Sabtu, 02 Maret 2013

Perang Dingin


Perang Dingin
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 02 Maret 2013


Anda peminat sejarah perang dingin Amerika Serikat versus Uni Soviet tentu ingat frase ”penggentaran” (deterrence). Ini kultur kekerasan yang menghalalkan semua cara yang dimanipulasi dengan berbagai disiplin ilmu.
AS pembela ”kebebasan” mau menggentarkan komunisme Uni Soviet yang ”Evil Empire”. Soviet pembela demokrasi rakyat ingin menggentarkan AS penganjur kapitalisme penyengsara rakyat.
Maka, kedua negeri adidaya pada periode 1945- 1991 terlibat drama ”saling menggentarkan” (mutual deterrence). Selama puluhan tahun, media massa internasional diteror berita-berita saling menggentarkan kedua kubu itu.
Mereka menghabiskan dana ribuan triliun rupiah untuk memperkuat arsenal konvensional ataupun nuklir matra darat, laut, dan udara. Mereka lebih memilih ”senjata” untuk unjuk gigi ketimbang ”mentega” untuk memberi makan rakyat.
Aneka senjata dan jutaan personel militer tidak hanya digelar di tanah mereka, tetapi di teater/negara lain. Terciptalah beberapa kategori negara ”sekutu”, proxy, ”satelit”, sampai ”boneka”.
Sampai tahap tertentu, jumlah hulu ledak nuklir mereka mencapai puluhan ribu buah. Teknologinya supercanggih, mulai dari yang berpemandu otomatis sampai yang berhulu ledak sepuluh.
Pemimpin di Gedung Putih dan Kremlin tinggal pencet tombol untuk meledakkan perang nuklir. Hanya dalam hitungan sekitar 20 menit, Gedung Putih bisa menghancurkan Moskwa dan Kremlin melenyapkan Washington DC.
Entah berapa kali krisis terjadi di Eropa yang nyaris memecahkan perang frontal antara NATO dan Pakta Warsawa. Kini, sebagian anggota Pakta Warsawa bergabung dengan NATO.
AS sempat menyiapkan tempat-tempat perlindungan bagi rakyat guna menghindari serangan nuklir Uni Soviet saat Krisis Kuba 1962. Sampai kini, fallout shelters itu masih bertebaran di gedung-gedung.
Jutaan ilmuwan, mata-mata, diplomat, dan beragam jenis profesi lainnya dikerahkan untuk tujuan konyol ini. Hingga kini, cerita tentang mereka laris sebagai film Hollywood atau novel.
Cara-cara kotor, seperti subversi, korupsi, atau pembunuhan politik, pun dihalalkan. Demi tujuan komunisme atau kapitalisme, kedua negeri adidaya juga menyogok pemimpin negara-negara lain.
Kadang kala yang membandel dilenyapkan dengan cara terbuka ataupun rahasia. Ada yang dikudeta, diracun, bahkan dibunuh.
Sogokan untuk negeri pendukung negeri adidaya jumlahnya tak sedikit. Sebagian uang sogok disisihkan untuk beli senjata dari negeri adidaya.
Justru dari uang sogok itulah muncul kultur korupsi di negara-negara pendukung salah satu kubu. Selain kultur korupsi, negara-negara Dunia Ketiga juga mengenal kultur kekerasan militer.
Lebih mengerikan lagi, penguasa negara-negara boneka tiap kubu biasanya tidak demokratis. Mereka membentuk dinas-dinas intelijen yang represif dan hobi menyiksa rakyat sendiri.
Dengan dukungan aparat keamanan, mereka menumpas habis oposisi. Salah satu ”menu wajib” dinas intelijen dan militer adalah menculik para aktivis demokrasi dengan melanggar HAM.
Akibat kultur perang dingin yang menyesatkan itu, Uni Soviet tak mampu menahan beban politik dan ekonominya sendiri. Kini, masih banyak warga negeri itu mengutuk perang dingin.
Mereka akhirnya bubar sebagai negara tahun 1991. Tak lama kemudian, negeri-negeri satelit Uni Soviet juga bubar, terpecah dua, atau reunifikasi.
Presiden AS Barack Obama juga kebagian getah perang dingin. Jurang fiskal yang membuat pening Obama adalah warisan Ronald Reagan yang menghamburkan triliunan dollar AS untuk senjata.
Tak heran AS kini pengutang terbesar dengan 16 triliun dollar AS. Belum lagi defisit anggaran sekitar 1 triliun dollar AS per tahun.
Kita pun mengalami luberan perang dingin ketika Bumi Pertiwi gonjang-ganjing sejak pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta akhir 1950-an sampai kelahiran Orde Baru medio 1960-an. Presiden Soekarno didongkel perang dingin pula.
Mentalitas perang dingin masih menghinggapi sebagian dari kita. Salah satunya ”perang dingin” antara kubu pro-Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat (PD) dan kubu pro-eks Ketua Umum PD.
Tak seperti pertikaian antara kubu PSSI dan KPSI atau KOI versus KONI yang sudah membosankan, ini perang dingin mutakhir. Perang dingin dilancarkan bukan dari kantor, melainkan dari rumah di Cikeas dan Duren Sawit.
Jangan salah, kedua kubu konon didukung bala tentara masing-masing. Makanya, kini populer istilah-istilah dari komik wayang, seperti Sengkuni, Kurawa, dan Baratayudha.
Ini perang dingin yang berlangsung cukup lama sejak kongres PD di Bandung beberapa tahun silam. Maka, lahirlah istilah ”anak haram”, membuat banyak yang bertanya siapa, sih, ”anak emas” dia?
Rupanya ”anak emas” tadinya ada dua, kini tinggal satu karena yang satu sudah jadi tersangka. Siapa yang jadi ketua umum selanjutnya, kita tunggu saja.
Salah satu fitur perang dingin AS versus Uni Soviet adalah mutual balance of terror. Kedua kubu terlibat dalam upaya saling lempar gertak sambal atau meriam bambu.
Kalau perang dingin AS versus Uni Soviet mengandalkan ”senjata pemusnah massal”, perang dingin di Jakarta tidak mustahil mengandalkan senjata apa saja. Ketegangan ala perang dingin bisa tetap dingin terasa. Namun, ia bisa juga suam-suam kuku atau panas sehingga mengganggu jalannya negara.
Jika mau menjunjung tinggi hukum, toh, masih ada Polri, Kejaksaan Agung, atau KPK. Perang dingin ini tetap berkaitan dengan masalah hukum, masalah politik hanya warna-warninya saja.
Fitur lain dari perang dingin AS versus Uni Soviet adalah mutual assured destruction (MAD). Kedua kubu paham takkan pernah terlibat perang nuklir karena menghancurkan dunia.
Singkatannya ngeri: MAD, yang dalam bahasa Indonesia artinya ”kurang waras”. Berhati-hatilah, MAD bisa jadi ancaman bagi kita semua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar