Senin, 18 Maret 2013

DS dan Trio Eksekutor Proyek


DS dan Trio Eksekutor Proyek
Effnu Subiyanto  ;  Pendiri Forkep (Forum Pengamat Kebijakan Publik),
Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
JAWA POS, 18 Maret 2013
  

PENYIDIKAN kasus korupsi simulator SIM dan skandal Irjen Djoko Susilo (DS) kini semakin diintensifkan. Harta Djoko yang tidak bergerak dan kini sudah disita KPK sekitar 35 item dengan nilai puluhan miliar rupiah. Harta Djoko benar-benar sangat fantastis untuk ukuran gaji jenderal polisi, yang berdasar PP 17/2012 (amandemen ke-8 atas PP 29/2001) tentang gaji polisi, bergaji pokok Rp 4,7 juta per bulan itu. 

Kuat dugaan bahwa Djoko tidak akan mampu bermain sendiri. Ternyata benar bahwa pengusutan skandal simulator SIM itu mengalir ke mana-mana. Komjen Nanan Soekarna harus datang ke KPK (6/3) sebagai saksi untuk menjelaskan posisinya ketika itu sebagai Irwasum. Institusi pengawasan polisi ini diduga menerima saweran uang panas simulator SIM Rp 1,7 miliar yang dibuktikan dengan slip setoran bank dari Sukotjo Bambang.

Yang mengherankan, hasil pre-audit yang dilakukan Irwasum justru tidak menemukan indikasi penyimpangan keseluruhan proses tender simulator SIM dari sisi dokumen dan berdasar Perpres 54/2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Irwasum berdasar live Komjen Nanan dalam sebuah wawancara elektronik (8/3) tidak memeriksa latar belakang peserta tender, tidak memeriksa mark-upatau down-grade harga penawaran karena merupakan kewenangan PPK (pejabat pembuat komitmen) dan KPA (kuasa pengguna anggaran).

Padahal, Irwasum sendiri adalah Inspektorat Pengawasan Umum, yang artinya harus mampu memberikan pengawasan secara keseluruhan. Nanan tampak mengecilkan skop tugas Irwasum dengan dalih tidak ingin mengintervensi kewenangan PPK dan KPA. Padahal, intervensi sangat berbeda arti dengan pengawasan. 

Hasil clear and clean analisis Irwasum atas proses tender simulator SIM sehingga akhirnya mendapat persetujuan PA (pengguna anggaran), yakni Kapolri Timur Pradopo akan menjadi exit bagi Kapolri, namun tidak bagi Nanan. Bisa dikatakan, hasil penyelidikan Irwasum adalah kinerja terburuk polisi dan memberikan kontribusi kerugian negara Rp 198,6 miliar itu. KPK tentu tidak akan tinggal diam karena setoran Rp 1,7 miliar itu patut diduga memiliki relasi kuat dengan apa yang dihasilkan dari kesimpulan Irwasum.

Mark-up dan kick-back sejatinya tidak akan dapat berlangsung apabila tidak ada fasilitasi dan koordinasi informal key-person pada institusi atau lembaga pengguna anggaran APBN yang berasal dari pajak rakyat tersebut. Inilah pentingnya "memahami" kewenangan trio PPK, KPA, dan PA dalam Perpres 54/2010.

Dalam kasus skandal simulator SIM, Wakorlantas Brigjen Didik Purnomo sebagai PPK ditersangkakan. Peran Didik terasa karena menandatangani surat perjanjian jual beli antara Korlantas dan PT Citra Mandiri Metalindo Abadi pada 25 Februari 2011. Didik dijerat pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

PPK memiliki sembilan kewenangan dan tugas pokok dalam pasal 11 Perpres 54/2010. Selain itu, PPK memiliki satu hak mengusulkan pemenang tender dan tiga tugas lain yang tidak kalah penting. Tugas itu adalah menentukan spesifikasi, membuat HPS (harga perkiraan sendiri), menetapkan pemenang, membuat kontrak sampai pengawasan saat eksekusi kontrak di lapangan. 

Namun, Didik Purnomo bukan penguasa tunggal dalam proyek ini. Pasal yang sama ayat 1 butir (h) jelas-jelas mewajibkan kepada PPK untuk melaporkan perkembangan proyek setiap triwulan kepada PA atau KPA. Kalau melihat posisi PA ada pada Kapolri, komunikasi Didik tentu kepada Kapolri secara tidak langsung, namun kepada Djoko Susilo yang ternyata KPA.

Penetapan tersangka Djoko Susilo, Didik Purnomo, dan kini mencari key-person lain adalah langkah tepat KPK. Normalnya, PPK tidak akan powerful tanpa izin KPA, dan tindakan KPA pasti atas izin dan sepenge­tahuan PA dalam hubungan operasional informal.

Apakah dimungkinkan masing-masing pejabat bertindak insubordinasi tanpa memberikan laporan? Dapat saja terjadi atas motif keuntungan pribadi, masing-masing tidak melapor, PPK membuat deal tersendiri dengan kontraktor, KPA membuat deal tanpa sepengetahuan PA, dan begitu pula PA mem-bypass  seluruh keputusan PPK dan KPA. Namun, dalam aktivitas proyek yang sangat ketat, ritme yang tidak biasa ini akan cepat diketahui oleh pejabat lain.

Pemenang proyek, yakni kontraktor, tentu mereaksi pertama. Misalnya, menurunkan kualitas material sebagai kompensasi penyalahgunaan anggaran proyek untuk keperluan kick-back. Ternyata terbukti bahwa banyak alat simulator SIM itu yang tidak berfungsi dengan baik. Hal-hal teknis ini adalah isyarat yang bisa menjadi petunjuk ketidakberesan pelaksanaan proyek. 

Insubordinasi bawahan kepada atasan memang menjadi persoalan internal organisasi proyek tersendiri. Namun, untuk institusi polisi masalah insubordinasi tampaknya kecil kemung­kinan terjadi, karena kuatnya hirarki komando. Jika tidak keburu dibongkar KPK, barangkali tak ada tindakan hukum yang jelas. 

Dalam pengusutan yang mengalir ke mana-mana ini, akankah KPK berani menetapkan tersangka baru?
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar