Belum genap tiga bulan tahun
2013 berjalan, kekhawatiran membengkaknya dana subsidi BBM sudah
mengkhawatirkan banyak pihak. Dalam 10 tahun terakhir bangsa ini telah
menghabiskan hampir Rp2.000 triliun untuk subsidi BBM.
Apa hasilnya? Tidak kelihatan. Uang itu telah menguap, antara lain dengan
timbulnya kemacetan di berbagai kota, yang menimbulkan banyak kerugian
lain. Sebaliknya, negeri ini tidak mendanai secara dengan cukup layanan
wajib seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Apakah bangsa ini
begitu bodoh?
Tampaknya ketakutan politik yang berlebihan menyebabkan pemerintah terus
merogoh dana rakyat untuk kepentingan politik partai-partai pemenang.
Berbagai institusi akademik, tokoh nasional, dan tidak kurang Bank
Pembangunan Asia telah mengingatkan bahwa subsidi BBM telah menyebabkan
kapasitas fiskal untuk pembangunan infrastruktur dan investasi penduduk
menjadi sangat minim. Padahal, jika saja dana subsidi BBM digunakan untuk
membangun jalan bebas hambatan dan rel kereta api, maka Aceh-Bali sudah
tersambung. Jalan ini akan membuka pertumbuhan ekonomi dan tetap dapat
digunakan 100 tahun ke depan.
Boros dan Tidak
Mengena Sasaran
Subsidi BBM hanya dinikmati sekitar 30-40 juta penduduk terkaya yang
memiliki kendaraan bermotor dan pengusaha yang memiliki banyak kendaraan
operasional. Artinya, setiap orang kaya tersebut mendapat Rp7,5-10 juta per
tahun. Bandingkan dengan belanja Jamkesmas untuk 86,4 juta penduduk
termiskin yang hanya sekitar Rp8 triliun, hanya sekitar Rp100.000 per orang
per tahun.
Sebuah rumah tangga paling miskin yang menerima dana Program Keluarga
Harapan hanya menikmati paling banyak Rp2,4 juta per tahun. Itu pun dengan
berbagai kewajiban yang harus dipenuhi. Sebaliknya, sebuah rumah tangga di
kota besar yang memiliki tiga mobil dapat menerima Rp30-50 juta subsidi BBM
per tahun.
Dengan harga pasar bensin premium dan solar sekitar Rp9.000 per liter,
sebuah perusahaan taksi yang memiliki 10.000 armada dengan konsumsi premium
20 liter per hari dapat menikmati subsidi BBM Rp1 miliar per hari. Adilkah?
Di Thailand rata-rata harga bensin dan solar di atas Rp10.000 per liter. Di
sana, tidak ada subsidi pemerintah untuk BBM. Rakyat tidak protes karena
Pemerintah Thailand membayari iuran asuransi kesehatan bagi semua pekerja
informal.
Ekonomi Thailand tumbuh baik. Produkproduk pertanian Thailand membanjiri
pasar dunia, termasuk Indonesia. Sebaliknya, Indonesia yang memiliki tanah
lebih subur, lebih luas, dan lebih banyak penduduknya tidak mampu menjual
produk pertaniannya ke negara lain. Kita malah mengimpor banyak produk
pertanian. Mengapa? Sebab, petani yang di negara lain banyak disubsidi, di
Indonesia dibiarkan bersaing di pasar.
Jika saja subsidi BBM diganti dengan subsidi beras, petani padi dapat lebih
produktif dan tidak ada rakyat yang kelaparan. Jika saja para petani atau
koperasi petani diberi pinjaman tanpa bunga untuk membeli traktor, bibit
unggul dan kebutuhan modal lain, maka Indonesia harusnya telah menjadi
eksportir bahan makan.
Di negara maju, angkutan publik mendapat subsidi besar. Di Beijing, kita
dapat naik kereta bawah tanah dengan harga sangat murah, sekitar Rp3.000
dan jadwal yang menyenangkan. Di Jakarta, pembangunan angkutan massal (mass rapid transport/MRT) yang hanya
memerlukan dana Rp15 triliun, terus tertunda-tunda. Pemerintah
menghitung-hitung return on
investment.
Aneh, sebab MRT adalah sistem transportasi publik yang bisa bertahan
ratusan tahun. Imbal hasil utama (return)
bukan pada kembalinya uang, tetapi pada kenyamanan dan ketepatan waktu
publik pergi bekerja, sekolah, dan udara yang bersih dari polusi. Commuter line di Jabodetabek padat
dan sumpek karena kekurangan gerbong. Angkutan kereta api yang di negara
lain disubsidi besar, malah dituntut untuk didanai penuh dari karcis yang
dijual.
Sementara angkutan pribadi yang di negara lain tidak disubsidi, di
Indonesia mendapat subsidi besar. Maka, jalan di semua kota besar selalu
macet, menimbulkan kerugian waktu dan polusi. Rakyat pun mudah sakit.
Kemudian RS pemerintah menargetkan penerimaan rumah sakit dari rakyat yang
telah dibuat sakit kebijakan pemerintah. Ini keanehan di dunia.
Pemikiran Linier
Dalam wawancara di radio Elshinta akhir tahun lalu, Presiden SBY menyatakan
bahwa subsidi BBM masih diperlukan. “Jika
subsidi dicabut, harga-harga akan naik dan hal itu membebani rakyat,”
begitu argumennya. Pemikiran linier seperti ini sangat dangkal. Seolah
beban rakyat hanya untuk transportasi. Ya, memang jika harga BBM naik, maka
beban biaya transportasi naik.
Namun beban biaya hidup dapat dikurangi dengan menghilangkan belanja
kesehatan, pendidikan, transportasi (dengan transportasi publik yang
nyaman) dan harga beras yang murah. Banyak negara maju di dunia menyubsidi
petani, agar harga bahan pokok murah. Petani menerima harga gabah dua kali
dari harga sekarang. Rakyat bukan petani membeli beras dengan harga separuh
dari harga sekarang.
Seluruh rakyat butuh beras tiap hari. Subsidi beras (bukan hanya raskin
alias beras untuk rakyat miskin) jauh lebih tepat. Kurangi beban
transportasi rakyat di kota dengan angkutan publik dan naikkan pendapatan
petani di pedesaan dengan subsidi harga gabah. Mengapa harus subsidi BBM?
Tampaknya, para pengambil keputusan, termasuk pejabat politisi
partai-partai oposisi tidak realistis.
Mengapa? Kemungkinan pertama, mereka memang bodoh dan lemah. Mereka tidak
mampu berpikir jernih dan tidak punya “nyali” untuk bertindak yang benar.
Tampaknya hal itu hampir tidak mungkin. Kedua, mereka terjebak pada
kebijakan populis untuk mempertahankan kedudukan. Tampaknya hal ini lebih
mungkin. Tetapi, apakah hal itu bukan sebuah tindakan pembenaran korupsi
tidak langsung? Menggunakan dana publik yang begitu besar, untuk
kepentingan politik pencitraan? Mengapa sebagian besar rakyat berdiam diri?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar