Jumat, 04 September 2015

Niaga Buku

Niaga Buku

Muhidin M Dahlan  ;  Kerani @warungarsip
                                               KORAN TEMPO, 03 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika pergantian alaf, dari abad ke-20 menjadi ke-21, berlangsung, majalah mingguan Time edisi 27 Desember 1999 menobatkan Jeff Bezos (Amazon.com) sebagai Person of the Year. Majalah ini menurunkan 22 halaman penuh warna dengan tata letak yang menawan untuk menjelaskan bahwa pilihan jatuh pada Amazon yang diinisiasi oleh Jeff Bezoz bukan saja tepat, tapi juga menjadi tonggak bagaimana kelak postur tata perniagaan buku dunia masa depan dijalankan pada abad ke-21.

Saya mengingatkan kembali laporan lima artikel itu untuk menunjukkan bahwa dibutuhkan satu dekade lebih bagi Indonesia untuk menjual melalui secara daring. Ketika tata niaga buku abad ke-21 yang diperkenalkan Amazon di pergantian alaf itu telah merontokkan banyak toko buku di dunia, di Indonesia pergerakan tersebut baru menggejala. Apa yang dilakukan secara revolusioner oleh Amazon itu selama satu dekade hanya direspons sebagai sekadar informasi dan gaya-gayaan, serta tidak ditanggapi secara sistematis dan menyeluruh oleh pemain buku yang mapan. Alasan yang kerap dimunculkan: tata niaga buku mengikuti gaya konsumsi orang banyak.

Yang menarik adalah pergerakan yang ekstensif justru dilakukan pelaku perbukuan di tingkat akar rumput. Dengan caranya yang serabutan, tapi dilakukan dengan keyakinan yang penuh, niagawan-niagawan buku berwajah baru dan segar ini menyapa konsumen buku langsung ke pintu-pintu akun sosial mereka. Tiap hari, mereka berseliweran di lini masa Facebook, Twitter, dan Instagram untuk memberi tahu bahwa satu setengah dekade sudah cukup untuk mengamati dan menunggu kemunculan pola perniagaan buku yang adil dan emansipatif, bahwa kekuasaan toko buku "yang itu-itu saja", yang nyaris tak disentuh sistem perundang-undangan-karena memang Undang-Undang Buku sudah satu dekade membeku sebagai "draf" di gedung parlemen-mesti "berbagi". Serta pola pembagian dan distribusi kuasa dalam tata niaga itu bukan bersandar pada hubungan belas kasih, melainkan direbut.

Sebagaimana nasib reformasi atau perubahan yang selalu dibajak, para tenaga muda penggerak tata niaga buku "gaya baru" ini bisa jadi bernasib sama sialnya. Si super besar selalu menunggu waktu yang tepat ketika pasar baru itu terbuka dan kalkulasi dagang dianggap menguntungkan. Jika itu yang terjadi, wilayah ini bakal diserobot tanpa ampun, kasar, selaiknya negeri tanpa payung aturan niaga yang adil.

Mungkin seperti inilah potret mereka yang selalu berdiri dalam barisan kecil sambil meneriakkan-meminjam judul single Efek Rumah Kaca-"pasar bisa diciptakan" dengan segala perjudiannya. Kita melihat pasar baru itu memang ada, pasar yang bukan karena ada dengan sendirinya, tapi diciptakan oleh segelintir orang yang berusaha sekuat-kuatnya memberi tahu bahwa kemungkinan-kemungkinan baru selalu terbuka untuk dijelajahi.

Memang, niaga yang marak di lini ini masih berupa penjualan buku-buku yang berstatus "barang retur" dari toko buku yang itu-itu juga. Namun, terkait dengan makin tingginya biaya transportasi, kekerasan luar rumah kian marak, dan infrastruktur Internet yang makin kuat dan membaik, potensi penjualan buku berbasis Internet dinilai menjanjikan. Apalagi tata niaga baru ini bisa memangkas banyak biaya operasional yang umumnya menjadi momok bagi pelaku niaga buku tradisional, misalnya sewa gudang dan gedung etalase buku yang representatif. Jadi, selamat datang tata niaga baru buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar