Kontroversi Film Jenderal Soedirman
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
KORAN
TEMPO, 02 September 2015
Mulai 27 Agustus 2015, film Jenderal Soedirman diputar di
bioskop di Indonesia. Film yang diproduseri Sekar Ayu Asmara dari Padma
Pictures dan disutradarai Viva Westi ini dibintangi, antara lain, oleh
Adipati Dolken (Soedirman), Baim Wong (Sukarno), Nugie (Hatta), dan Mathias
Muchus (Tan Malaka). Yayasan Kartika Eka Paksi dan Persatuan Purnawirawan
Angkatan Darat merupakan pendukung pembuatan film ini.
Film itu dibuat dengan berlokasi di empat kota (Bandung,
Magelang, Yogyakarta, dan Wonosari) selama 43 hari. Di dalam konferensi pers,
Letnan Jenderal (purn) Kiky Syahnakri mengungkapkan biaya pembuatan film itu
berkisar antara Rp 10-15 miliar. Dalam film diceritakan terutama masa gerilya
Soedirman selama tujuh bulan setelah agresi militer Belanda ke Yogyakarta, 19
Desember 1948.
Film itu mempunyai pesan bagi tentara dan bagi masyarakat
Indonesia tentang kesederhanaan hidup dan keteguhan memegang prinsip. Bukan
hanya itu, Soedirman mengorbankan hartanya, seperti perhiasan istrinya, untuk
bekal semasa bergerilya. Semua itu adalah nilai-luhur yang perlu diwariskan
kepada generasi penerus bangsa. Tentu saja secara manusiawi, Soedirman
memiliki kelemahan, seperti kecanduan merokok yang menyebabkan ia menderita
TBC dan akhirnya paru-parunya tinggal sebelah. Namun dalam kondisi kesehatan
yang memburuk itu, ia terus berjuang. Mantan guru sekolah Muhammadiyah dengan
pengalaman militer PETA yang lahir pada 1916 itu adalah pemimpin yang
meninggal dalam usia sangat muda, yakni 36 tahun. Ia terpaksa menyerah
terhadap penyakit yang menyerang tubuhnya.
Tentu saja sikap pantang menyerah kepada Belanda ini menjadi
karakter Soedirman yang utama. Namun, seyogianya penonjolan aspek ini
dilakukan dengan tidak melemahkan perjuangan tokoh bangsa yang lain. Ketika
terjadi agresi militer kedua Belanda pada 19 Desember 1948, memang sikap
Republik Indonesia terbelah. Soedirman memutuskan untuk bergerilya masuk
hutan. Sementara itu, sidang kabinet memutuskan agar Presiden, Wakil
Presiden, dan para anggota kabinet tetap tinggal di Yogyakarta.
Menurut Jenderal
T.B. Simatupang, kalau Presiden dan Wakil Presiden masuk hutan, dibutuhkan
satu batalyon pasukan untuk mengawal, dan itu tidak tersedia di Yogyakarta
saat itu. Sebelumnya, Presiden Sukarno pernah berpidato bahwa ia akan melawan
Belanda dengan ikut bergerilya. Namun keputusan terakhir adalah berdasarkan
hasil sidang kabinet. Jadi menurut saya, masalah itu sudah selesai, janganlah
terus dipersoalkan bahwa Sukarno ingkar janji, apalagi dikatakan berkhianat.
Tentu saja kata berkhianat atau pengkhianat itu terlalu kasar, kalau itu
benar diucapkan terhadap Presiden RI. Silakan mengangkat kepahlawanan
Soedirman, tapi tanpa dibarengi wacana yang melecehkan para politikus sipil
seperti Sukarno.
Penggambaran Tan Malaka lebih rendah lagi. Seolah-olah Tan
Malaka haus kekuasaan, sementara itu Soedirman menolak melawan negara.
Diceritakan tentang tentara komunis yang tidak membayar makanan kepada
pedagang asongan. Seorang Tionghoa yang menjadi pemilik toko mengatakan bahwa
tentara komunis itu mempunyai presiden sendiri. Kemudian ditampilkan adegan
Tan Malaka berpidato bahwa testamen yang diperolehnya dari Sukarno-Hatta
menjadi legitimasi bagi dia untuk menjadi presiden. Tan Malaka berpidato
dengan latar belakang spanduk yang bergambar palu arit (kalau itu lambang
partai Murba, jelas lambang partai ini bukan palu arit). Kamera menyoroti
pula buklet yang bertulisan "Tan Malaka Presiden Kita". Adegan
selanjutnya mengenai Tan Malaka adalah ketika ia bersama beberapa orang lain
diseret dengan tangan terikat tali di dalam hutan. Dilaporkan bahwa Tan
Malaka dan pengikutnya ditangkap atas perintah Soengkono. Kemudian terdengar
tembakan dor-dor.
Tidak ada perintah penangkapan terhadap Tan Malaka, walaupun ia
memilih bergerilya di Jawa Timur. Semoga produser menarik kembali film itu
dan menghilangkan adegan-adegan yang melecehkan pahlawan nasional Tan Malaka.
Selain pelecehan terhadap politikus sipil tadi, pada film ini
terdapat kekeliruan. Ketika bertemu dengan Kepala
Negara di Gedung Agung Yogyakarta, Soedirman mengatakan menyerahkan "pemerintahan militer" kepada
pemerintahan Sukarno-Hatta. Saya menonton film ini dua kali, sehingga
mudah-mudahan tidak salah dengar. Pada teks bahasa Inggris tertulis military command, jadi jabatan sebagai pemimpin
militer yang diserahkan. Apakah pemeran Soedirman
yang salah ucap atau ini memang disengaja? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar