Politik Mrcusuar Kereta Api Cepat
Tulus Abadi ; Ketua Pengurus Harian YLKI
|
KORAN
TEMPO, 02 September 2015
Sejatinya, bukanlah hal yang ahistoris jika Presiden Joko Widodo
berkeinginan Indonesia segera memiliki kereta cepat. Sebab, sektor perkeretaapian
di Indonesia seharusnya sudah semaju (setara) negara-negara yang kini
memiliki kereta cepat itu. Jepang dengan Shinkansen-nya, Prancis dan negeri
Eropa Barat dengan kereta Maglev-nya, dan Cina, yang kini juga sukses
berselancar kereta cepatnya. Kenapa? Sejarah sektor perkeretapian di
Indonesia amat panjang. Sejak Belanda meninggalkan Indonesia, panjang rel
yang dibangun tidak kurang dari 6.110 kilometer, yang tersebar di seantero
Nusantara, khususnya Jawa, Sumatera, Sulawesi, bahkan Kalimantan.
Namun, sejak era kemerdekaan, era Orde Baru, dan bahkan era
reformasi, sektor perkeretaapian tak beranjak, mandek. Bahkan jumlah panjang
relnya pun menyusut, tinggal 4.000-an kolmeter saja. Pengelolaan secara
keseluruhan pun tampak sempoyongan. Saat ini saja sektor perkeretaapian mulai
menggeliat, terutama dari sisi pelayanan bagi penggunanya.
Meskipun demikian, jika Presiden Jokowi tetap berkeras membangun
kereta api cepat, terdapat beberapa kelemahan mendasar. Pasalnya, Indonesia
nihil pengalaman, bahkan mengelola kereta api konvensional pun tampak belum
optimal. Kisah sukses yang kini dicapai, terutama setelah ditukangi Ignasius
Jonan, belum mampu menjadi standar yang meyakinkan. Fokus dulu pada
pengelolaan keretapi yang saat ini ada, jangan keburu nggege mongso.
Presiden Jokowi boleh sesumbar bahwa pembangunan kereta cepat
yang menelan biaya hingga Rp 60 triliun tidak akan membebani APBN. Oh ya,
oke, tetapi jika dana segunung itu didapat dari utang, apa hebatnya? Belum
lagi jika nanti pengelolaan kereta api cepat itu gagal, apakah pihak swasta
mau menanggungnya? Ah, dana APBN juga yang pada akhirnya tergerus.
Apalah artinya kecepatan dua jam Jakarta-Bandung dengan kereta
api cepat jika untuk menuju stasiun kereta api waktu tempuhnya lebih dari dua
jam, karena disandera oleh kemacetan? Akan lebih bermartabat jika kemacetan
di Jakarta (dan Bandung) dibereskan dulu. Lagi pula, dari sisi manajemen
transportasi, pembangunan kereta cepat berkarakter kanibalistik dengan sektor
transportasi lainnya. Kini kereta Argo Gede mampu menempuh 3 jam
Jakarta-Bandung. Kalau kereta api cepat hanya mampu dua jam, selisih waktu
tempuh yang hanya satu jam itu tidak setara dengan biaya yang dikeluarkan.
Dan, jalan tol Cipularang pun bisa jadi kolaps karena sebagian penggunanya
beralih ke kereta api cepat.
Semangat untuk mempunyai kereta cepat agar kita setara dengan
negara maju patut diapresiasi. Itu hal yang progresif, bahkan revolusioner,
mungkin. Tapi, bertindaklah dengan kebijakan transportasi yang rasional,
terukur, membumi, dan tidak diskriminatif. Problematika transportasi kita
bukan ada atau tidaknya kereta cepat. Itu sangat tidak mendesak bagi
kebutuhan transportasi saat ini. Belum lagi kalau hal itu hanya akan
menciptakan bom waktu atas potensi kegagalan dalam pengelolaannya. Urgensi
saat ini adalah bagaimana pemerintah mewujudkan jaringan dan sistem
transportasi yang efisien, terjangkau, dan terintegrasi bagi warganya.
Pembangunan kereta cepat hanyalah wujud konkret dari politik mercusuar
dan/atau memanjakan kepentingan investor belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar