Rabu, 06 Maret 2013

Anas dan Lukisan Kiai Krapyak


Anas dan Lukisan Kiai Krapyak
Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2013


DI media sosial seperti Facebook, santer isu yang menghem buskan ada kepentingan politis perihal pemajangan lukisan KH Ali Maksum di setiap wawancara Anas Urbaning rum (AU) dengan TV nasional. Sang Kiai ialah pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta, dan mantan Rais Am PBNU yang juga tokoh karismatik serta kiai berpengaruh di kalangan nahdiyin. Lukisan itu selalu berada di belakang AU tiap kali ia diwawancarai. Usut punya usut, ternyata AU masih memiliki garis kekeluargaan dengan sang kiai. Istri AU, Athiyyah Laila, ialah cucu KH Ali Maksum, salah satu tokoh karismatik di kalangan nahdiyin.

Banyak pihak menafsirkan Anas ingin menyebarkan pesan bahwa dia memiliki ikatan yang kuat dengan ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU). Dia mencoba ingin membawa gerbong NU selain juga gerbong HMI, dalam perseteruannya dengan para petinggi Partai Demokrat dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pascapenetapan dia sebagai tersangka dan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, karena dianggap `bayi yang tidak diinginkan' pemilik partai berkuasa itu.

Selain pemajangan lukisan, kerap kali ketika diwawancara, AU memakai sarung, tipikal tradisi khas orang-orang santri nahdiyin. Pihak-pihak tertentu yang merasa AU tengah membawa politik simbol NU merasa menyayangkan hal itu karena AU dalam posisi yang kurang pas. Seandainya saja AU tak memiliki latar hukum dan politik yang kini tengah membelitnya, mungkin penggunaan simbolsimbol itu tak jadi soal. Itu bahkan positif untuk membentuk image bahwa dia berangkat dari kalangan pesantren.

Namun berbeda hal ketika persoalan hukum dan poli tik tengah membelitnya, lalu tiba-tiba dia menggunakan simbol-simbol itu untuk tujuan `politis', hal itu sangat j disayangkan. Itu justru akan merusak dan mencoreng simbol yang dibawanya. Terlebih simbol yang dibawanya ialah seorang `alim ulama karismatik' di kalangan nahdiyin, tokoh pendiri pesantren tua, dan yang terpenting sebagai tokoh Islam yang sangat dihormati. Meski sebetulnya sah-sah saja jika AU memang ingin menunjukkan pesan politis, mengingat dia masih memiliki akar kekeluargaan yang kuat, sekali lagi persoalan timing yang tidak pas atau malah menjadi bumerang bagi AU sendiri.

Dalam tradisi kultural politik Jawa, penggunaan simbolsimbol tertentu untuk tujuan politis atau kasta sosial memang bukanlah barang baru, termasuk dalam sejarah politik di Indonesia. Mitos-mitos memang selalu menghantui perjalanan politik bangsa. Padahal, mitos berarti suatu pergerakan dari yang konkret menuju ke yang abstrak. Seperti mengutip Michel Foucault (1987), kemanusiaan ada lah nilai yang abstrak, sedangkan ekonomi, misalnya, adalah realitas dan konkret. Dari sisi itulah kemudian ditemukan sebuah kaidah-kaidah bahwa berpikir berdasar mitos berarti menghindari yang konkret menuju kepada yang abstrak.

Pikiran masyarakat sudah seharusnya mesti jatuh pada suatu yang konkret seperti persoalan ekonomi itu. Politik selama ini memang, di satu sisi, telah membawa mitos-mitos pada masyarakat, misalnya mitos tentang kesejahteraan dan ratu adil. Namun di sisi lain, sudah lama masyarakat menunggu janji-janji kesejahteraan dan keadilan, tapi tak kunjung datang. Dari sisi itulah akhirnya masyarakat menjadi skeptis terhadap politik. Sisi itu sebenarnya sudah meruntuhkan sedikit tentang mitos atau penggunaan simbol dalam politik.

Hans Antlov (1999) menyebutkan politik Jawa sengaja diciptakan kaum elite tertentu dalam kultur masyarakat, padahal realitasnya tidak demikian. Mitos politik Jawa sudah sedemikian lama menggelayuti tubuh bangsa ini. Bisa kita lihat, misalnya, mulai Joko Tingkir dalam kisah politik Majapahit yang mitosnya bisa mengalahkan buaya, jas merah Soekarno yang menyimbolkan jangan sekali-kali melupakan sejarah, pusaka-pusaka HM Soeharto seperti keris yang dikeramatkan, hingga `mitos' waliullah yang dinisbatkan pada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Itu semua merupakan mitos dan pembangunan simbol politik yang sengaja `diciptakan' kaum elite. Tujuannya untuk membangun basis politik dalam masyarakat.

Dalam kajian politik, AU sebenarnya tengah mempraktikkan politik nonverbal atau politik dalam pengertiannya yang wajar disebut politik non-mainstream. Sama halnya seperti politik inisialisme yang kerap dibawa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misal nya. Praktik politik itu juga dikenal tidak bermain lewat jalur politik resmi, juga kurang dikenal dalam nomenklatur buku-buku politik lazimnya. 
Mereka yang menggunakan jalur politik itu biasanya orang-orang tertentu yang memiliki ekspektasi dan kewibawaan serta karisma tinggi. Bagi mereka yang tidak dalam kategori itu, bisa-bisa politik demikian yang dilakukannya bersifat superfisial bahkan dapat menyerang balik.

Pola politik nonverbal, seperti dilakukan Gus Dur dahulu, dikenal sebagai `jurus mabuk'. Dalam memoar Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, seperti diakui penulisnya, Greg Barton (2003), ketika Gus Dur melakukan politik nonverbal, dia bukan tengah berbohong atau bukan isapan jempol belaka. Gus Dur tahu persis siapa inisial yang dia sebutkan, misalnya saat dia menyebut inisial AS dengan menisbahkannya pada Adi Sasono dan lain sebagainya. Gus Dur pun tahu persis bahwa apa yang dia lakukan dapat dipertanggungjawabkan karena memiliki bukti hukum yang cukup.

Ceritanya, ketika itu hubungan Gus Dur dengan elite-elite Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) memang tidak harmonis, termasuk de ngan AS. Namun, apa yang dilakukan orang-orang ICMI atau pihak-pihak lain, misalnya kasus Gus Dur dengan LSM Humanika di 1997, membawanya dan menyelesaikannya lewat jalur hukum sehingga persoalan yang ada menjadi jelas dan terang benderang. Itu nyaris tak menyisakan tanda tanya dalam ranah publik.

Dalam kasus AU, pertanyaannya, bisakah ketika memang berkeinginan melakukan politik simbolis yang nonverbal itu, dia dapat mempertanggungjawabkan baik secara politik maupun hukum? Sebab, ketika Gus Dur melakukan politik nonverbal, dia bisa mempertanggungjawabkannya baik secara politik maupun hukum.

Ada kekhawatiran banyak pihak bahwa AU melakukan langkah kuda-kuda sekarang ini, mengingat AU sepertinya memang hendak `membawa' gerbong NU seperti juga kepentingan membawa gerbong HMI untuk melakukan perlawanan politik kepada rezim politik SBY secara langsung. Juga, melakukan upaya-upaya delegitimasi secara masif baik terhadap Partai Demokrat maupun KPK. Namun percayalah, politik akan ditopang dengan sendisendi fundamental, seperti nilai-nilai luhur dan adiluhung yang ada di dalamnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar