Anda peminat sejarah perang dingin
Amerika Serikat versus Uni Soviet tentu ingat frase ”penggentaran”
(deterrence). Ini kultur kekerasan yang menghalalkan semua cara yang
dimanipulasi dengan berbagai disiplin ilmu.
AS pembela ”kebebasan” mau
menggentarkan komunisme Uni Soviet yang ”Evil Empire”. Soviet pembela
demokrasi rakyat ingin menggentarkan AS penganjur kapitalisme penyengsara
rakyat.
Maka, kedua negeri adidaya pada
periode 1945- 1991 terlibat drama ”saling menggentarkan” (mutual deterrence). Selama puluhan
tahun, media massa internasional diteror berita-berita saling menggentarkan
kedua kubu itu.
Mereka menghabiskan dana ribuan
triliun rupiah untuk memperkuat arsenal konvensional ataupun nuklir matra
darat, laut, dan udara. Mereka lebih memilih ”senjata” untuk unjuk gigi
ketimbang ”mentega” untuk memberi makan rakyat.
Aneka senjata dan jutaan personel
militer tidak hanya digelar di tanah mereka, tetapi di teater/negara lain.
Terciptalah beberapa kategori negara ”sekutu”, proxy, ”satelit”, sampai
”boneka”.
Sampai tahap tertentu, jumlah hulu
ledak nuklir mereka mencapai puluhan ribu buah. Teknologinya supercanggih,
mulai dari yang berpemandu otomatis sampai yang berhulu ledak sepuluh.
Pemimpin di Gedung Putih dan
Kremlin tinggal pencet tombol untuk meledakkan perang nuklir. Hanya dalam
hitungan sekitar 20 menit, Gedung Putih bisa menghancurkan Moskwa dan
Kremlin melenyapkan Washington DC.
Entah berapa kali krisis terjadi
di Eropa yang nyaris memecahkan perang frontal antara NATO dan Pakta
Warsawa. Kini, sebagian anggota Pakta Warsawa bergabung dengan NATO.
AS sempat menyiapkan tempat-tempat
perlindungan bagi rakyat guna menghindari serangan nuklir Uni Soviet saat
Krisis Kuba 1962. Sampai kini, fallout shelters itu masih bertebaran di
gedung-gedung.
Jutaan ilmuwan, mata-mata,
diplomat, dan beragam jenis profesi lainnya dikerahkan untuk tujuan konyol
ini. Hingga kini, cerita tentang mereka laris sebagai film Hollywood atau
novel.
Cara-cara kotor, seperti subversi,
korupsi, atau pembunuhan politik, pun dihalalkan. Demi tujuan komunisme
atau kapitalisme, kedua negeri adidaya juga menyogok pemimpin negara-negara
lain.
Kadang kala yang membandel
dilenyapkan dengan cara terbuka ataupun rahasia. Ada yang dikudeta,
diracun, bahkan dibunuh.
Sogokan untuk negeri pendukung negeri
adidaya jumlahnya tak sedikit. Sebagian uang sogok disisihkan untuk beli
senjata dari negeri adidaya.
Justru dari uang sogok itulah
muncul kultur korupsi di negara-negara pendukung salah satu kubu. Selain
kultur korupsi, negara-negara Dunia Ketiga juga mengenal kultur kekerasan
militer.
Lebih mengerikan lagi, penguasa
negara-negara boneka tiap kubu biasanya tidak demokratis. Mereka membentuk
dinas-dinas intelijen yang represif dan hobi menyiksa rakyat sendiri.
Dengan dukungan aparat keamanan,
mereka menumpas habis oposisi. Salah satu ”menu wajib” dinas intelijen dan
militer adalah menculik para aktivis demokrasi dengan melanggar HAM.
Akibat kultur perang dingin yang
menyesatkan itu, Uni Soviet tak mampu menahan beban politik dan ekonominya
sendiri. Kini, masih banyak warga negeri itu mengutuk perang dingin.
Mereka akhirnya bubar sebagai
negara tahun 1991. Tak lama kemudian, negeri-negeri satelit Uni Soviet juga
bubar, terpecah dua, atau reunifikasi.
Presiden AS Barack Obama juga
kebagian getah perang dingin. Jurang fiskal yang membuat pening Obama
adalah warisan Ronald Reagan yang menghamburkan triliunan dollar AS untuk
senjata.
Tak heran AS kini pengutang
terbesar dengan 16 triliun dollar AS. Belum lagi defisit anggaran sekitar 1
triliun dollar AS per tahun.
Kita pun mengalami luberan perang
dingin ketika Bumi Pertiwi gonjang-ganjing sejak pecahnya pemberontakan
PRRI/Permesta akhir 1950-an sampai kelahiran Orde Baru medio 1960-an.
Presiden Soekarno didongkel perang dingin pula.
Mentalitas perang dingin masih
menghinggapi sebagian dari kita. Salah satunya ”perang dingin” antara kubu
pro-Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat (PD) dan kubu pro-eks Ketua
Umum PD.
Tak seperti pertikaian antara kubu
PSSI dan KPSI atau KOI versus KONI yang sudah membosankan, ini perang
dingin mutakhir. Perang dingin dilancarkan bukan dari kantor, melainkan
dari rumah di Cikeas dan Duren Sawit.
Jangan salah, kedua kubu konon
didukung bala tentara masing-masing. Makanya, kini populer istilah-istilah
dari komik wayang, seperti Sengkuni, Kurawa, dan Baratayudha.
Ini perang dingin yang berlangsung
cukup lama sejak kongres PD di Bandung beberapa tahun silam. Maka, lahirlah
istilah ”anak haram”, membuat banyak yang bertanya siapa, sih, ”anak emas”
dia?
Rupanya ”anak emas” tadinya ada dua,
kini tinggal satu karena yang satu sudah jadi tersangka. Siapa yang jadi
ketua umum selanjutnya, kita tunggu saja.
Salah satu fitur perang dingin AS
versus Uni Soviet adalah mutual balance of terror. Kedua kubu terlibat
dalam upaya saling lempar gertak sambal atau meriam bambu.
Kalau perang dingin AS versus Uni
Soviet mengandalkan ”senjata pemusnah massal”, perang dingin di Jakarta
tidak mustahil mengandalkan senjata apa saja. Ketegangan ala perang dingin
bisa tetap dingin terasa. Namun, ia bisa juga suam-suam kuku atau panas
sehingga mengganggu jalannya negara.
Jika mau menjunjung tinggi hukum,
toh, masih ada Polri, Kejaksaan Agung, atau KPK. Perang dingin ini tetap
berkaitan dengan masalah hukum, masalah politik hanya warna-warninya saja.
Fitur lain dari perang dingin AS
versus Uni Soviet adalah mutual assured destruction (MAD). Kedua kubu paham
takkan pernah terlibat perang nuklir karena menghancurkan dunia.
Singkatannya ngeri: MAD, yang
dalam bahasa Indonesia artinya ”kurang waras”. Berhati-hatilah, MAD bisa
jadi ancaman bagi kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar