Ruang publik yang turut berperan di wilayah politis pertama kali
muncul di Inggris pada awal abad ke-18. Kala itu, kekuatan-kekuatan yang berpotensi memengaruhi kebijakan
publik dan otoritas negara menyerukan kepada publik yang kritis agar
merespons dan melegitimasi tuntutan-tuntutan para aktor demokrasi di
hadapan forum baru ini. Pada masa itu, majelis aristokrasi diubah menjadi
sebuah parlemen modern yang mampu menginisiasi transformasi kultural dan
politis di seluruh Kerajaan Inggris Raya.
Berbeda dengan yang terjadi di Eropa Kontinental, mereka justru
memulai dengan hadirnya ruang publik sastra yang menjadi ruang bagi
tuntutan serupa seperti di Inggris. Namun, pengaruh merkantilisme dalam
perkembangan moda produksi kapitalis, yang di Inggris baru terjadi setelah
revolusi besar, telah mengintimidasi ruang publik itu sehingga
menjauhkannya dari hakikat sebuah ruang publik.
Ruang publik politis negeri ini kini kian hiruk-pikuk oleh berbagai
informasi dan pernyataan elite politik dan para kleptokrat politik yang
justru membawa pada kondisi disinformasi yang meluas dan semiotika semu.
Pertarungan antara energi politik (politisasi), hukum (law enforcement dan
criminal justice system), dan ekonomi (moda produksi, komodisasi, dan
iklan) terjadi secara banal dan brutal di ruang publik. Publik dipaksa
melakukan lompatan kecerdasan untuk mampu memilih dan memilah informasi
serta menyikapinya melalui pertaruhan semiotis, yang tak jarang
mendekonstruksi makna suatu kebenaran hakiki.
Negara kini berada di antara ada dan tiada dalam sebuah ruang publik
di arena pertarungan informasi yang banal untuk mereproduksi simbol dan
membelah makna sebanyak yang diinginkan para aktor yang berkontestasi di
ruang publik politis. Filsuf Hegel mempercayai arti penting negara. Jika
hanya ada masyarakat sipil sebagai suatu ”sistem kebutuhan”,
kekuatan-kekuatan sentrifugal akan menang dan masyarakat akan
terpecah-belah. Pada kondisi inilah seharusnya negara tampil karena hakikat
negara adalah sebuah institusi yang bermotivasi dan memproteksi kepentingan
umum. Dalam hal ini, pandangan Hegel sejalan dengan Thomas Hobbes bahwa
hukum negara harus mampu mengatasi beragam kepentingan dalam kerangka
memberikan kebebasan bagi warga negara.
Hegel juga meyakini, negara melalui hukum mampu mengatasi
kecenderungan-kecenderungan anarkis masyarakat yang hanya dimotivasi
egoisme individu dan fragmentarisasi tuntutan. Dalam pertarungan
kepentingan di ruang publik politis, para penegak hukum berasumsi
menghadirkan ”teori hukum murni”, yang diintroduksi oleh Hegel untuk
mengatasi konspirasi dan politisasi. Membaca semiotika publik dalam
merespons banalitas ruang publik terlihat bahwa masyarakat pun merindukan
hadirnya sebuah ”hukum murni” yang mampu berdiri di atas beragam
kepentingan dan menganalisasi keadilan menjadi sebuah diktum putusan pengadilan.
Kehadiran sistem juri di negara-negara bersistem common law, yang
merupakan hasil pergulatan sejarah hukum yang panjang di negara-negara
tersebut, konon tidak lepas dari kehendak untuk memberi ruang bagi apa yang
oleh FG Forster (1973) disebut sebagai ”roh publik”. Hal itu dapat
menghubungkan perlawanan politis dengan perasaan rakyat. Hukum yang adil
adalah hukum yang sesuai dengan ”roh publik”, baik yang dimanifestasikan
melalui proses legislasi maupun lewat ketukan palu hakim di meja-meja pengadilan.
Banalitas ruang publik di negeri ini, yang kian mempertontonkan
sebuah kompetisi di pasar informasi yang chaotic, sesungguhnya ingin menyampaikan pesan mengenai kian
karut-marutnya sebuah pengelolaan negara yang telah kehilangan roh publik
dan hukum yang kian terintimidasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar