Jumat, 03 April 2015

Mendorong BBM Alternatif Nelayan Masa Depan

Mendorong BBM Alternatif Nelayan Masa Depan

Andi Perdana Gumilang  ;  Peneliti pada Pascasarjana
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
MEDIA INDONESIA, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                            

KEBIJAKAN pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar pada Sabtu (28/3) sebesar Rp 500 per liter, tentu akan berdampak terhadap kehidupan ekonomi nelayan tradisional di samping masyarakat secara keseluruhan. Sebagaimana diberitakan berdasarkan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2015, pemerintah telah menetapkan harga baru BBM di Jawa-Madura-Bali untuk bensin premium naik dari Rp6.900/ liter menjadi Rp7.400/liter, sedangkan di luar Jawa-MaduraBali untuk bensin premium naik dari Rp6.800/liter menjadi Rp7.300/liter. Adapun minyak solar di seluruh Indonesia harganya sama, naik menjadi Rp6.900/liter.

Secara umum untuk biaya BBM jenis solar, nelayan mengambil lebih dari 60% total biaya operasional untuk sekali melaut. Dampak dari naiknya harga BBM solar membuat para nelayan tradisional umumnya lebih memilih tidak melaut karena biaya operasional untuk melaut tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang didapat.

Di sisi lain, Indonesia saat ini sedang mengalami fase krisis energi. Cadangan minyak Indonesia terbukti sebesar 3,7 miliar barel atau sekitar 0,2% dari keseluruhan pasokan sedunia. Pada 2014, produksi bahan bakar minyak dalam negeri telah mengalami penurunan menjadi 700.000-800.000 barel per hari atau lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun 1970-an, yang ketika itu Indonesia pernah menjadi negara produsen minyak dengan volume produksi 1,7 juta barel per hari. Padahal, kebutuhan minyak dalam negeri kita saat ini terus meningkat, diprediksi sekitar 3 juta barel per hari. Karena itu, tanpa adanya penemuan cadangan minyak baru, cadangan minyak lama diperkirakan akan habis 11 tahun lagi (Subroto, 2015).

Sumber energi kita pun masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil yang tidak bisa diperbaharui. Konsumsi minyak masih sangat mendominasi, yaitu sebesar 42,99% dari konsumsi energi total, diikuti gas 18,48% dan batu bara 34,47%. Adapun penggunaan energi baru dan terbarukan, baru berkisar 4% dari total konsumsi energi (Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, 2012).

Berbicara energi atau BBM alternatif (terbarukan), hal itu telah menjadi topik khusus dalam Asian Development Outlook 2013. Laporan Bank Pembangunan Asia telah mengingatkan bahwa bila negara-negara di Asia tidak mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) dan mengubah pola konsumsinya, impor minyak Asia diperkirakan naik hampir tiga kali lipat pada 2035. Dengan demikian, pemerintah perlu memiliki kebijakan komprehensif untuk sungguh-sungguh dan konsisten mengembangkan sumber energi alternatif, khususnya bagi kapal nelayan.

BBM alternatif nelayan

Sebagai negara maritim, BBM alternatif untuk kapal nelayan perlu didorong dan dikembangkan untuk memberikan kemudahan dan nilai tambah. Anggaran untuk riset penelitian energi terbarukan untuk nelayan perlu ditingkatkan.

Menurut hemat penulis, BBM alternatif masa depan untuk nelayan, di antaranya adalah penggunaan energi biofuel atau bioetanol dari rumput laut dan beberapa jenis mikroalga yang ada di perairan tawar atau laut Indonesia sebagai pengganti bahan bakar solar. Gagasan ini tak mustahil kita capai, mengingat potensi pengembangan bioetanol rumput laut dan mikroalga yang cukup besar.

Potensi lahan budi daya rumput laut sekitar 2,1 juta ha dengan produktivitas rumput laut rata-rata 25 ton/ha/panen (umur panen 2 bulan), maka akan dihasilkan rumput laut 100-125 ton/ha/tahun. Penggunaan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan bioetanol memiliki keuntungan waktu budi dayanya yang relatif singkat dan produktivitasnya tinggi sebagai bahan baku bioetanol (Benny Dyah, 2010).

Di samping itu, data dari Inha University Korea mengungkapkan satu hektar areal rumput laut bisa menghasilkan 58.700 liter biodiesel per tahunnya, dengan asumsi kandungan minyak dalam rumput laut yang dihasilkan berkisar 30%. Di sisi lain, dalam beberapa penelitian, sudah ada 20 jenis rumput laut di Indonesia (Banten dan Bali) yang bisa dikembangkan sebagai biofuel, misalnya pengolahan rumput laut jenis Gelidium sp sebagai penghasil biofuel (bahan bakar nabati). Pemanfaatan Gelidium sp untuk sumber energi dinilai potensial karena rumput laut jenis itu tidak dimanfaatkan untuk bahan makanan. Jenis rumput laut lain, misalnya Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang banyak tumbuh di perairan Indonesia, juga berpeluang untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan bioetanol.

Selain rumput laut, kandungan senyawa hidrokarbon dalam beberapa jenis mikroalga (Fitoplankton) berpotensi diolah menjadi biofuel. Hingga saat ini, terdapat empat spesies mikroalga Indonesia yang potensial sebagai biofuel, antara lain Scenedesmus (22%), Nannochloropsis oculata (24%), Chlorella (20%), dan Dunaliella salina (15%) (Kawaroe, 2010).

Beberapa keunggulan mikroalga, yaitu tidak membutuhkan lingkungan yang luas, mampu tumbuh sepanjang tahun tanpa mengenal musim, 10-100 kali menghasilkan biodiesel dibanding tanaman lain untuk luas yang sama, dan siklus hidup yang lebih singkat. Satu kilogram mikroalga menghasilkan 360 gram minyak mentah. Sekitar 60% dari minyak mentah itu bisa diubah menjadi biofuel. Artinya, 1 kg mikroalga mampu menghasilkan sekitar 240 gram biofuel (BPPT, 2013).

Dengan demikian, Indonesia setidaknya perlu menargetkan mulai 2025 biofuel sudah diproduksi dari budi daya cepat mikroalga yang tumbuh di perairan tawar atau laut, sehingga BBM alternatif nelayan dapat dipenuhi. Di samping itu, ke depan, program pembangunan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) hendaknya mulai menggunakan energi biofuel atau bioetanol di setiap pelabuhan perikanan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini juga untuk mengatasi kelangkaan BBM dan mengurangi impor BBM jenis solar. Pengembangan mesin-mesin kapal nelayan agar membuat hemat BBM juga perlu diadakan.

Akhirnya pemerintah perlu menyiapkan kebijakan, perencanaan yang komprehensif dan terintegrasi untuk secara penuh mewujudkan BBM alternatif bagi nelayan. Mendorong penerapan BBM alternatif bagi nelayan merupakan suatu keniscayaan dalam mengelola perikanan laut masa depan di negeri maritim ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar