HARGA bawang putih
yang melambung tinggi saat ini adalah sebuah kesengajaan yang diharapkan.
Mudah, membuktikan kebenaran pendapat ini. Menurut Kementerian Pertanian,
produksi bawang putih lokal setiap tahun hanya 20 persen dari kebutuhan
nasional. Semenjak 15 tahun terakhir, produksi hanya 15 ribu ton-20 ribu
ton.
Berapa
kebutuhan konsumsi bawang putih nasional per tahun? Survei Sosial Ekonomi
Nasional 2007-2011 mencacat konsumsi rata-rata per kapita per tahun untuk
bawang putih 13,505 ons. Bila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 250 juta
jiwa, dibutuhkan bawang putih 337.625 ton per tahun. Angka tersebut juga
mengatakan bahwa kekuatan produksi bawang putih lokal hanya memasok sekitar
5,9 persen kebutuhan nasional sehingga perlu impor sekitar 94 persen.
Tahun 2012, impor bawang putih 415 ribu ton dengan nilai USD 242,3
juta atau setara dengan Rp 2,3 triliun. Angka itu ada di atas tingkat
konsumsi nasional. Tentu, perlu kita pahami bahwa bawang putih tidak hanya
dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai rempah-rempah dan bumbu dapur, tetapi
juga dibutuhkan sebagai obat-obatan dalam bentuk ekstrak. Maka, masuk akal
impornya sebesar itu.
Negara asal impor bawang putih adalah Tiongkok. Bawang putih dari
negeri Panda itu mencapai 410 ribu ton senilai USD239,4 juta atau Rp 2,27
triliun. Artinya, 98,7 persen bawang impor dikuasai Tiongkok. Memang, ada
pula negara-negala lain seperti India, Pakistan, Thailand, dan Malaysia,
tetapi jumahnya hanya sekitar 5 ribu ton.
Mengapa bawang putih Tiongkok begitu dominan dalam pasar domestik
kita? Tiongkok adalah negara subtropis yang cocok untuk budi daya bawang
putih. Di negara tersebut, panjang penyinaran berlangsung sekitar 17 jam
pada musim panas sehingga pertumbuhan bawang putih sangat optimal. Berbeda
halnya dengan negara kita yang berada di daerah tropis, panjang penyinaran
hanya berlangsung sekitar 12 jam. Karena itu, ukuran bawang putih produksi
petani kita lebih kecil daripada bawang Tiongkok.
Impor bawang putih sudah berlangsung sangat lama. Tahun 1975 impor
bawang putih baru mencapai 705 ton, senilai Rp 1,6 miliar. Namun, 10 tahun
berikutnya naik, menjadi 16.366 ton, senilai Rp 103,86 miliar; tahun 1995,
naik lagi, menjadi 45.374 ton (Rp 427,84 miliar), dan tahun 2005 sudah
mencapai 283.283 ton (Rp 666,650 miliar). Tidak butuh waktu lama, hanya dua
tahun berselang (2007), volume impor sudah mencapai angka 423 ribu ton
dengan nilai Rp 2,4 triliun.
Keunggulan Bawang Lokal
Dengan paparan tersebut, jelas bagi kita bahwa bawang putih adalah
salah satu komoditas hortikultura kita yang diabaikan selama
bertahun-tahun. Tidak ada upaya untuk menekan impor dengan mengelola
produksi bawang putih lokal kita. Kementerian Pertanian beralasan bahwa
produksi bawang putih lokal terbatas karena hanya tumbuh di ketinggian di
atas 1.000 meter di atas permukaan laut (kontan.co.id, 4 Agustus 2011).
Memang, itu benar untuk varietas bawang putih dataran tinggi. Tetapi, juga
ada varietas bawang putih dataran rendah. Petani kita sudah menanam
varietas bawang putih dataran rendah seperti Lumbu Putih. Ada pula varietas
Bagor (Nganjuk), Layur (Batu), Jatibarang (Jatibarang), dan Sanur
(Denpasar). Masih ada pula klon-klon bawang putih lokal yang diberi nama
berdasar asal daerah tumbuhnya, seperti Tawangmangu, NTT, Ciwidey, dan
Sembalun.
Bila kita perbandingkan bawang putih lokal dengan bawang putih impor,
memang berbeda ukuran umbi dan harganya. Umbi bawang putih impor besar,
sedangkan bawang putih lokal berumbi tunggal. Konsumen sebenarnya lebih
menyukai bawang putih lokal karena alasan aroma atau kualitas rasa pedasnya
yang baik. Tetapi, dari segi ukuran umbi dan harga, bawang impor jauh lebih
besar dan lebih murah. Diameter bawang impor 6 cm, harganya Rp 6.500,
sedangkan yang lokal di atas Rp 10.000 per kg.
Pemerintah, tampaknya, paham betul akan ketergantungan kita pada
impor bawang putih. Upaya nyata selama belasan tahun untuk menerobos
ketergantungan impor tidak dilakukan. Inilah yang dikatakan Ketua KTNA
(Kontak Tani dan Nelayan Andalan) Jabar Oo Sutisna bahwa pemerintah belum
menganggap bawah putih sebagai komoditas penting. Bawang putih memang
diabaikan dan dianaktirikan.
Seharusnya, kita tidak abai soal bawang putih tersebut karena
agroklimat yang beragam yang kita miliki memungkinkan negeri ini
menghasilkan bawang putih yang dibutuhkan warganya.
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar