjadi atas motif keuntungan pribadi,
masing-masing tidak melapor, PPK membuat deal tersendiri dengan kontraktor, KPA
membuat deal tanpa sepengetahuan PA, dan begitu
pula PA mem-bypass seluruh
keputusan PPK dan KPA. Namun, dalam aktivitas proyek yang sangat ketat,
ritme yang tidak biasa ini akan cepat diketahui oleh pejabat lain.
Pemenang proyek, yakni kontraktor, tentu mereaksi pertama. Misalnya,
menurunkan kualitas material sebagai kompensasi penyalahgunaan anggaran
proyek untuk keperluan kick-back.
Ternyata terbukti bahwa banyak alat simulator SIM itu yang tidak berfungsi
dengan baik. Hal-hal teknis ini adalah isyarat yang bisa menjadi petunjuk
ketidakberesan pelaksanaan proyek.
Insubordinasi bawahan kepada atasan memang menjadi persoalan internal
organisasi proyek tersendiri. Namun, untuk institusi polisi masalah
insubordinasi tampaknya kecil kemungkinan terjadi, karena kuatnya hirarki
komando. Jika tidak keburu dibongkar KPK, barangkali tak ada tindakan hukum
yang jelas.
Dalam pengusutan yang mengalir ke mana-mana ini, akankah KPK berani
menetapkan tersangka baru?
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar