Sabtu, 12 September 2015

Kapan Rupiah Meriah?

Kapan Rupiah Meriah?

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia, Jakarta
                                                    JAWA POS, 09 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SENIN, 7 September 2015, Kyran Curry, director of sovereign ratings Standard & Poor’s (S&P) di Singapura, menilai bahwa posisi Indonesia lebih rentan ketimbang Malaysia saat dana asing hengkang dari pasar finansial Indonesia. Bahkan, lembaga rating itu menyatakan keprihatinan yang cukup mendalam atas posisi cadangan devisa Indonesia yang kian tipis karena tergerus depresiasi rupiah yang sudah melampaui level kekhawatiran pasar.

Pada sesi perdagangan Senin lalu, misalnya, rupiah sempat mencatatkan pelemahan terbesar dalam sepekan terakhir. Data yang dihimpun Bloomberg pada sesi perdagangan siang menunjukkan, nilai tukar rupiah di pasar spot ”terseok-seok” 0,59 persen ke level 14.256 per dolar AS. Pada sesi awal perdagangan, mata uang ibu pertiwi sudah berada di level 14.248 per dolar AS.

Kemudian, pada sesi siang kemarin (8/9), nilai tukar rupiah dalam transaksi antarbank di Jakarta kembali melanjutkan pelemahan. Rupiah terus terseret ke level 14.273 per dolar AS. Secara teknis, itu adalah level terlemah sejak Agustus 1998. Juga, sepanjang tahun ini ( year to date), rupiah sudah melemah 13 persen dan menjadi salah satu mata uang Asia yang mencatatkan performa terburuk setelah ringgit Malaysia.

Mau tak mau, kondisi itu juga menyebabkan cadangan devisa Indonesia menurun dan akhirnya menjadi salah satu kekhawatiran lembaga rating ekonomi pasar sekaliber S&P di Singapura. Lihat saja, untuk periode lima bulan yang berakhir Juli lalu, cadangan devisa Indonesia tergerus sebesar USD 8 miliar sehingga menjadi USD 107,6 miliar. Selain digerus depresiasi mata uang, devisa Indonesia sebelumnya terkikis cukup signifikan lantaran aksi intervensi yang terus dilakukan otoritas moneter untuk menjaga stabilitas pasar ekuitas dan kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi nasional.

Implikasi teknis dari aksi itu bisa dilihat dari perpindahan devisa ke pasar domestik (secondary market) yang terus digalakkan BI. Devisa terlihat makin berkurang dari Mei lalu jika dibandingkan dengan posisi Juni karena digunakan oleh BI untuk intervensi pasar dan stabilisasi harga. Juni lalu cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar USD 108 miliar, lebih rendah bila dibandingkan dengan posisi akhir Mei 2015 yang sebesar USD 110,8 miliar.

Meski pihak otoritas moneter menjelaskan bahwa cadangan devisa yang terhitung hingga Juli senilai USD 107,6 miliar merupakan nominal yang cukup untuk membiayai impor selama 6,8 bulan dan masih mampu membayar utang luar negeri pemerintah, bagi pelaku pasar, penurunan cadangan devisa secara inkremental seperti itu menjadi sinyal bahwa pemerintah beserta pihak otoritas moneter sedang berusaha keras membendung pelemahan mata uang untuk menambal isu perlambatan ekonomi yang sudah terkategori mengancam.

Bagi pasar, prospek dan outlook ekonomi nasional untuk masa depan masih tergolong tak pasti. Sebab, rupiah ternyata tak mampu membendung ekses negatif dari isu regional (penurunan proyeksi pertumbuhan Tiongkok) dan isu global (ketidakpastian The Fed’s rate). Juga, ketakutan pasar justru semakin bertambah tatkala ternyata beberapa asumsi dan proyeksi dalam APBN 2016 terus tergerus oleh pelemahan rupiah serta anjloknya harga komoditas global. Pasar akhirnya gagal menangkap kalkulasi rasional dari APBN yang baru saja digolkan pemerintah dan DPR.

Jika dilihat secara konseptual, setidaknya secara teoretis kontemporer, ada tiga faktor yang secara sederhana bisa dipakai untuk menjelaskan kendurnya vitalitas rupiah. Pertama, perekonomian yang kurang mapan. Secara kategoris, rupiah termasuk dalam soft currency, yakni mata uang yang mudah berfluktuasi karena perekonomian negara asalnya relatif kurang mapan. Umumnya, kategori itu menempel pada mata uang negara-negara berkembang.

Faktor kedua adalah pelarian modal (capital outflow). Tidak bisa dimungkiri, di antara modal yang beredar di Indonesia, terutama di pasar finansial, sebagian besar adalah modal asing. Nah, itulah yang akhirnya membuat nilai rupiah sedikit banyak bergantung pada kepercayaan investor asing. Sebab, empunya modal-modal itu sangat bergantung pada prospek ekonomi negara Indonesia. Jika makin suram, besar kemungkinan mereka hengkang sebelum nilai modalnya (dalam mata uang rupiah) tergerus lebih dalam.

Faktor ketiga adalah ketidakstabilan politik dan ekonomi. Instabilitas politik akan memberikan efek negatif terhadap ekonomi nasional serta dunia usaha.
Dengan tiga parameter itu, sebenarnya bisa disimpulkan bahwa depresiasi rupiah bukan hanya masalah tekanan dan sentimen global. Tapi, juga lebih mengacu pada kondisi fundamental ekonomi dalam negeri yang sudah mengkhawatirkan. Level 15.000 per USD akan menjadi level selanjutnya jika pemerintah dan otoritas fiskal tidak segera mengambil sikap konkret.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar