Beberapa tahun terakhir
profesi dokter banyak mendapat sorotan, baik dari masyarakat, politisi di
Senayan dan komponen masyarakat lain.
Sorotan yang barubaru ini juga disampaikan oleh Ketua Komisi IX DPR, Ribka
Tjiptaning, dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Rakyat Miskin Sakit, Siapa Bertanggung
Jawab?” di press room DPR, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Kamis (7/3). Ribka mengatakan dalam banyak hal dan
kesempatan dokter itu lebih jahat dibanding polisi lalu lintas.
Tentu pernyataan ini menimbulkan banyak interpretasi, baik itu
ketersinggungan beberapa profesi yang tersebut— seperti halnya tidak semua
polisi jahat, maka dokter juga demikian. Semua profesi di masyarakat
mempunyai nilai-nilai luhur di bidangnya masing-masing, sehingga kesalahan satu
orang tentunya tidak bisa digeneralisasi menjadi “stigma” profesi. Seperti
halnya tudingan yang menyatakan ada politikus nakal, tentunya masih banyak
juga politisi yang masih punya idealisme membawa aspirasi rakyat.
Jika semua profesi digeneralisasi seperti itu tentu akan semakin membuat
ketidakpercayaan masyarakat yang akan memberikan implikasi pada pola
perilaku individualisme dan apatisme masyarakat. Terlepas dari itu semua,
pernyataan ini, yang notabene disampaikan oleh politisi yang juga berprofesi
sebagai dokter, bisa menjadi momentum bagi dokter untuk melakukan
introspeksi diri.
Dokter harus berkaca pada diri masingmasing dan bertanya pada diri tentang
hal apa yang telah disumbangkan kepada bangsa. Apa saja bentuk pengabdian
yang telah kita lakukan terhadap masyarakat Indonesia? Profesi kedokteran
adalah profesi yang “padat harapan”. Dapat dikatakan bahwa pasien dan
keluarganya bahkan masyarakat di sekitarnya menyerahkan sepenuhnya harapan
akan upaya kedokteran atas gangguan yang dideritanya.
Harapan besar yang kadang bahkan diikuti oleh ketidaktahuan (ignorance) pasien. Tuntutan bahwa
suatu penyakit harus disembuhkan (resultante
verbentenis) sering menjadi ukuran keberhasilan dokter untuk memenuhi
harapan tersebut. Padahal, sejatinya ukuran keberhasilan pekerjaan profesi
kedokteran terletak pada sejauh mana upaya kedokteran tersebut dilakukan (inspanning verbentenis).
Karena itu, perlu ada upaya untuk mengelaborasi lebih dalam dan menempatkan
profesi dokter yang “padat harapan“ tersebut di tengah kondisi
ketidaktahuan pasien, menjadi profesi yang dapat dinilai seutuhnya.
Lalu bagaimana dengan
pernyataan bahwa dokter itu lebih “jahat” daripada polisi lalu lintas?
Seperti sudah dijelaskan di atas, kita harus memilah antara beberapa dokter
yang mungkin saja berprilaku tidak sesuai dengan amanat profesinya, namun
akan sangat merugikan bagi dokter-dokter lain yang bersungguh-sungguh
menjunjung tinggi etika profesi dokter ketika perilaku beberapa dokter
tersebut akhirnya digeneralisasi sebagai perilaku seluruh dokter.
Dalam menganalisis keberadaan oknum dokter yang banyak dikritik tersebut,
kita harus melihatnya secara holistis, dari pertanyaan apakah perilaku
menyimpang yang terjadi, bagaimana penekanan mengenai etika dan moral dalam
sistem pendidikan dokter, apakah sistem pelayanan kesehatan yang masih
banyak menimbulkan “celah”, ataukah penerapan disiplin dan etika dari
organisasi profesi terhadap anggotanya yang kurang dilakukan?
Output dari sistem praktik kedokteran yang baik adalah dokter yang dapat
melayani masyarakat (melakukan pelayanan keprofesiannya) secara bermutu.
Apabila pelayanan dapat dilakukan secara bermutu akan berdampak terhadap
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk menciptakan
output dan suasana yang kondusif bagi dokter untuk menjalankan profesinya,
maka berbagai input yang berpengaruh terhadapnya harus selalu disesuaikan.
Input tersebut meliputi mekanisme pembiayaan dalam praktik kedokteran,
standar-standar atau pedoman-pedoman yang harus diikuti dalam menjalankan
praktik, manajemen atau model-model praktik kedokteran yang menjalin
profesionalisme dan otonomi profesi. Pelayanan kedokteran yang bermutu
harus mencerminkan semangat keadilan bagi para dokter. Sistem praktik
kedokteran yang baik hanya terjadi apabila sistem pembiayaannya baik.
Sistem pembiayaan dan praktik kedokteran yang baik akan berlangsung apabila
ada keseimbangan dalam kendali mutu dan kendali biaya. Kendali mutu dan
biaya inilah yang harus menjadi otonomi profesi. Apabila sistem-sistem
tersebut dapat ditata maka posisi strategis dokter dalam sistem pelayanan
kesehatan di Indonesia akan semakin optimal.
Sistem praktik kedokteran yang ditunjang oleh sistem pembiayaan yang baik
akan menjamin terciptanya kesejahteraan bagi semua dokter pada setiap level
praktiknya, baik pada level layanan primer (dokter praktik umum), level
layanan sekunder (dokter spesialis), maupun layanan tersier (dokter
subspesialis). Dalam pelaksanaannya juga harus diikuti pula dengan
“mekanisme rujukan yang terpadu dan baik” menuju terciptanya Sistem
Pelayanan Kesehatan Terpadu ( SPKT).
Saat ini dokter—yang memiliki segala kewajiban yang
terteradidalamundang-undang, yang merupakan amanah dari undang-undang
dasar—selalu dituntut untuk memenuhi segala kewajibannya. Namun hak dokter
sebagai seorang profesional yang berbakti kepada negaranya, dan sebagai
warga negara sama seperti warga negara yang lain, kurang mendapat perhatian
dari aspek jaminan kesejahteraan.
*** Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi dokter seluruh
Indonesia memiliki kewajiban menjaga mutu pelayanan dokter Indonesia yang
menjadi anggotanya agar tetap memberikan pelayanan dengan standar pelayanan
tertinggi. Standar pelayanan tertinggi yang dimaksud adalah mengedepankan
standar kompetensi yang tetap terjaga dan terus ditingkatkan seiring
perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran.
Standar pelayanan tertinggi juga disesuaikan dengan kondisi serta situasi
dari tempatnya bertugas. Dengan standar pelayanan tertinggi yang ditunjang
dengan integrasi dan sinergi dengan keilmuan dan kompetensi serta etika
profesi luhur diharapkan seluruh permasalahan kesehatan yang menuntut peran
dokter Indonesia dapat diatasi dengan baik.
Dalam menjaga keluhuran profesi dokter ini seluruh komponen IDI harus dapat
menjaga etika profesi yang baik, meningkatkan derajat keilmuwan para
anggotanya, dan meningkatkan martabat dan kesejahteraan anggotanya. Ketiga
komponen tersebut harus sama-sama diprioritaskan agar keluhuran profesi
tidak hanya menjadi predikat bagi dokter yang sudah ketinggalan jaman,
namun tetap melekat kepada jati diri dokter selamanya.
Profesi dokter saat ini benarbenar mendapat ujian, hinaan, kritikan, bahkan
cemoohan. Profesi dokter merupakan profesi yang mulia dengan amanat profesi
yang luhur seperti yang sudah dijelaskan di atas. Kritikan, hinaan, bahkan
cemoohan itu tidak akan mengurangi semangat para dokter Indonesia untuk
semakin berjuang keras membela masyarakat dengan pengabdiannya di bidang
kesehatan.
Dokter tidak perlu mencari popularitas, tidak perlu konstituen dan
berkepentingan politis dengan pernyataan-pernyataan populis. Dokter tetap
akan mengabdikan diri untuk bersama-sama profesi lain untuk menyehatkan dan
menyejahterakan masyarakat Indonesia. Rakyat sehat akan mewujudkan
kesejahteraan, kesejahteraan akan menciptakan bangsa dan negara yang
bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar