Kamis, 21 Maret 2013

Bangsa Boros


Bangsa Boros
Hasbullah Thabrany  ;  Guru Besar Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 21 Maret 2013


Belum genap tiga bulan tahun 2013 berjalan, kekhawatiran membengkaknya dana subsidi BBM sudah mengkhawatirkan banyak pihak. Dalam 10 tahun terakhir bangsa ini telah menghabiskan hampir Rp2.000 triliun untuk subsidi BBM. 

Apa hasilnya? Tidak kelihatan. Uang itu telah menguap, antara lain dengan timbulnya kemacetan di berbagai kota, yang menimbulkan banyak kerugian lain. Sebaliknya, negeri ini tidak mendanai secara dengan cukup layanan wajib seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Apakah bangsa ini begitu bodoh? 

Tampaknya ketakutan politik yang berlebihan menyebabkan pemerintah terus merogoh dana rakyat untuk kepentingan politik partai-partai pemenang. Berbagai institusi akademik, tokoh nasional, dan tidak kurang Bank Pembangunan Asia telah mengingatkan bahwa subsidi BBM telah menyebabkan kapasitas fiskal untuk pembangunan infrastruktur dan investasi penduduk menjadi sangat minim. Padahal, jika saja dana subsidi BBM digunakan untuk membangun jalan bebas hambatan dan rel kereta api, maka Aceh-Bali sudah tersambung. Jalan ini akan membuka pertumbuhan ekonomi dan tetap dapat digunakan 100 tahun ke depan. 

Boros dan Tidak Mengena Sasaran 

Subsidi BBM hanya dinikmati sekitar 30-40 juta penduduk terkaya yang memiliki kendaraan bermotor dan pengusaha yang memiliki banyak kendaraan operasional. Artinya, setiap orang kaya tersebut mendapat Rp7,5-10 juta per tahun. Bandingkan dengan belanja Jamkesmas untuk 86,4 juta penduduk termiskin yang hanya sekitar Rp8 triliun, hanya sekitar Rp100.000 per orang per tahun. 

Sebuah rumah tangga paling miskin yang menerima dana Program Keluarga Harapan hanya menikmati paling banyak Rp2,4 juta per tahun. Itu pun dengan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi. Sebaliknya, sebuah rumah tangga di kota besar yang memiliki tiga mobil dapat menerima Rp30-50 juta subsidi BBM per tahun. 

Dengan harga pasar bensin premium dan solar sekitar Rp9.000 per liter, sebuah perusahaan taksi yang memiliki 10.000 armada dengan konsumsi premium 20 liter per hari dapat menikmati subsidi BBM Rp1 miliar per hari. Adilkah? Di Thailand rata-rata harga bensin dan solar di atas Rp10.000 per liter. Di sana, tidak ada subsidi pemerintah untuk BBM. Rakyat tidak protes karena Pemerintah Thailand membayari iuran asuransi kesehatan bagi semua pekerja informal. 

Ekonomi Thailand tumbuh baik. Produkproduk pertanian Thailand membanjiri pasar dunia, termasuk Indonesia. Sebaliknya, Indonesia yang memiliki tanah lebih subur, lebih luas, dan lebih banyak penduduknya tidak mampu menjual produk pertaniannya ke negara lain. Kita malah mengimpor banyak produk pertanian. Mengapa? Sebab, petani yang di negara lain banyak disubsidi, di Indonesia dibiarkan bersaing di pasar. 

Jika saja subsidi BBM diganti dengan subsidi beras, petani padi dapat lebih produktif dan tidak ada rakyat yang kelaparan. Jika saja para petani atau koperasi petani diberi pinjaman tanpa bunga untuk membeli traktor, bibit unggul dan kebutuhan modal lain, maka Indonesia harusnya telah menjadi eksportir bahan makan. 

Di negara maju, angkutan publik mendapat subsidi besar. Di Beijing, kita dapat naik kereta bawah tanah dengan harga sangat murah, sekitar Rp3.000 dan jadwal yang menyenangkan. Di Jakarta, pembangunan angkutan massal (mass rapid transport/MRT) yang hanya memerlukan dana Rp15 triliun, terus tertunda-tunda. Pemerintah menghitung-hitung return on investment. 

Aneh, sebab MRT adalah sistem transportasi publik yang bisa bertahan ratusan tahun. Imbal hasil utama (return) bukan pada kembalinya uang, tetapi pada kenyamanan dan ketepatan waktu publik pergi bekerja, sekolah, dan udara yang bersih dari polusi. Commuter line di Jabodetabek padat dan sumpek karena kekurangan gerbong. Angkutan kereta api yang di negara lain disubsidi besar, malah dituntut untuk didanai penuh dari karcis yang dijual. 

Sementara angkutan pribadi yang di negara lain tidak disubsidi, di Indonesia mendapat subsidi besar. Maka, jalan di semua kota besar selalu macet, menimbulkan kerugian waktu dan polusi. Rakyat pun mudah sakit. Kemudian RS pemerintah menargetkan penerimaan rumah sakit dari rakyat yang telah dibuat sakit kebijakan pemerintah. Ini keanehan di dunia. 

Pemikiran Linier 

Dalam wawancara di radio Elshinta akhir tahun lalu, Presiden SBY menyatakan bahwa subsidi BBM masih diperlukan. “Jika subsidi dicabut, harga-harga akan naik dan hal itu membebani rakyat,” begitu argumennya. Pemikiran linier seperti ini sangat dangkal. Seolah beban rakyat hanya untuk transportasi. Ya, memang jika harga BBM naik, maka beban biaya transportasi naik. 

Namun beban biaya hidup dapat dikurangi dengan menghilangkan belanja kesehatan, pendidikan, transportasi (dengan transportasi publik yang nyaman) dan harga beras yang murah. Banyak negara maju di dunia menyubsidi petani, agar harga bahan pokok murah. Petani menerima harga gabah dua kali dari harga sekarang. Rakyat bukan petani membeli beras dengan harga separuh dari harga sekarang. 

Seluruh rakyat butuh beras tiap hari. Subsidi beras (bukan hanya raskin alias beras untuk rakyat miskin) jauh lebih tepat. Kurangi beban transportasi rakyat di kota dengan angkutan publik dan naikkan pendapatan petani di pedesaan dengan subsidi harga gabah. Mengapa harus subsidi BBM? Tampaknya, para pengambil keputusan, termasuk pejabat politisi partai-partai oposisi tidak realistis. 

Mengapa? Kemungkinan pertama, mereka memang bodoh dan lemah. Mereka tidak mampu berpikir jernih dan tidak punya “nyali” untuk bertindak yang benar. Tampaknya hal itu hampir tidak mungkin. Kedua, mereka terjebak pada kebijakan populis untuk mempertahankan kedudukan. Tampaknya hal ini lebih mungkin. Tetapi, apakah hal itu bukan sebuah tindakan pembenaran korupsi tidak langsung? Menggunakan dana publik yang begitu besar, untuk kepentingan politik pencitraan? Mengapa sebagian besar rakyat berdiam diri? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar