Jumat, 03 April 2015

Terjebak Beras Kualitas Rendah

Terjebak Beras Kualitas Rendah

Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
MEDIA INDONESIA, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                            

INSTABILITAS harga beras masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Ketika pasokan berkurang sementara permintaan tetap, harga beras melonjak tinggi seperti yang terjadi awal 2015. Saat ada tekanan di sisi permintaan, seperti menjelang dan saat hari-hari besar keagamaan, harga beras akan melonjak tinggi manakala pasokan tidak memadai. Untuk mengendalikan harga beras, selama ini pemerintah mengandalkan dua langkah, yaitu operasi pasar dan memperbesar penyaluran beras untuk warga miskin (Raskin).

Saat harga beras melonjak tinggi sepanjang Januari-Februari lalu, bahkan di beberapa tempat mencapai 30%, pemerintah memperluas cakupan, meningkatkan volume operasi pasar beras, dan mempercepat penyaluran Raskin. Wakil Presiden Jusuf Kalla memutuskan penggunaan stok beras operasional Bulog untuk keperluan operasi pasar pada 23 Februari 2015 karena cadangan beras pemerintah (CBP) tidak mencukupi. Presiden Jokowi memastikan akan mengguyur beras operasi pasar berapa pun kebutuhan pasar. 

Namun, seperti tahuntahun sebelumnya, harga beras menurun amat lambat.
Ini terjadi karena beras operasi pasar dari CBP dan Raskin tidak langsung dikonsumsi warga, tetapi dioplos dengan beras berkualitas baik. Kualitas beras CBP dan Raskin sama, yakni beras kualitas rendah, kualitas medium. Berbagai studi menemukan kualitas beras Raskin amat rendah, yakni remuk, apak, dan berkutu. Beras CBP juga tidak lebih baik. Karena tersimpan lama, kualitas beras merosot. Inilah alasan pedagang Pasar Induk Beras Cipinang mengoplos beras operasi pasar dengan beras kualitas bagus. Oleh pedagang, beras operasi pasar yang seharusnya dijual Rp7.400/kg dilego di atas Rp8.000/kg setelah dioplos. Ini yang membuat Mendag Rachmat Gobel menuding ada mafia beras.

Dalam beberapa tahun terakhir, Raskin dikucurkan lebih 12 kali dalam setahun. Artinya, dalam bulan-bulan tertentu, terutama saat paceklik (Oktober-Januari), Raskin bisa diberikan lebih sekali sehingga dikenal Raskin ke-13, ke-14, atau ke-15. Namun demikian, efektivitas Raskin (dan operasi pasar) dalam meredam kenaikan harga beras amat rendah. Perlu waktu yang lama untuk menurunkan harga pada saat harga beras melonjak tinggi. Padahal, volume Raskin dikucurkan tiap bulan sebesar 230 ribu ton.

Ini terjadi karena Raskin dan operasi pasar tidak berpengaruh dominan dalam menekan inflasi pangan. Meskipun volume Raskin diperbesar, inflasi tetap tinggi. Misalnya, pada 2014, inflasi ditutup 8,36%. Dari nilai itu, sekitar 2,06% dari kontribusi bahan pangan dan 1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Jadi, secara keseluruhan, pangan memegang peranan 40,31% inflasi nasional.Sumbangan terbesar dari beras.

Dalam setahun, volume Raskin setidaknya mencapai 3 juta ton beras. Ini jumlah yang amat besar jika dibandingkan dengan volume CBP yang hanya 370 ribu ton. Volume Raskin sangat besar tidak hanya berimplikasi terhadap impor beras, tetapi juga Bulog harus melakukan pengadaan gabah atau beras dalam negeri besar-besaran. Padahal, harga beras di pasaran amat tinggi, jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Ujung-ujungnya, kualitas beras CBP dan Raskin jadi taruhan. Inilah salah satu penyebab kualitas CBP dan Raskin amat rendah. 

Situasi ini seperti jebakan, yakni volume Raskin amat besar, anggarannya besar, tapi efektivitasnya dalam mengendalikan harga amat rendah.
Situasi menjebak ini sudah lama berlangsung. Sayangnya, belum ada tanda-tanda untuk memperbaikinya. Ini bisa dilihat dari terbitnya Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Inpres yang terbit 17 Maret lalu itu menggantikan Inpres No 3/2012. Substansi dan isinya tidak berbeda. Inpres merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada menteri terkait (delapan kementerian) dan para gubernur/ bupati/wali kota un tuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan nasional. Di dalamnya, ditetapkan HPP tunggal, yakni harga beras medium, besarnya Rp 7.300/ kg (dari sebelumnya Rp6.600/kg).

Kebijakan perberasan, ter utama kebijakan harga tunggal atau harga beras medium (satu kualitas) tidak mengalami perubahan se jak beleid ini diberlakukan 46 tahun lalu. Pada hal, selama lebih empat dekade, pelbagai aspek perberasan dan lingkungan berubah signifikan. HPP tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim dan kualitas beras tidak sejatinya lagi relevan. Kebijakan itu hanya akan mempersulit pemerintah dalam mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar, yakni saat harga beras naik atau turun tajam.

Kualitas gabah atau beras mengikuti irama panen. Pada saat panen raya (Februari-Mei) gabah atau beras rendah mulai membaik di musim gadu (Juni-September) dan amat baik saat paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah atau beras juga berfluktuasi mengikuti irama panen, yakni harga rendah saat panen raya, naik di musim gadu, dan melambung tinggi saat paceklik. 

Kenyataan di atas menunjukkan kualitas gabah atau beras bervariasi mengikuti irama panen. Berbeda dengan di Inpres, di pasar ada lebih satu kualitas gabah atau beras.

Inpres Perberasan yang hanya mengatur satu kualitas alias kualitas tunggal tidak hanya `melawan' pergerakan harga gabah atau beras musiman (Sawit, 2009), tetapi juga mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras, di kios-kios kelontong, misalnya ada 4-5 jenis beras yang tidak hanya kualitas medium seperti diatur Inpres Perberasan. Di Pasar Induk Beras Cipinang, misalnya ada 17 jenis (kualitas) beras. Jenisjenis beras itu mencerminkan perbedaan kualitas yang harganya juga berbeda-beda.

Agar lepas dari jebakan beras kualitas rendah, ada dua hal yang bisa dilakukan.Pertama, menghentikan program Raskin untuk tujuan stabilisasi harga beras. Raskin harus dikembalikan ke tujuan awal: mengatasi kekurangan gizi makro (energi dan protein) bagi keluarga miskin. Volume Raskin harus diperkecil, maksimal 2 juta ton. Konsekuensinya, program Raskin perlu ditata ulang agar lebih tepat: sasaran, volume, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. 

Kedua, mengubah CBP dari kualitas medium premium. Volumenya juga perlu diperbesar hingga 1,3 juta ton. Dengan perubahan ini, CBP akan efektif untuk stabilisasi harga beras dan untuk memberikan bantuan negara sahabat. Bahkan, jika masih ada kelebihan volume, CBP bisa untuk tujuan ekspor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar