Mempertanyakan
Posisi Seni dan Kebudayaan
Arahmaiani ; Perupa, Tinggal di Yogyakarta
|
KOMPAS, 19 April 2015
Seni rupa atau kadang juga diistilahkan sebagai seni visual
adalah media ekspresi yang bersifat pluralis dan demokratis. Medium ini begitu
lentur sehingga bisa menjadi sangat dinamis, di mana berbagai hal, berbagai
gagasan, konsep, dan pemikiran bisa diungkapkan dalam bingkai selera estetika
visual yang dianggap cocok atau yang dipilih oleh pembuatnya, yang amat
variatif dengan beragam teknik dan cara ungkap, dan dengan segala kemungkinan
yang masih amat terbuka.
Pendeknya boleh dikatakan seni rupa sebagai media ungkap
kreativitas yang kaya kemungkinan. Seperti umum disepakati di dalam sistem
yang demokratis pada dasarnya cara berungkap macam apa pun sepanjang tidak
melanggar aturan dan hukum diperbolehkan. Inilah aspek budaya yang sangat
menarik dalam dunia seni rupa. Sebab pada dasarnya kebebasan berekspresi di
sini diungkapkan lewat berbagai cara dan kemungkinan sehingga berbagai sistem
estetika dan nilai bisa dibabarkan tanpa harus menimbulkan pertentangan
sekalipun bisa saja menimbulkan gesekan. Dan gesekan di sini biasanya menjadi
hal positif sebagai pemicu pengembangan kreativitas. Praktisi juga biasanya
tidak pernah membedakan atau mengelas-ngelaskan diri berdasarkan latar
belakang budaya, keyakinan, warna kulit, ataupun kebangsaan.
Seni rupa memang mengalami proses dinamisasi sejak awal abad ini
sehingga hampir segala macam elemen dan disiplin seni bisa ”dicangkokkan” ke
dalam media ini dan kemudian dianggap menjadi karya seni rupa. Mulai dari
bunyi, gerak, hingga aspek teater, bahkan bebauan serta ”kejadian” bisa
dikombinasikan ke dalam berbagai bentuk karya visual: mulai dari seni
pertunjukan, seni video, seni foto, ataupun apa yang disebut sebagai seni
media baru.
Dalam perkembangan dan dinamikanya kemudian muncul pertanyaan
mendasar yang menyentuh ranah filsafat, yaitu tentang pemisahan disiplin.
Awalnya seni menjadi disiplin ilmu tersendiri dan terpisah dengan disiplin
ilmu pengetahuan (science) ataupun spiritualitas. Lalu dipertanyakan karena
terdeteksi ada masalah di sana. Dan hal ini masih terus bergema serta
dipertanyakan lebih lanjut hingga saat ini. Kesadaran akan masalah yang
ditimbulkan oleh pemilahan disiplin ini telah mendorong para seniman,
ilmuwan, ataupun rohaniwan untuk menemukan ”jalan alternatif” menuju sistem
yang terintegrasi. Dan seni cenderung dianggap sebagai faktor yang bisa
menghubungkan disiplin satu dan lainnya sehingga seniman bisa ditempatkan di
posisi sebagai seorang mediator yang bisa memiliki peran penting dalam proses
transformasi budaya.
Kata kunci
Kreativitas adalah kata kunci, entah itu dihubungkan dengan
karya seni yang bersifat transdisiplin ataupun segala upaya yang membawa
dampak transformasi sosial politik, budaya, ataupun kesadaran yang bersifat
spiritual. Memang kreativitas pada dasarnya adalah milik semua orang dan
bukan wilayah khusus seniman saja sekalipun seniman mungkin memiliki
kesempatan yang lebih leluasa dalam menjelajahinya. Dan jika kita coba tengok
ke dalam konteks dunia seni di Tanah Air, kita akan menemukan banyak hal yang
menarik. Kehidupan kreatif di wilayah seni rupa pada dasarnya tampak
bersemangat sekalipun perlu dipertanyakan lebih lanjut dasar apa yang membuat
dunia seni rupa masih tampak begitu dinamis. Apakah hanya disebabkan pretensi
untuk laku di pasar ataupun menjadi terkenal saja? Tidakkah ada motif dasar
lain yang tak kalah penting di sini, seperti mencari pola organisasi sosial
yang lebih kreatif dan manusiawi ataupun ambisi lain yang bersifat mendorong
agenda perubahan seperti gerakan kebudayaan, misalnya? Apalagi jika mengingat
bagaimana sektor kebudayaan hanya mendapat sedikit perhatian dan dukungan
dari pihak pemerintah.
Kenyataan bahwa kehidupan kini pada dasarnya penuh gejolak dan
ketidakpastian, baik pada tataran politik, ekonomi, maupun budaya, telah
menyebabkan munculnya berbagai masalah serius. Seperti masalah penegakan
hukum yang menimbulkan kegelisahan, bahkan kekecewaan di kalangan masyarakat
umum. Bagaimana usaha pemberantasan korupsi yang merupakan persoalan paling
mendasar dan berbahaya karena bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan
bernegara dan peradaban kini jelas terancam tak bisa terus diupayakan. Seakan
terjadi situasi di mana nilai-nilai sudah tak diacuhkan lagi, yang
menyebabkan kerusakan mendasar, mulai dari dunia pendidikan, kerekatan
hubungan sosial, hingga lingkungan hidup. Apakah situasi ini masih akan
membuat para seniman tertarik untuk menanggapi lewat karya ataupun upaya
kolektif untuk sebuah gerakan kebudayaan? Untuk mengubah keadaan dan berupaya
mewujudkan kehidupan budaya yang tidak korup dalam pengertian yang
seluas-luasnya? Atau sudah tak mau ambil pusing lagi karena putus asa sebab
dunia politik sudah sedemikian korup dan manipulatif serta sudah sangat
dikuasai oleh para koruptor dan predator?
Apakah seni akan kita ceraikan dari kehidupan dan kita kurung di
dalam estetika ”seni untuk seni” dan mungkin diabdikan pada pasar saja? Untuk
hanya ditampilkan di art-fair, festival, ataupun berbagai pameran di
galeri-galeri komersial dan mapan? Ya, ada banyak pertanyaan yang bisa kita
ajukan, mulai dari yang bersifat praktis dan strategis hingga ideologis.
Intinya adalah menjawab pertanyaan dan mengupayakan untuk bisa menjembatani
dua macam gagasan: antara ”hidup untuk seni” dan ”seni untuk hidup”. Jika
seorang kawan seniman mengajukan pertanyaan: ”Akan dibawa ke mana seni rupa
kita?”, memang amat relevan. Sebab kini kita berada di persimpangan jalan dan
harus membuat keputusan. Seperti yang terjadi di ranah politik, ranah seni
budaya pun perlu ketegasan. Apakah kita hanya akan menyerah pada jalannya
nasib dan ikut hanyut dalam arus kehidupan yang cenderung konsumtif dan
menjadikan acuan ekonomi sebagai panglima kehidupan? Atau kita akanbangkit
berdiri memulai gerakan kebudayaan dan menjadikan kehidupan beradab, adil,
serta manusiawi? Yang memiliki visi dan misi untuk menyelamatkan kehidupan
generasi mendatang.
Jawaban ada di tangan kita dan bukan ditentukan oleh para
politisi dan penguasa yang terlalu percaya dengan uang dan manipulasi wacana
keberpihakan pada ”wong cilik”. Kita harus membuka mata pada kenyataan,
menyadari potensi dan kekuatan namun juga sekaligus kelemahan. Tidak melulu
mengkritisi dan menyalahkan pihak asing atas keterpurukan yangkita alami.
Atau dengan lain perkataan hanyut dalam trauma keterjajahan.
Kita juga harus mengembangkan kemampuan untuk mengkritisi diri
sendiri. Untuk menerima kekurangan dan kelemahan sebagai upaya memperbaiki
diri dan mengatasi ilusi. Tidak hanya mementingkan kesuksesan diri sendiri
atau kelompok tapi mulai menyadari bahwa kita semua hidup dalam negara
kesatuan dan sistem global yang saling-terkait. Bahwa petaka yang menimpa
orang lain akhirnya akan membawa dampak pada kehidupan kita. Pendek kata kita
akan harus peduli pada kehidupan dan nasib masa depan manusia di planet bumi
yang terancam kehancuran ini. Kita akan harus membangun jaringan kerja,
sistem yang terintegrasi di antara manusia dengan berbagai macam latar
belakang budaya, keyakinan, warna kulit, ataupun bangsa. Dengan anggapan
dasar kita semua setara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar