Telepon Pintar
Purnawan Andra ; Peminat Kajian Sosial Budaya Masyarakat
|
KORAN
TEMPO, 04 September 2015
Teknologi menyebabkan arus perubahan berlangsung global, masif,
dan tanpa batas di segala bidang. Kemajuan teknologi memudahkan pemenuhan
segala kebutuhan hidup manusia. Pada saat yang sama, kehidupan yang makin
maju menghendaki segala sesuatu yang bersifat efektif dan efisien.
Salah satu wujud keajaiban teknologi informasi adalah smartphone
(telepon pintar). Tidak hanya menjadi alat komunikasi, dengan fasilitas yang
dimilikinya, smartphone memiliki fungsi dalam hal penyimpanan data, Internet,
perbankan, televisi, game, kamera, foto, radio, gambar, musik, pengiriman
pesan (pendek dan multimedia), dan fitur-fitur lain. Ia bukan bukti kemajuan
teknologi informatika semata, tapi juga menjadi dasar revolusi besar
komunikasi, bahkan tata hidup manusia secara umum.
Smartphone kini merupakan salah satu kebutuhan primer masyarakat
dari segala lapisan. Tak dapat dimungkiri, smartphone telah menjadi ikon
modernitas yang juga menandai pergeseran nilai, bahkan struktur
sosio-kultural. Umberto Eco mensinyalir sistem komunikasi modern telah
melahirkan kesadaran akan lahirnya zaman komunikasi (age of communication), dengan smartphone menjadi salah satu
penanda utamanya. Herbert Marcuse (1990:26) juga menyebut "teknologi
sebagai hasil produksi material telah merancang lahirnya sebuah dunia".
Juergen Habermas mengakui pula peran telepon (baca: smartphone) dalam kehidupan
modern sebagai medium komunikasi yang tak sekadar memenuhi keinginan
menyampaikan atau menerima informasi, tapi juga secara substansial menjadikan
keinginan itu bisa diketahui.
Dalam kehidupan sehari-hari, selama 24 jam manusia tidak bisa
melepaskan smartphone dari tangan mereka. Pesan (message) yang berupa deretan angka, huruf, dan ikon emoticon merepresentasikan sosok yang
hidup dalam konteks suatu ruang (tempat) dan waktu. Dan dari sana bentuk
komunikasi terjadi: manusia menunggu respons, balasan (reply) dari orang lain. Manusia berpikir, bertindak,
mengekspresikan diri melalui teknologi.
Di balik itu semua, smartphone tidak hanya menciptakan
keterbatasan bagi tubuh, tapi juga kesadaran manusia. Dengan smartphone,
teknologi tidak menjadi satu subsistem peralatan dalam sistem besar
kebudayaan-sebagaimana pemikiran Koentjaraningrat yang membagi komponen
kebudayaan menjadi agama, kebiasaan, ilmu, bahasa, seni, pekerjaan, dan
teknologi. Teknologi telah menjadi seperangkat sistem adat-istiadat. Smartphone
telah menjadi sebuah kebiasaan, norma, atau tradisi masyarakat baru. Dengan
demikian, siapa pun yang tidak memanfaatkannya adalah orang yang berada di
luar norma, uncivilized, atau
orang-orang yang berpikir liar (savage
mind menurut rumusan Levi-Strauss) (Saifur Rohman, 2008).
Lebih lanjut, tanpa disadari, manusia menjadi sejenis makhluk
tuna-kesadaran, tanpa perasaan, dan miskin respons, sehingga kehilangan
kemanusiaannya sebagai makhluk hidup. Makhluk itu memiliki pekerjaan menanti
pesan pendek di layar telepon seluler,
e-mail masuk ke inbox, serta komentar atau sekadar ikon emoticon menjadi respons di blog-blog
yang dibuatnya. Smartphone hadir dan melahirkan kisah-kisah yang
merepresentasikan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar