Petisi Korban Rokok
Endang Suarini ; Pemerhati Kesehatan Masyarakat
|
KORAN
TEMPO, 02 September 2015
Diusir dan dimaki seorang perokok di sebuah mal, seorang ibu
berani membuat petisi di change.org kepada Lippo Mall Pluit, JCo Indonesia,
dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Petisinya berjudul
"Saya dan Bayi Saya Terusir oleh Oknum yang Mau Merokok di dalam
Mall" (kompas.com, 28/8). Petisi itu berawal ketika Elysabeth Ongkojoyo
dan anaknya yang masih bayi (1,5 bulan) terusir dari J.Co Donuts Pluit
Village Mall, Pluit Jakarta Utara, karena kedatangan oknum A yang hendak
merokok di tempat tersebut.
Tentu langkah Elysabeth patut diapresiasi. Sebab, selama ini ada
ribuan korban rokok dan perokok yang justru mengidap semacam "sindrom Stockholm".
Sindrom ini dinamai berdasarkan kejadian perampokan Sveriges Kreditbank di
Stockholm pada 1973. Perampok bank tersebut, Jan-Erik Olsson dan Clark
Olofsson, memiliki senjata dan menyandera karyawan bank dari 23 Agustus
sampai 28 Agustus. Ketika akhirnya korban dapat dibebaskan, reaksi mereka
malah memeluk dan mencium para perampok yang telah menyandera mereka.
Analogi demikian mungkin berlebihan. Namun mari kita simak,
berapa ribu orang yang disandera dan dijadikan korban oleh para perokok
justru hanya bersikap pasif dan tidak proaktif seperti Elysabeth? Di negeri
kita, ada jutaan orang yang justru serumah dengan perokok. Bayangkan,
sebanyak 43 juta anak Indonesia saat ini hidup serumah dengan perokok dan
mereka terancam menderita penyakit mematikan. Konyolnya, justru kian banyak
anak tergoda untuk merokok. Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik
2007, jumlah perokok pemula (5-9 tahun) meningkat 400 persen, yakni dari 0,8
persen (2001) menjadi 1,8 persen (2004) dari keseluruhan anak usia 5-9 tahun.
Adapun menurut data terakhir Riset Kesehatan Dasar 2013, perokok
aktif mulai dari usia 10 tahun ke atas berjumlah 58.750.592 orang. Setiap
hari ada 616.881.205 batang di Indonesia atau 225.161.640.007 batang rokok
dibakar setiap tahunnya. Jika harga satu batang rokok Rp 1.000, uang yang
dikeluarkan lebih dari Rp 225 triliun.
Dari persepektif feminisme, langkah Elysabeth juga patut
diapresiasi, karena ia berani melawan hegemoni para perokok yang notabene
laki-laki atau suami yang tidak peduli terhadap kesehatan anggota keluarga
lainnya, khususnya anak-anak. Padahal sudah banyak informasi betapa rokok
amat berbahaya bagi kesehatan.
Lewat petisinya, Elysabeth juga mengingatkan Gubernur DKI Ahok
akan implementasi Peraturan Gubernur DKI Nomor 75/2005 tentang Kawasan tanpa
Rokok (KTR). Di berbagai daerah tingkat provinsi dan kota atau kabupaten juga
sudah diundangkan regulasi serupa. Regulasi KTR memang tidak melarang total
aktivitas merokok. Regulasi ini hanya semacam pembatasan bahwa di beberapa
kawasan tertentu, merokok dilarang. Jika dilanggar ada sanksinya. Memang
regulasi mengenai KTR kerap kali menjadi macan kertas. Sangat jarang ada
pelanggar aturan ini dihukum.
Memang ada ambivalensi hukum soal rokok, karena di satu sisi
pemerintah masih membutuhkan cukai yang triliunan rupiah itu. Sayangnya,
kesehatan warga negara dibiarkan menjadi tumbal rokok. Jadi, petisi Elysabeth
sebenarnya juga menggugat pemerintah atas komitmennya terhadap kesehatan
warga negaranya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar