DI media sosial seperti
Facebook, santer isu yang menghem buskan ada kepentingan politis perihal
pemajangan lukisan KH Ali Maksum di setiap wawancara Anas Urbaning rum (AU)
dengan TV nasional. Sang Kiai ialah pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta,
dan mantan Rais Am PBNU yang juga tokoh karismatik serta kiai berpengaruh
di kalangan nahdiyin. Lukisan itu selalu berada di belakang AU tiap kali ia
diwawancarai. Usut punya usut, ternyata AU masih memiliki garis
kekeluargaan dengan sang kiai. Istri AU, Athiyyah Laila, ialah cucu KH Ali
Maksum, salah satu tokoh karismatik di kalangan nahdiyin.
Banyak pihak menafsirkan Anas ingin
menyebarkan pesan bahwa dia memiliki ikatan yang kuat dengan ormas Islam
terbesar, Nahdlatul Ulama (NU). Dia mencoba ingin membawa gerbong NU selain
juga gerbong HMI, dalam perseteruannya dengan para petinggi Partai Demokrat
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pascapenetapan dia sebagai
tersangka dan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat,
karena dianggap `bayi yang tidak diinginkan' pemilik partai berkuasa itu.
Selain pemajangan lukisan, kerap kali
ketika diwawancara, AU memakai sarung, tipikal tradisi khas orang-orang
santri nahdiyin. Pihak-pihak tertentu yang merasa AU tengah membawa politik
simbol NU merasa menyayangkan hal itu karena AU dalam posisi yang kurang
pas. Seandainya saja AU tak memiliki latar hukum dan politik yang kini
tengah membelitnya, mungkin penggunaan simbolsimbol itu tak jadi soal. Itu
bahkan positif untuk membentuk image bahwa dia berangkat dari kalangan
pesantren.
Namun berbeda hal ketika persoalan hukum
dan poli tik tengah membelitnya, lalu tiba-tiba dia menggunakan
simbol-simbol itu untuk tujuan `politis', hal itu sangat j disayangkan. Itu
justru akan merusak dan mencoreng simbol yang dibawanya. Terlebih simbol
yang dibawanya ialah seorang `alim ulama karismatik' di kalangan nahdiyin,
tokoh pendiri pesantren tua, dan yang terpenting sebagai tokoh Islam yang
sangat dihormati. Meski sebetulnya sah-sah saja jika AU memang ingin menunjukkan
pesan politis, mengingat dia masih memiliki akar kekeluargaan yang kuat,
sekali lagi persoalan timing yang tidak pas atau malah menjadi bumerang
bagi AU sendiri.
Dalam tradisi kultural politik Jawa,
penggunaan simbolsimbol tertentu untuk tujuan politis atau kasta sosial
memang bukanlah barang baru, termasuk dalam sejarah politik di Indonesia.
Mitos-mitos memang selalu menghantui perjalanan politik bangsa. Padahal,
mitos berarti suatu pergerakan dari yang konkret menuju ke yang abstrak. Seperti
mengutip Michel Foucault (1987), kemanusiaan ada lah nilai yang abstrak,
sedangkan ekonomi, misalnya, adalah realitas dan konkret. Dari sisi itulah
kemudian ditemukan sebuah kaidah-kaidah bahwa berpikir berdasar mitos
berarti menghindari yang konkret menuju kepada yang abstrak.
Pikiran masyarakat sudah seharusnya mesti
jatuh pada suatu yang konkret seperti persoalan ekonomi itu. Politik selama
ini memang, di satu sisi, telah membawa mitos-mitos pada masyarakat,
misalnya mitos tentang kesejahteraan dan ratu adil. Namun di sisi lain,
sudah lama masyarakat menunggu janji-janji kesejahteraan dan keadilan, tapi
tak kunjung datang. Dari sisi itulah akhirnya masyarakat menjadi skeptis
terhadap politik. Sisi itu sebenarnya sudah meruntuhkan sedikit tentang
mitos atau penggunaan simbol dalam politik.
Hans Antlov (1999) menyebutkan politik Jawa
sengaja diciptakan kaum elite tertentu dalam kultur masyarakat, padahal
realitasnya tidak demikian. Mitos politik Jawa sudah sedemikian lama
menggelayuti tubuh bangsa ini. Bisa kita lihat, misalnya, mulai Joko
Tingkir dalam kisah politik Majapahit yang mitosnya bisa mengalahkan buaya,
jas merah Soekarno yang menyimbolkan jangan sekali-kali melupakan sejarah,
pusaka-pusaka HM Soeharto seperti keris yang dikeramatkan, hingga `mitos'
waliullah yang dinisbatkan pada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Itu semua
merupakan mitos dan pembangunan simbol politik yang sengaja `diciptakan'
kaum elite. Tujuannya untuk membangun basis politik dalam masyarakat.
Dalam kajian politik, AU sebenarnya tengah mempraktikkan
politik nonverbal atau politik dalam pengertiannya yang wajar disebut
politik non-mainstream. Sama halnya seperti politik inisialisme yang kerap
dibawa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misal nya. Praktik politik itu juga
dikenal tidak bermain lewat jalur politik resmi, juga kurang dikenal dalam
nomenklatur buku-buku politik lazimnya.
Mereka yang menggunakan jalur
politik itu biasanya orang-orang tertentu yang memiliki ekspektasi dan
kewibawaan serta karisma tinggi. Bagi mereka yang tidak dalam kategori itu,
bisa-bisa politik demikian yang dilakukannya bersifat superfisial bahkan
dapat menyerang balik.
Pola politik nonverbal, seperti dilakukan
Gus Dur dahulu, dikenal sebagai `jurus mabuk'. Dalam memoar Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman
Wahid, seperti diakui penulisnya, Greg Barton (2003), ketika Gus Dur
melakukan politik nonverbal, dia bukan tengah berbohong atau bukan isapan
jempol belaka. Gus Dur tahu persis siapa inisial yang dia sebutkan,
misalnya saat dia menyebut inisial AS dengan menisbahkannya pada Adi Sasono
dan lain sebagainya. Gus Dur pun tahu persis bahwa apa yang dia lakukan
dapat dipertanggungjawabkan karena memiliki bukti hukum yang cukup.
Ceritanya, ketika itu hubungan Gus Dur
dengan elite-elite Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) memang tidak
harmonis, termasuk de ngan AS. Namun, apa yang dilakukan orang-orang ICMI
atau pihak-pihak lain, misalnya kasus Gus Dur dengan LSM Humanika di 1997,
membawanya dan menyelesaikannya lewat jalur hukum sehingga persoalan yang ada
menjadi jelas dan terang benderang. Itu nyaris tak menyisakan tanda tanya
dalam ranah publik.
Dalam kasus AU, pertanyaannya, bisakah
ketika memang berkeinginan melakukan politik simbolis yang nonverbal itu,
dia dapat mempertanggungjawabkan baik secara politik maupun hukum? Sebab,
ketika Gus Dur melakukan politik nonverbal, dia bisa
mempertanggungjawabkannya baik secara politik maupun hukum.
Ada kekhawatiran banyak pihak bahwa AU
melakukan langkah kuda-kuda sekarang ini, mengingat AU sepertinya memang hendak
`membawa' gerbong NU seperti juga kepentingan membawa gerbong HMI untuk
melakukan perlawanan politik kepada rezim politik SBY secara langsung.
Juga, melakukan upaya-upaya delegitimasi secara masif baik terhadap Partai
Demokrat maupun KPK. Namun percayalah, politik akan ditopang dengan
sendisendi fundamental, seperti nilai-nilai luhur dan adiluhung yang ada di dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar