Pertaruhan
”Benteng Musa” Menghalau ”Acqua Alta” di Venesia Neli Triana ; Penulis Kolom
“Catatan Urban” Kompas |
KOMPAS, 1 Mei 2021
Warga Venesia di Italia tak sabar menunggu
akhir tahun ini saat benteng penahan gelombang pasang dari Laut Adriatik agar
tak masuk Laguna Venesia dioperasikan. Infrastruktur fisik raksasa itu
bernama resmi The Modulo Sperimentale Elettromeccanico (MOSE). Mose dalam
bahasa setempat mengacu pada Musa, nabi yang dikenal dengan mukjizatnya
membelah Laut Merah dan lolos dari kejaran Firaun. Benteng ”Musa” terdiri atas blok-blok beton
tertanam di dasar laut. Sistem Mose memungkinkan blok-blok beton itu ”bangkit
dari tidurnya” lalu menahan gelombang saat pasang laut. Jika sedang tidak
dibutuhkan, deretan blok beton kembali direbahkan. Arus laut kembali dapat
bersirkulasi, demikian pula kegiatan lalu lalang perkapalan pengangkut
manusia dan barang. Pada uji coba pertama, Oktober 2020,
benteng itu sukses menahan terjangan gelombang tinggi pasang laut. Namun,
pada suatu hari pada Desember 2020, Venesia kembali tergenang saat air pasang
merangsek. Disebutkan, ada masalah terkait ramalan cuaca dan sistem Mose.
Proyek Mose senilai 6 miliar Euro atau sekitar Rp 105 triliun yang seharusnya
mampu menahan gelombang hingga di atas 3 meter itu pun memanen kekecewaan
publik. Kegagalan pada uji coba kedua membangkitkan
memori buruk proyek benteng laut yang digagas sejak 1984 dan dibangun 2003
itu. Sistem Mose yang dibangun di tiga lokasi masuk air pasang dari Adriatik
ke laguna, yaitu di Lido, Malamocco, dan Chioggia, seharusnya rampung pada
2011. Akan tetapi, akibat dirundung skandal korupsi, pembangunan Mose molor.
Kini, serangkaian perbaikan dan tes demi tes dilakukan agar memenuhi target
kala beroperasi resmi. Meski demikian, harap-harap cemas terus
menyelimuti masyarakat setempat. Selama ini, banjir akibat pasang laut secara
berkala yang biasa disebut acqua alta mendera Venesia sejak 1.200 tahun
silam. Pemanasan global dan perubahan iklim memicu makin parahnya bencana di
kota cantik penuh kanal tujuan jutaan turis mancanegara tersebut. Dalam 50
tahun terakhir, banjir semakin sering dan genangan yang semakin tinggi. Pada 2019, menurut The Guardian, banjir
menyebabkan dua warga Venesia meninggal dan kerugian material lebih dari Rp
17 triliun. Setiap tahun diperkirakan sekitar 1.000 warga lokal meninggalkan
kota seluas 421 kilometer persegi dengan penduduk kurang dari 300.000 jiwa
itu demi menghindari banjir. Kekhawatiran bahwa Venesia bakal tenggelam makin
menguat. Mose menjadi tumpuan asa Venesia mengatasi acqua alta, si pasang
laut berkala. Namun, sejumlah ahli lingkungan dan
kemaritiman menyatakan, jika permukaan air laut terus naik seiring pemanasan
global, ada kemungkinan Mose juga makin sering dioperasikan. Ini berarti
sirkulasi air antara laguna dan Adriatik makin sering terputus. Dalam jangka
panjang, kondisi ini bakal berdampak buruk bagi Laguna Venesia dan semua yang
terkait dengannya. Pembangunan pulau buatan seiring proyek
Mose sebagai bagian penghalang gelombang pasang turut disebut tidak berdampak
banyak di masa depan. Di sisi lain, di luar biaya besar pembangunan, secara
berkala dibutuhkan anggaran tak sedikit untuk perawatan keseluruhan benteng
”Musa”. Politico menyimpulkan, Mose adalah solusi
yang jauh dari sempurna dan hanya akan bertahan beberapa dekade ke depan.
Namun, Mose disebut sebagai strategi satu-satunya yang tampak nyata saat ini. Cerita serupa Mose juga terjadi di Beira,
Mozambik. Laporan Bloomberg menyebutkan, Beira mendapat pinjaman Bank Dunia
sebesar 120 juta dollar AS pada tahun 2012 sebagai biaya pembangunan kanal
dan saluran air sepanjang 11 kilometer untuk menyerap gelombang dahsyat
akibat badai besar. Tujuh tahun kemudian, Topan Idai menghantam. Sekitar 90
persen wilayah Beira hancur, termasuk penghalang badai. Bencana tersebut
menewaskan lebih dari 1.000 orang. Di Jakarta, rencana proyek tanggul laut
raksasa di Teluk Jakarta untuk tujuan kompleks, seperti antisipasi kenaikan
muka air laut, menahan laju penurunan muka daratan, dan menambah
infrastruktur jalan serta properti, tengah dihentikan sementara. Namun, di
banyak kota lain di Indonesia, proyek reklamasi pantai terus berjalan, sebut
saja seperti di Makassar, Sulawesi Selatan dan Teluk Benoa, Bali. Di dunia, tren pengadaan infrastruktur
raksasa untuk merekayasa lingkungan sekaligus membuka kawasan urban baru
terus diminati. Lihat saja Dubai yang tidak berhenti membangun. India yang tengah dilanda gelombang susulan
pandemi Covid-19 dengan korban jiwa di atas 200.000 orang pun tetap
bersemangat menggulirkan rencana peremajaan sebagian kawasan New Delhi
senilai 200 miliar rupee (2,7 miliar dollar AS). Proyek ini ditargetkan
selesai pada 2024 menjelang gelaran pemilihan perdana menteri. Meskipun
dikecam publik di India, pemerintah setempat tetap melaju dengan rencananya. Menyikapi
perubahan iklim Pada peringatan Hari Bumi pada 22 April
lalu, banyak isu mengemuka. Salah satunya upaya menghentikan kekuatan alam
disebut sebagai pertarungan yang sia-sia. Tahun lalu, dampak cuaca
menimbulkan kerusakan senilai 210 miliar dollar AS, naik dari 166 miliar
dollar AS pada 2019. Sembilan dari 10 tahun terpanas terjadi sejak 2010. Pada
tahun-tahun mendatang, bencana akibat badai, gelombang laut, banjir di
perkotaan, dan lainnya diyakini akan makin sering. Pembangunan bukan berarti haram dilakukan,
terlebih di perkotaan di seluruh dunia yang kini menjadi pusat permukiman dan
memang membutuhkan penataan ulang. Namun, seperti digaungkan oleh C40 Cities
(jaringan kota-kota dunia) dan sering disuguhkan dalam laporan media massa,
seperti Bloomberg Citylab, Global Citizen, dan Eco Watch, pembangunan yang
dimaksud hendaknya membenahi kerusakan alam akibat ulah manusia demi menjaga
agar perubahan iklim tetap terkendali dan bahkan bisa diatasi. Setidaknya, 105 kota yang jadi rumah 170
juta orang di seluruh dunia telah membuat kemajuan besar dalam menetapkan
target iklim dan menyusun rencana adaptasi sejak Kesepakatan Paris
ditandatangani tahun 2015. Dalam proyeksi optimistis, teknologi dan
langkah-langkah rendah karbon saat ini memungkinkan kota-kota mengurangi
emisi hampir 90 persen di tahun 2050. Untuk mencapainya, ada beberapa acuan
pembangunan, antara lain, mengonfigurasi ulang kebutuhan penataan kota.
Konfigurasi ulang ini membantu meratakan pembangunan dan menghindari fokus
memoles pusat kota saja. Langkah ini dapat diterapkan dengan membangun
jaringan transportasi publik yang menjangkau seluruh pelosok area urban
dengan meremajakan angkutan reguler eksisting, membangun angkutan umum massal
sebagai tulang punggung sistem transportasi, dan mengintegrasikan antarmoda
angkutan. Semakin beragam jenis dan banyaknya armada
angkutan umum yang terjangkau masyarakat akan semakin memupuk harapan
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, menekan polusi udara, dan kemacetan. Selain itu, menambah area terbuka hijau dan
ruang-ruang parkir air perkotaan juga turut menjadi prioritas. Kemudian,
menambah akses warga ke fasilitas air bersih dan sanitasi sehat. Di kawasan padat penduduk selalu dapat
dibangun WC dan kamar mandi komunal dalam setiap radius tertentu disesuaikan
kebutuhan warga lokal. Selanjutnya, menerapkan regulasi ketat agar
gedung-gedung bertransformasi menjadi makin hemat energi. Dan, memaksimalkan
penggunaan energi terbarukan di setiap proyek penataan kawasan urban. Pembangunan infrastruktur raksasa pelindung
bencana akibat perubahan iklim dapat mengiringi kebijakan penataan kota yang
ramah lingkungan. Tentunya diiringi perhitungan matang mempertimbangkan
dampak saat ini dan masa depan. Namun, iming-iming hitungan triliunan
rupiah yang digelontorkan bakal memutar roda ekonomi sering kali terasa jauh
lebih menggiurkan dibandingkan risiko konsekuensi lain di masa datang.
Pertimbangan kemampuan finansial yang berbeda-beda di tiap kota ataupun
negara menjadi hal penting agar kota tidak terjebak dalam skema utang jangka
panjang dan justru kian tidak mandiri mengelola kawasannya di masa depan. Dalam konteks ini, benteng ”Musa” dan kanal
di Beira menjadi pelajaran berharga bagi kota-kota lain di dunia. Oleh karena sebagian besar manusia tinggal
di kota dan perubahan iklim juga paling berdampak di sana, masuk akal pula
jika solusi-solusi muncul dari kota, seperti halnya banyak inovasi bermanfaat
bagi manusia pada era-era sebelumnya. Di kota-kota pula langkah mengakhiri
kerusakan Bumi berawal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar