Sabtu, 12 September 2015

Darurat Manusia Perahu

Darurat Manusia Perahu

Ahmad Sahidah  ;  Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
                                                    JAWA POS, 05 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KABAR buruk datang pada Kamis lalu (3/9). Kapal kayu pengangkut sekitar 100 warga negara Indonesia (WNI) karam. Menurut Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia, kecelakaan tersebut kali pertama diketahui seorang nelayan yang melintasi perairan Sabak Bernam, Selangor.

Kapal tersebut diindikasikan berangkat dari Port Kelang menuju Tanjungbalai, Sumatera Utara. Peristiwa itu baru diketahui saat nelayan menemukan jenazah dan bangkai kapal pukul 05.30 ( Jawa Pos, 4/9)

Laluan itu memang acap digunakan tekong untuk menyelundupkan penumpang ilegal yang akan kembali ke Indonesia. Sebenarnya, pihak berkuasa sering menyisir rute rawan tersebut serta menangkap tekong dan buruh migran yang berani bertaruh nyawa menggunakan angkutan yang berisiko tinggi.

Sejatinya, Polisi Laut (Polis Marin) Malaysia sering melakukan operasi di kawasan itu. Mereka acap menangkap tekong dan pekerja kita, lalu membawa mereka ke kantor pihak keamanan tersebut untuk diselidiki sesuai dengan Akta Anti Pemerdagangan (trafficking) Orang dan Anti Penyelundupan Migran 2007.

Kalau bencana itu terjadi menjelang Ramadan atau Idul Fitri, bisa jadi korbannya bakal lebih banyak. Sebab, seperti hampir semua pekerja migran kita, banyak buruh migran yang bekerja di Malaysia pulang ke kampung halaman. Kekerapan semakin tinggi memasuki hari-hari menjelang Idul Fitri.

Kekhawatiran terjadinya bencana serupa terulang pada waktu-waktu yang akan datang tidak berlebihan. Sebab, banyak tenaga kerja yang masih memilih mudik melalui jalan tikus.

Belum lagi, moda angkutan itu tidak dipantau oleh pihak berwenang terkait keselamatan. Tidak hanya itu, tekong sering membawa penumpang melebihi kapasitas angkut perahu.

Namun, betapapun operasi dan penangkapan sering dilakukan, banyak buruh ilegal asal tanah air yang masih berdegil untuk masuk atau keluar dari Malaysia, termasuk dari negara-negara tetangga, misalnya Myanmar dan Thailand, dari pelbagai titik secara ’’haram’’.

Meski demikian, kendati yang masuk adalah pekerja ilegal, pihak Malaysia tetap mengerahkan SAR (search and rescue) untuk melakukan penyelamatan.

Tugas Bersama

Mengingat peristiwa seperti itu terjadi berulang-ulang, tentu kedua negara ini telah mengantongi informasi yang lengkap terkait dengan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut. Bagaimanapun, buruh migran yang memilih jalur ilegal akah lebih mudah terpapar pada tindakan kekerasan dan perdagangan manusia.

Tidak jarang, mereka harus menempuh jalan maut karena perahu yang mengantar pahlawan devisa itu berhenti agak jauh dari pantai untuk menghindari patroli keamanan setempat. Lalu, mereka berenang untuk sampai ke bibir laut dan menyusuri hutan bakau sebelum akhirnya bekerja secara tidak sah. Lebih malang, jika mereka membawa anak-anak, tentu peristiwa itu akan menjadi pengalaman traumatik bagi buah hati.

Kalau beruntung, mereka bisa mendapat majikan yang baik. Kalau buntung, mereka hanya membanting tulang dan mendapat hasil yang tidak seberapa karena diupah sebagai buruh tanpa dokumen resmi.

Belum lagi, sebagian mereka tidak mendapat informasi yang lengkap tentang pekerjaan yang bakal dilakukan di negara tetangga. Tidak pelak, pengalaman tetangga saya layak dicermati.

Dia menelan pil pahit karena harus bekerja di perkebunan sawit. Sebagai sopir, lelaki itu tidak terbiasa bekerja berat. Sementara itu, di sana dia harus memanggul tandan pohon penghasil minyak goreng di jalan yang terjal. Bekas hitam di bahu dan terkencing-kencing akibat beban berat menunjukkan betapa tidak mudah mengais rezeki di tanah rantau.

Sebenarnya, banyak juga TKI yang mempunyai kisah manis. Dengan mengantongi surat resmi, mereka bisa bekerja lebih tenang dan mendapat upah yang lumayan.

Tentu, mereka harus berkorban untuk bisa menyimpan uang lebih banyak. Misalnya, tiga pasang keluarga menyewa satu rumah bersama-sama untuk menghemat uang sewa.

Bukan hanya itu, banyak pekerja bangunan yang sering menambah waktu bekerja karena uang lemburnya menambah pundi-pundi duit. Malah, ada seorang TKI asal Madura menjadi penjual roti canai sukses, sebuah pekerjaan yang tidak biasa bagi buruh asal Pulau Garam.

Sikap Tegas

Nahas, untuk kali kesekian, buruh migran kita meregang nyawa di lautan ketika mereka ingin pulang ke rumah asal. Mereka layaknya manusia perahu asal Vietnam dahulu yang pernah mengarungi lautan untuk menemukan kehidupan baru yang jauh lebih aman bila dibandingkan dengan di negara asalnya akibat perang saudara.

Cerita pilu tentang mereka direkam dengan baik oleh Mary Terrell Cargill dan Jade Ngác Quang Huánh dalam Voices of Vietnamese Boat People: Nineteen Narratives of Escape and Survival. Hari ini manusia perahu itu adalah warga Indonesia yang sedang mencari rezeki untuk menafkahi keluarga. Begitu tragis!

Mengingat banyak jalur tikus masih sering digunakan dan menjadi alur mematikan, tentu badan intelijen kedua pihak telah mengetahui hal tersebut dengan saksama. Apalagi, penangkapan yang sering dilakukan pihak keamanan Malaysia berdasar atas laporan intelijen atau hasil risikan dalam bahasa tetangga.

Selanjutnya, pihak terkait kedua negara segera mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk menutup pintu masuk dan keluar tanpa kompromi. Tentu, pada waktu yang sama, Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) semakin gencar berkampanye tentang bahaya jalur tikus yang dilalui buruh migran ilegal. Akhirnya, sudah saatnya presiden turun tangan dengan menyatakan bahwa republik ini menghadapi darurat manusia perahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar