Kamis, 07 Maret 2013

Fenomena Anas dalam Kosmologi Jawa


Fenomena Anas dalam Kosmologi Jawa
Heri Priyatmoko  ;  Mahasiswa Pascasarjana Sejarah FIB, Universitas Gadjah Mada
KORAN TEMPO, 07 Maret 2013
  

“Kalau halaman berikutnya benar-benar ditulis Anas dan menyeret tokoh penting, kita berharap tindakan Anas bukan dilandasi rasa dendam seperti dalam mitos Kebo Ijo, melainkan sikap kooperatif mendukung KPK mengusut dan memerangi korupsi di negeri ini.
Selepas ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Anas Urbaningrum resmi melepas jubah kebesarannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Alumnus Jurusan Ilmu Politik Universitas Airlangga ini mengumumkan dirinya berhenti, dan sempat "bernyanyi" sebagai bayi yang tidak diharapkan. Apabila Partai Demokrat diibaratkan sebuah kerajaan Jawa, lelaki bekas Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia itu telah "lengser keprabon" alias turun dari takhta kerajaan. Pria berkacamata yang siap digantung di Monas kalau terbukti berkorupsi ini meninggalkan kedudukannya sebagai "raja".
Pemakaian terminologi lokal lengser keprabon kiranya tepat untuk memotret fenomena Anas dalam tubuh Partai Demokrat. Apalagi pihak yang bersangkutan (bahkan karakter perpolitikan di Indonesia) kental dengan paham kekuasaan Jawa. Jika kita serius mengais sumber arsip yang berdebu dan membentangkan halaman demi halaman sejarah Jawa, kita bakal menemukan beberapa realitas historis yang "serupa" dengan fenomena Anas.
Masih hangat dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, yaitu pengunduran diri Presiden Soeharto dari singgasana kepresidenan yang empuk. Soeharto, anak petani yang dilahirkan di pedesaan di wilayah Kesultanan Yogyakarta, harus rela bercerai dengan kursi istana yang ia duduki selama 32 tahun. Gerakan mahasiswa angkatan 1998 menjebol kekuasaan yang otoriter dan menggulingkan sang "prabu" yang diktator. Istilah lengser keprabon lama tenggelam. Dan Soeharto-lah yang mempopulerkan konsep Jawa ini sewaktu dirinya menyatakan mundur dari posisi pemimpin negara. Tak perlu heran, budaya Jawa memang hidup di jantung presiden yang murah senyum itu.
Berikutnya ialah Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921), yang meninggalkan kekuasaannya sebagai raja Kesultanan Yogyakarta. Menurut sejarawan Onghokham (2002), beliau mengundurkan diri dari masalah kesultanan dengan sering keluar dari keraton dan tinggal di istana peristirahatannya, yang kini menjadi hotel berbintang empat, Ambarukmo Palace Hotel, di pinggir Kota Yogyakarta. 
Sementara itu, kasus lengser keprabon juga dialami Gusti Mangkunegara VI pada permulaan abad XX. Penguasa Pura Mangkunegaran ini kecewa berat atas keputusan petinggi pemerintah Londo yang tidak mengizinkan putra sulungnya menggantikan dirinya. Sungguh malang, gusti yang dikenal setiti (hemat) itu meninggal dalam pengasingan. Dinasti Mangkunegara, seperti yang kita tahu, memiliki hubungan keluarga dengan almarhum Nyonya Tien Soeharto. Para raja Jawa yang lengser keprabon sebelum Belanda berkuasa penuh di Jawa mengalami nasib yang lebih tragis. Mereka dibunuh dalam pembuangan atau dibui macam Presiden Sukarno, yang tutup usia dalam tahanan rumah pada 1970.
Kepengecutan
Sebagai manusia Jawa yang hidup dalam kosmologi Jawa, Anas Urbaningrum begitu paham dan fasih mengucapkan istilah Jawa yang khas. Salah satunya, yakni "nabok nyilih tangan", seperti yang ia tulis dalam status Blackberry Messenger (BBM) sesaat setelah ditetapkan sebagai tersangka. Jelas bukan karena sekadar iseng Anas menuliskan kata-kata yang menyiratkan suatu kepengecutan seseorang itu. Terminologi tersebut bukan kalimat tanpa arti dan sepi makna. Dalam bahasa Indonesia, sepenggal istilah ini kurang-lebih sama dengan pengertian melukai seseorang tetapi dengan meminjam tangan orang lain atau lempar batu sembunyi tangan. 
Sepotong terminologi yang tiba-tiba dihadirkan oleh Anas dalam wacana perpolitikan Indonesia ini mengingatkan kita akan kisah sejarah Ken Arok. Mantan berandal itu menempuh jalur licik demi memenuhi hasrat merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung dan menguasai wilayah Tumapel. Alkisah, orang yang kelak menjadi raja terbesar di Kerajaan Singasari ini menyerahkan keris Empu Gandring kepada sahabat karibnya bernama Kebo Ijo. Dasar sifatnya yang sombong dan lugu, Kebo Ijo tanpa ragu memamerkan keris bertuah dan berlumuran darah Empu Gandring ini kepada siapa pun yang dijumpainya. Maka, tak ada seorang pun di Tumapel yang tidak tahu bahwa Kebo Ijo sekarang memiliki keris baru.
Pada suatu malam yang pekat, Ken Arok mengendap mencuri kembali sebilah keris itu, saat Kebo Ijo sedang terbuai mimpi. Kemudian Ken Arok melangkah ke istana menuju tempat peraduan Tunggul Ametung. Dada suami Ken Dedes itu ditusuk dan akhirnya binasa dengan keris yang telah dikutuk Empu Gandring bakal memakan tujuh nyawa itu. Otak licik Ken Arok segera bermain. Ia sengaja meninggalkan keris menancap di tubuh junjungannya. Penduduk Tumapel paham bahwa senjata tajam yang menewaskan Tunggul Ametung merupakan keris milik Kebo Ijo. Alhasil, punggawa tersebut dituduh sebagai pembunuh. Tanpa ba-bi-bu, keluarga raja meringkusnya, dan menikam Kebo Ijo dengan keris Empu Gandring yang dikeramatkan. Strategi "nabok nyilih tangan" Ken Arok berjalan mulus sesuai dengan harapan.
Ken Arok gembira bukan kepalang lantaran telah meraih mimpinya meski dengan cara yang jauh dari perikemanusiaan serta tidak jantan. Setelah semuanya dipersiapkan, dia pun diangkat menjadi raja menggantikan Tunggul Ametung. Juga berhasil menyunting Ken Dedes yang konon di sela-sela pahanya memancarkan sinar. Rakyat tunduk kepada bekas preman yang bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabumi itu. Tetapi kekerasan yang dikerjakan Ken Arok merupakan bukti dari kekerasan selanjutnya. Dendam demi dendam sambung-menyambung. Korban demi korban pun berjatuhan.
Hal ini setutur dengan pernyataan budayawan Sindhunata (2008) bahwa mitos Kebo Ijo dapat berulang dalam sejarah manakala ada orang yang bernafsu merebut kekuasaan dengan kekerasan dan sikap pengecut. Bila kita membaca mentalitas kekuasaan Jawa, mitos lawas ini memang selalu mengandung kebenaran. Sejak zaman raja-raja dahulu, kekuasaan hampir selalu direbut dan dimiliki bukan secara alami dan manusiawi, melainkan dengan kekuasaan, senjata, darah, dan pengkhianatan (sifat pengecut). Lalu, lahirlah dendam yang akan memakan korban lagi.
Setelah lengser dari jabatan kemarin, Anas Urbaningrum bermuka tenang mengatakan bakal membuka halaman pertama yang diduga berkaitan dengan misteri besar di republik ini. Publik riuh menerka, apakah misteri itu ialah kasus Bank Century, aliran dana kasus Hambalang, atau cuma gertak sambal. Kalau halaman berikutnya benar-benar ditulis Anas dan menyeret tokoh penting, kita berharap bahwa tindakan Anas bukan dilandasi rasa dendam seperti dalam mitos Kebo Ijo, melainkan sikap kooperatif mendukung KPK mengusut dan memerangi korupsi di negeri ini. Sebab, bila dilumuri dendam, tidak tertutup kemungkinan tumbuh dendam baru dengan istilah titenono. Ternyata perpolitikan di Indonesia bertabur istilah Jawa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar