Jumat, 03 April 2015

Jalan Tengah Inpres Perberasan

Jalan Tengah Inpres Perberasan

Sapuan Gafar  ;  Mantan Wakil Kepala Bulog
KOMPAS, 02 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Sebenarnya pasar menduga kenaikan harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen sekitar Rp 1.000 per kilogram, tetapi tampaknya pemerintah hanya "berani" menaikkan dari Rp 3.300 per kg menjadi Rp 3.700 per kg atau naik sekitar 12 persen. Mengapa?

Pertama, pemerintah sadar kebijakan harga beras punya dampak kepada produsen dan konsumen. Di satu sisi akan menentukan kegairahan petani meningkatkan produksi beras, di sisi lain harga yang tinggi dapat membebani konsumen. Namun, pemerintah lupa, harga pasar sekarang sudah tinggi dan mudah-mudahan saja pembentukan harga yang terjadi nanti akan di sekitar harga pembelian pemerintah (HPP) sehingga maksud pemerintah dapat dicapai.

Kedua, pemerintah juga sadar harga beras di dalam negeri sudah dua kali harga beras di Bangkok. Hal ini akan menyulitkan pemerintah menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menghendaki bebasnya lalu lintas barang, jasa, uang, dan tenaga kerja antarnegara ASEAN. Akhirnya, peningkatan produktivitas dan daya saing merupakan kunci keberhasilan program swasembada beras pemerintahan Jokowi.

Ketiga, pemerintah tak mengubah secara fundamental substansi inpres, padahal sebelumnya sudah timbul wacana untuk mengganti beras untuk masyarakat miskin (raskin) dengan e-money. Belajar dari kisruh harga beras akhir Februari lalu, pemerintah tampaknya mengambil jalan tengah dengan tidak mengubah diktum-diktum yang ada dalam Inpres Kebijakan Perberasan. Jalan tengah itu hanya obat sementara, sewaktu-waktu bisa kumat lagi.

Dampak ke swasembada

Dampak kenaikan HPP ini terhadap peningkatan produksi padi "musim ini" mungkin tidak ada karena dikeluarkan pada saat menjelang panen. Sementara dampak terhadap pendapatan petani akan tergantung pada kesigapan Bulog dalam penyerapan gabah/beras bulan-bulan yang akan datang. Mungkin pengalaman pada 2006, 2007, dan 2012 yang juga mengalami kekisruhan harga saat menjelang panen dapat menjadi pelajaran.

Sejak masa panen Mei 2005, harga beras jenis IR III di Pasar Induk Cipinang terus bergerak naik dari Rp 2.400/kg menjadi Rp 3.400/kg pada Desember 2005, dan terus melejit menjadi Rp 4.000/kg pada Februari 2006. Menanggapi kekisruhan harga tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu mengeluarkan Inpres No 13/2005 pada Desember 2005 dengan menaikkan harga gabah kering panen (GKP) sebesar 30 persen dan beras 27 persen. Prestasi peningkatan produksi padi pada 2006 hanya naik 0,7 persen dan pengadaan Bulog mencapai 1,4 juta ton. Memang harga bukan satu-satunya penentu kenaikan produksi, banyak faktor yang memengaruhi.

Pada awal 2007 harga beras terus bergejolak dan mencapai hampir Rp 5.000/kg pada Februari. Presiden SBY pun merespon dengan mengeluarkan Inpres No 3/2007 pada Maret 2007 dengan menaikkan GKP sebesar 16 persen, beras 13 persen. Kenaikan produksi padi pada 2007 sebesar 5 persen dan pengadaan Bulog mencapai 1,7 juta ton.

Tampaknya keadaan harga yang bagus tahun 2005, 2006, dan 2007 direspons petani pada 2008 dengan sangat bergairah menanam padi yang didukung cuaca/iklim yang baik, hujan sepanjang tahun, maka produksi padi meningkat 5,8 persen dan pengadaan Bulog mencapai 2,9 juta ton. Ini prestasi gemilang SBY yang dapat terhindar dari dampak krisis pangan dunia tahun 2008. Indonesia tidak ikut berebut di pasar beras dunia yang harganya naik drastis di atas 600 dollar AS/ton, yang biasanya hanya sekitar 300 dollar AS/ton.

Pelajaran berharga dari kejadian tersebut adalah bahwa agar dampak pembatasan impor beras tidak serta-merta membuat harga beras naik pada tahun itu, perlu waktu dan perlu pengelolaan kebijakan yang konsisten. Hal ini pun perlu didukung unsur "beja" atau keberuntungan, seperti keadaan cuaca/iklim yang mendukung serta amannya padi dari serangan hama/penyakit. Investasi infrastruktur pertanian, menurut pengalaman di zaman Presiden Soeharto, dampaknya baru terlihat 5-10 tahun ke depan. Investasi di bidang teknologi budi daya juga perlu waktu.

Untuk Pemerintahan SBY Jilid II, tampaknya sulit jadi contoh yang baik di bidang pengelolaan stok beras. Angka statistik produksi dan penyediaan beras per kapita menunjukkan angka yang cukup baik, di atas rata-rata tahun 2005-2009, tetapi sayangnya tetap saja masih memerlukan impor beras.

Pengadaan beras oleh Bulog pun dalam keadaan tidak normal, bahkan aneh. Meskipun harga di atas HPP, tetapi Bulog dapat mengumpulkan beras di atas 3 juta ton pada 2012, 2013, 2014. Misteri ini mungkin yang bisa menjelaskan mengapa terjadi keluhan masalah kualitas beras alokasi raskin yang bertubi-tubi.

Selanjutnya, bagaimana peluang Presiden Jokowi untuk mengelola kebijakan harga beras dan produksi yang akan datang? Tampaknya Jokowi tidak seberuntung Pemerintahan SBY Jilid 1. Harga beras dalam negeri sekarang sudah sedemikian tinggi, kemudian subsidi untuk sektor pertanian/pangan juga sudah dianggap terlalu besar, tetapi ironisnya tidak dirasakan oleh petani itu sendiri.

Langkah Presiden Jokowi untuk investasi di bidang infrastruktur sudah tepat, tetapi dampaknya tidak dapat sesaat. Kegiatan lain yang perlu mendapat perhatian adalah peningkatan produktivitas dan daya saing, sehingga produk kita bisa bersaing di pasar dunia.

Di Thailand, pada 1970-an, yang dibangun dulu adalah golongan menengahnya, yaitu para pedagang dan industriawannya, sehingga agrobisnis dan agroindustri di sana maju. Alasannya sederhana, golongan menengah inilah yang akan membina petani untuk bertani yang dikehendaki pasar. Sebab merekalah yang perlu barang untuk diperdagangkan ataupun diolah untuk industrinya. "Merupakan pekerjaan yang melelahkan bagi pemerintah apabila membina langsung petani," kata Sekjen Kementerian Pertanian dan Koperasi Thailand kala itu. Di Indonesia hal ini yang kurang mendapat perhatian.

Menyimpan masalah

Inpres No 5/2015 merupakan jalan tengah, memang aman dalam jangka pendek tetapi tetap menyimpan masalah yang sewaktu-waktu dapat muncul. Mungkin tidak kita sadari sebenarnya pasar beras itu mirip pasar uang, mudah bergejolak. Kedua pasar ini sarat dengan pengaturan-pengaturan pemerintah karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Setiap kebijakan, isu, berita, dan sebagainya akan ditangkap oleh pelaku pasar dengan kepentingan masing-masing.

Setiap wacana yang dapat mengganggu keseimbangan pasar, misalnya alokasi raskin akan diganti dengan e-money, maka akan ditangkap oleh pelaku pasar sebagai peluang untuk bisnis mereka, mereka akan memborong beras di pasar yang mungkin dapat menyebabkan harga naik atau Bulog tidak mendapatkan barang. Pernyataan terlalu pagi bahwa tidak ada impor beras, hal ini pun akan ditangkap oleh pelaku pasar bahwa harga beras akan mahal, dan mereka memborong beras. Akibatnya Bulog sulit mendapatkan barang.

Oleh karena itu, sebaiknya untuk soal beras tidak perlu terlalu banyak berwacana kalau pemerintah sendiri belum merasa kuat menghadapi spekulasi pasar. Setiap kebijakan yang diambil sebaiknya sudah melalui kajian mendalam, dipikirkan dampak buruknya, dan diumumkan pada waktu yang tepat oleh pejabat yang berwenang. Pasar beras itu mirip pasar uang, kalau dua-duanya bergejolak dan bertemu seperti 1997/1998, dampaknya mengerikan. Semoga tidak terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar