Senin, 18 Maret 2013

Penganaktirian kepada si Bawang Putih


Penganaktirian kepada si Bawang Putih
Norbertus Kaleka  ;  Kolumnis, Praktisi, Dan Penulis Buku Agrobis,
Alumnus Fakultas Pertanian UGM 
JAWA POS, 18 Maret 2013

  
HARGA bawang putih yang melambung tinggi saat ini adalah sebuah kesengajaan yang diharapkan. Mudah, membuktikan kebenaran pendapat ini. Menurut Kementerian Pertanian, produksi bawang putih lokal setiap tahun hanya 20 persen dari kebutuhan nasional. Semenjak 15 tahun terakhir, produksi hanya 15 ribu ton-20 ribu ton. 

Berapa kebutuhan konsumsi bawang putih nasional per tahun? Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007-2011 mencacat konsumsi rata-rata per kapita per tahun untuk bawang putih 13,505 ons. Bila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 250 juta jiwa, dibutuhkan bawang putih 337.625 ton per tahun. Angka tersebut juga mengatakan bahwa kekuatan produksi bawang putih lokal hanya memasok sekitar 5,9 persen kebutuhan nasional sehingga perlu impor sekitar 94 persen. 

Tahun 2012, impor bawang putih 415 ribu ton dengan nilai USD 242,3 juta atau setara dengan Rp 2,3 triliun. Angka itu ada di atas tingkat konsumsi nasional. Tentu, perlu kita pahami bahwa bawang putih tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai rempah-rempah dan bumbu dapur, tetapi juga dibutuhkan sebagai obat-obatan dalam bentuk ekstrak. Maka, masuk akal impornya sebesar itu. 

Negara asal impor bawang putih adalah Tiongkok. Bawang putih dari negeri Panda itu mencapai 410 ribu ton senilai USD239,4 juta atau Rp 2,27 triliun. Artinya, 98,7 persen bawang impor dikuasai Tiongkok. Memang, ada pula negara-negala lain seperti India, Pakistan, Thailand, dan Malaysia, tetapi jumahnya hanya sekitar 5 ribu ton. 

Mengapa bawang putih Tiongkok begitu dominan dalam pasar domestik kita? Tiongkok adalah negara subtropis yang cocok untuk budi daya bawang putih. Di negara tersebut, panjang penyinaran berlangsung sekitar 17 jam pada musim panas sehingga pertumbuhan bawang putih sangat optimal. Berbeda halnya dengan negara kita yang berada di daerah tropis, panjang penyinaran hanya berlangsung sekitar 12 jam. Karena itu, ukuran bawang putih produksi petani kita lebih kecil daripada bawang Tiongkok. 

Impor bawang putih sudah berlangsung sangat lama. Tahun 1975 impor bawang putih baru mencapai 705 ton, senilai Rp 1,6 miliar. Namun, 10 tahun berikutnya naik, menjadi 16.366 ton, senilai Rp 103,86 miliar; tahun 1995, naik lagi, menjadi 45.374 ton (Rp 427,84 miliar), dan tahun 2005 sudah mencapai 283.283 ton (Rp 666,650 miliar). Tidak butuh waktu lama, hanya dua tahun berselang (2007), volume impor sudah mencapai angka 423 ribu ton dengan nilai Rp 2,4 triliun. 

Keunggulan Bawang Lokal 

Dengan paparan tersebut, jelas bagi kita bahwa bawang putih adalah salah satu komoditas hortikultura kita yang diabaikan selama bertahun-tahun. Tidak ada upaya untuk menekan impor dengan mengelola produksi bawang putih lokal kita. Kementerian Pertanian beralasan bahwa produksi bawang putih lokal terbatas karena hanya tumbuh di ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (kontan.co.id, 4 Agustus 2011). Memang, itu benar untuk varietas bawang putih dataran tinggi. Tetapi, juga ada varietas bawang putih dataran rendah. Petani kita sudah menanam varietas bawang putih dataran rendah seperti Lumbu Putih. Ada pula varietas Bagor (Nganjuk), Layur (Batu), Jatibarang (Jatibarang), dan Sanur (Denpasar). Masih ada pula klon-klon bawang putih lokal yang diberi nama berdasar asal daerah tumbuhnya, seperti Tawangmangu, NTT, Ciwidey, dan Sembalun. 

Bila kita perbandingkan bawang putih lokal dengan bawang putih impor, memang berbeda ukuran umbi dan harganya. Umbi bawang putih impor besar, sedangkan bawang putih lokal berumbi tunggal. Konsumen sebenarnya lebih menyukai bawang putih lokal karena alasan aroma atau kualitas rasa pedasnya yang baik. Tetapi, dari segi ukuran umbi dan harga, bawang impor jauh lebih besar dan lebih murah. Diameter bawang impor 6 cm, harganya Rp 6.500, sedangkan yang lokal di atas Rp 10.000 per kg. 

Pemerintah, tampaknya, paham betul akan ketergantungan kita pada impor bawang putih. Upaya nyata selama belasan tahun untuk menerobos ketergantungan impor tidak dilakukan. Inilah yang dikatakan Ketua KTNA (Kontak Tani dan Nelayan Andalan) Jabar Oo Sutisna bahwa pemerintah belum menganggap bawah putih sebagai komoditas penting. Bawang putih memang diabaikan dan dianaktirikan. 

Seharusnya, kita tidak abai soal bawang putih tersebut karena agroklimat yang beragam yang kita miliki memungkinkan negeri ini menghasilkan bawang putih yang dibutuhkan warganya.
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar