“Kalau halaman
berikutnya benar-benar ditulis Anas dan menyeret tokoh penting, kita
berharap tindakan Anas bukan dilandasi rasa dendam seperti dalam mitos Kebo
Ijo, melainkan sikap kooperatif mendukung KPK mengusut dan memerangi
korupsi di negeri ini.”
Selepas ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, Anas Urbaningrum resmi melepas jubah kebesarannya
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Alumnus Jurusan Ilmu Politik
Universitas Airlangga ini mengumumkan dirinya berhenti, dan sempat
"bernyanyi" sebagai bayi yang tidak diharapkan. Apabila Partai
Demokrat diibaratkan sebuah kerajaan Jawa, lelaki bekas Ketua Umum Pengurus
Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia itu telah "lengser keprabon"
alias turun dari takhta kerajaan. Pria berkacamata yang siap digantung di
Monas kalau terbukti berkorupsi ini meninggalkan kedudukannya sebagai
"raja".
Pemakaian terminologi lokal lengser keprabon kiranya
tepat untuk memotret fenomena Anas dalam tubuh Partai Demokrat. Apalagi
pihak yang bersangkutan (bahkan karakter perpolitikan di Indonesia) kental
dengan paham kekuasaan Jawa. Jika kita serius mengais sumber arsip yang
berdebu dan membentangkan halaman demi halaman sejarah Jawa, kita bakal
menemukan beberapa realitas historis yang "serupa" dengan
fenomena Anas.
Masih hangat dalam ingatan kolektif masyarakat
Indonesia, yaitu pengunduran diri Presiden Soeharto dari singgasana
kepresidenan yang empuk.
Soeharto, anak petani yang dilahirkan di pedesaan di wilayah Kesultanan
Yogyakarta, harus rela bercerai dengan kursi istana yang ia duduki selama
32 tahun. Gerakan mahasiswa angkatan 1998 menjebol kekuasaan yang otoriter
dan menggulingkan sang "prabu" yang diktator. Istilah lengser keprabon
lama tenggelam. Dan Soeharto-lah yang mempopulerkan konsep Jawa ini sewaktu
dirinya menyatakan mundur dari posisi pemimpin negara. Tak perlu heran,
budaya Jawa memang hidup di jantung presiden yang murah senyum itu.
Berikutnya ialah Sultan Hamengku Buwana VII
(1877-1921), yang meninggalkan kekuasaannya sebagai raja Kesultanan
Yogyakarta. Menurut sejarawan Onghokham (2002), beliau mengundurkan diri
dari masalah kesultanan dengan sering keluar dari keraton dan tinggal di
istana peristirahatannya, yang kini menjadi hotel berbintang empat,
Ambarukmo Palace Hotel, di pinggir Kota Yogyakarta.
Sementara itu, kasus lengser keprabon juga dialami
Gusti Mangkunegara VI pada permulaan abad XX. Penguasa Pura Mangkunegaran
ini kecewa berat atas keputusan petinggi pemerintah Londo yang tidak
mengizinkan putra sulungnya menggantikan dirinya. Sungguh malang, gusti
yang dikenal setiti (hemat) itu meninggal dalam pengasingan. Dinasti
Mangkunegara, seperti yang kita tahu, memiliki hubungan keluarga dengan
almarhum Nyonya Tien Soeharto. Para raja Jawa yang lengser keprabon sebelum
Belanda berkuasa penuh di Jawa mengalami nasib yang lebih tragis. Mereka
dibunuh dalam pembuangan atau dibui macam Presiden Sukarno, yang tutup usia
dalam tahanan rumah pada 1970.
Kepengecutan
Sebagai manusia Jawa yang hidup dalam kosmologi Jawa,
Anas Urbaningrum begitu paham dan fasih mengucapkan istilah Jawa yang khas.
Salah satunya, yakni "nabok
nyilih tangan", seperti yang ia tulis dalam status Blackberry
Messenger (BBM) sesaat setelah ditetapkan sebagai tersangka. Jelas bukan
karena sekadar iseng Anas menuliskan kata-kata yang menyiratkan suatu
kepengecutan seseorang itu. Terminologi tersebut bukan kalimat tanpa arti
dan sepi makna. Dalam bahasa Indonesia, sepenggal istilah ini kurang-lebih
sama dengan pengertian melukai seseorang tetapi dengan meminjam tangan
orang lain atau lempar batu sembunyi tangan.
Sepotong terminologi yang tiba-tiba dihadirkan oleh
Anas dalam wacana perpolitikan Indonesia ini mengingatkan kita akan kisah
sejarah Ken Arok. Mantan berandal itu menempuh jalur licik demi memenuhi
hasrat merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung dan menguasai wilayah
Tumapel. Alkisah, orang yang kelak menjadi raja terbesar di Kerajaan
Singasari ini menyerahkan keris Empu Gandring kepada sahabat karibnya
bernama Kebo Ijo. Dasar sifatnya yang sombong dan lugu, Kebo Ijo tanpa ragu
memamerkan keris bertuah dan berlumuran darah Empu Gandring ini kepada
siapa pun yang dijumpainya. Maka, tak ada seorang pun di Tumapel yang tidak
tahu bahwa Kebo Ijo sekarang memiliki keris baru.
Pada suatu malam yang pekat, Ken Arok mengendap mencuri
kembali sebilah keris itu, saat Kebo Ijo sedang terbuai mimpi. Kemudian Ken
Arok melangkah ke istana menuju tempat peraduan Tunggul Ametung. Dada suami
Ken Dedes itu ditusuk dan akhirnya binasa dengan keris yang telah dikutuk
Empu Gandring bakal memakan tujuh nyawa itu. Otak licik Ken Arok segera
bermain. Ia sengaja meninggalkan keris menancap di tubuh junjungannya.
Penduduk Tumapel paham bahwa senjata tajam yang menewaskan Tunggul Ametung
merupakan keris milik Kebo Ijo. Alhasil, punggawa tersebut dituduh sebagai
pembunuh. Tanpa ba-bi-bu,
keluarga raja meringkusnya, dan menikam Kebo Ijo dengan keris Empu Gandring
yang dikeramatkan. Strategi "nabok
nyilih tangan" Ken Arok berjalan mulus sesuai dengan harapan.
Ken Arok gembira bukan kepalang lantaran telah meraih
mimpinya meski dengan cara yang jauh dari perikemanusiaan serta tidak
jantan. Setelah semuanya dipersiapkan, dia pun diangkat menjadi raja
menggantikan Tunggul Ametung. Juga berhasil menyunting Ken Dedes yang konon
di sela-sela pahanya memancarkan sinar. Rakyat tunduk kepada bekas preman
yang bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabumi itu. Tetapi kekerasan yang
dikerjakan Ken Arok merupakan bukti dari kekerasan selanjutnya. Dendam demi
dendam sambung-menyambung. Korban demi korban pun berjatuhan.
Hal ini setutur dengan pernyataan budayawan Sindhunata
(2008) bahwa mitos Kebo Ijo dapat berulang dalam sejarah manakala ada orang
yang bernafsu merebut kekuasaan dengan kekerasan dan sikap pengecut. Bila
kita membaca mentalitas kekuasaan Jawa, mitos lawas ini memang selalu
mengandung kebenaran. Sejak zaman raja-raja dahulu, kekuasaan hampir selalu
direbut dan dimiliki bukan secara alami dan manusiawi, melainkan dengan
kekuasaan, senjata, darah, dan pengkhianatan (sifat pengecut). Lalu,
lahirlah dendam yang akan memakan korban lagi.
Setelah lengser dari jabatan kemarin, Anas
Urbaningrum bermuka tenang mengatakan bakal membuka halaman pertama yang
diduga berkaitan dengan misteri besar di republik ini. Publik riuh menerka,
apakah misteri itu ialah kasus Bank Century, aliran dana kasus Hambalang,
atau cuma gertak sambal. Kalau halaman berikutnya benar-benar ditulis Anas
dan menyeret tokoh penting, kita berharap bahwa tindakan Anas bukan
dilandasi rasa dendam seperti dalam mitos Kebo Ijo, melainkan sikap
kooperatif mendukung KPK mengusut dan memerangi korupsi di negeri ini.
Sebab, bila dilumuri dendam, tidak tertutup kemungkinan tumbuh dendam baru
dengan istilah titenono. Ternyata
perpolitikan di Indonesia bertabur istilah Jawa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar