Minggu, 06 September 2015

Merawat Gunung

Merawat Gunung

Heri Priyatmoko  ;  Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
                                               KORAN TEMPO, 04 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sehari-hari, Pegunungan Lawu tampak hijau dan anggun. Tapi, kemarin, parasnya bersalin merah dan mencemaskan. Sebagaimana diberitakan Koran Tempo edisi 26 Agustus lalu, gunung yang berada di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur ini dilalap api-yang mengamuk membakar hutan dan semak belukar, bahkan merembet ke Karanganyar.  

Gunung Lawu dalam pandangan masyarakat Jawa bukanlah tumpukan tanah yang menjulang tanpa makna. Sejak periode Hindu-Buddha sampai Mataram Islam, gunung yang menawarkan pemandangan elok ini-selain Gunung Merapi-dianggap sebagai kiblat. Adanya bermacam ritual gunung dan penempatan Candi Sukuh-Cetho di bukit Lawu ialah bukti historis bahwa raja dan masyarakat kuno menaati konsep segara-gunung,  yang membawa pesan harmoni lingkungan.

Nenek moyang mewanti-wanti agar manusia senantiasa merawat gunung sepanjang masa jika tidak mau alam murka. Larangan menebangi pohon membabi-buta dan mengeruk tanah perbukitan seenaknya memang sengaja diciptakan demi mewujudkan keselarasan antara jagat raya (makrokosmos) dan dunia manusia (mikrokosmos) melalui petunjuk astrologi, upacara persembahan, dan gagasan.

Penekun sejarah terkemuka, Robert Heine Geldern, lewat buku klasik Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara (1982) mengudar gagasan perihal gunung yang dipandang sakral. Gunung Meru yang dipercaya sebagai pusat jagat raya-merujuk pada susunan Buddhisme, gunung ini dikitari tujuh barisan pegunungan-adalah yang pertama diulas. Di luar rantai pegunungan, dijumpai benua bernama Jambudwipa sebagai tempat tinggal umat manusia. Sampai di tlatah Jawa, pemahaman tersebut dikembangkan tanpa ada nafsu mengesampingkan keberadaan gunung.

Syiwa dianggap sebagai dewa gunung, dan semua penguasa kerajaan adalah inkarnasi Syiwa. Sajak Jawa termasyur abad XIV, "Nagarakertagama", menuturkan kepada anak-cucu bahwa kelahiran Raja Rajasanagara dari Majapahit (1350-1389 M) ditandai dengan kejadian letusan gunung api. Peristiwa alam tersebut dimaknai: raja yang baru saja membuka kelopak mata dan melihat terangnya dunia itu merupakan titisan Batara Girinata atawa Syiwa.

Keharusan masyarakat menghormati gunung dikekalkan dalam sepucuk gagasan bahwa raja sebagai junjungan warga disamakan dengan gunung. Mata kanan raja mewakili matahari, mata kirinya bulan, dan tangan berikut kakinya keempat mata angin. Lantas, mahkota yang runcing melambangkan puncak gunung. Dan selop adalah representasi bumi.

Fakta kultural di muka membulatkan pandangan raja laksana sumbu jagat raya. Alam pemikiran yang demikian ini selanjutnya melahirkan gelar Paku Buwono (Paku Dunia) yang dikenakan penguasa terakhir Keraton Kartasura dan Keraton Kasunanan Solo sampai kini. Karena raja dilukiskan mirip dengan gunung, siapa pun di masa lalu yang mendekati istana kudu menyatakan penghormatan dengan turun bila naik kuda, menutup payung, dan menundukkan diri ke arah puncak runcing istana.

Begitulah ajakan mulia dari leluhur agar tak lelah memelihara gunung sampai diterapkan dalam aturan perilaku sehari-hari. Gunung Lawu bukan hanya tempat rekreasi dan latar ber-selfie. Ia menyimpan harmoni sekaligus petaka bila kita emoh merawatnya. Jagat cilik bakal porak-poranda kalau kita melecehkan gunung dengan mengeksploitasinya tanpa henti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar