Niaga Buku
Muhidin M Dahlan ; Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 03 September 2015
Ketika pergantian alaf, dari abad ke-20 menjadi ke-21, berlangsung, majalah mingguan
Time edisi 27 Desember 1999 menobatkan Jeff Bezos (Amazon.com) sebagai Person of the Year. Majalah ini
menurunkan 22 halaman penuh warna dengan tata letak yang menawan untuk
menjelaskan bahwa pilihan jatuh pada Amazon yang diinisiasi oleh Jeff Bezoz
bukan saja tepat, tapi juga menjadi tonggak bagaimana kelak postur tata perniagaan
buku dunia masa depan dijalankan pada abad ke-21.
Saya mengingatkan kembali laporan lima artikel itu untuk
menunjukkan bahwa dibutuhkan satu dekade lebih bagi Indonesia untuk menjual
melalui secara daring. Ketika tata niaga buku abad ke-21 yang diperkenalkan
Amazon di pergantian alaf itu telah merontokkan banyak toko buku di dunia, di
Indonesia pergerakan tersebut baru menggejala. Apa yang dilakukan secara
revolusioner oleh Amazon itu selama satu dekade hanya direspons sebagai
sekadar informasi dan gaya-gayaan, serta tidak ditanggapi secara sistematis
dan menyeluruh oleh pemain buku yang mapan. Alasan yang kerap dimunculkan:
tata niaga buku mengikuti gaya konsumsi orang banyak.
Yang menarik adalah pergerakan yang ekstensif justru dilakukan
pelaku perbukuan di tingkat akar rumput. Dengan caranya yang serabutan, tapi
dilakukan dengan keyakinan yang penuh, niagawan-niagawan buku berwajah baru
dan segar ini menyapa konsumen buku langsung ke pintu-pintu akun sosial
mereka. Tiap hari, mereka berseliweran di lini masa Facebook, Twitter, dan
Instagram untuk memberi tahu bahwa satu setengah dekade sudah cukup untuk
mengamati dan menunggu kemunculan pola perniagaan buku yang adil dan
emansipatif, bahwa kekuasaan toko buku "yang itu-itu saja", yang nyaris
tak disentuh sistem perundang-undangan-karena memang Undang-Undang Buku sudah
satu dekade membeku sebagai "draf" di gedung parlemen-mesti
"berbagi". Serta pola pembagian dan distribusi kuasa dalam tata
niaga itu bukan bersandar pada hubungan belas kasih, melainkan direbut.
Sebagaimana nasib reformasi atau perubahan yang selalu dibajak,
para tenaga muda penggerak tata niaga buku "gaya baru" ini bisa
jadi bernasib sama sialnya. Si super besar selalu menunggu waktu yang tepat
ketika pasar baru itu terbuka dan kalkulasi dagang dianggap menguntungkan.
Jika itu yang terjadi, wilayah ini bakal diserobot tanpa ampun, kasar,
selaiknya negeri tanpa payung aturan niaga yang adil.
Mungkin seperti inilah potret mereka yang selalu berdiri dalam
barisan kecil sambil meneriakkan-meminjam judul single Efek Rumah
Kaca-"pasar bisa diciptakan" dengan segala perjudiannya. Kita
melihat pasar baru itu memang ada, pasar yang bukan karena ada dengan
sendirinya, tapi diciptakan oleh segelintir orang yang berusaha sekuat-kuatnya
memberi tahu bahwa kemungkinan-kemungkinan baru selalu terbuka untuk
dijelajahi.
Memang, niaga yang marak di lini ini masih berupa penjualan
buku-buku yang berstatus "barang retur" dari toko buku yang itu-itu
juga. Namun, terkait dengan makin tingginya biaya transportasi, kekerasan
luar rumah kian marak, dan infrastruktur Internet yang makin kuat dan
membaik, potensi penjualan buku berbasis Internet dinilai menjanjikan.
Apalagi tata niaga baru ini bisa memangkas banyak biaya operasional yang
umumnya menjadi momok bagi pelaku niaga buku tradisional, misalnya sewa
gudang dan gedung etalase buku yang representatif. Jadi, selamat datang tata
niaga baru buku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar