Menakar Integritas Pilkada
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
KOMPAS,
05 September 2015
Dalam rangkaian menyambut penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah serentak, Komisi Pemberantasan Korupsi meluncurkan program pilkada
berintegritas (31/8/2015). Kegiatan ini patut diapresiasi sebagai respons
atas maraknya praktik korupsi yang melibatkan banyak kepala daerah.
Sebagai bagian dari ikhtiar melawan korupsi, pemilihan kepala
daerah (pilkada) berintegritas tentu tak sebatas kegiatan sosialisasi, tetapi
juga bagaimana membangun sistem yang menopang agar penyelenggaraan pilkada
menghasilkan kepala daerah dengan integritas tinggi.
Setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati dalam rangka
mendesain penyelenggaraan pilkada yang berintegritas. Pertama, bagaimana
memastikan penyelenggaraan pilkada berjalan sesuai tahapan yang telah
ditetapkan berdasarkan UU. Dengan kata lain, secara prosedural seluruh
tahapan pilkada dilalui dan dipatuhi, baik oleh penyelenggara, peserta
pemilu, maupun pemangku kepentingan lain.
Tahapan inilah yang paling mudah dilalui sebab hanya berkaitan
dengan syarat-syarat formal dan sangat prosedural dalam setiap tahapan
pilkada. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pilkada yang lalu,
sesungguhnya kita cukup berpengalaman menuntaskan seluruh tahapan pilkada
hingga dilantiknya kepala daerah terpilih.
Kedua, membangun integritas pemilih. Inilah tahapan paling
krusial dalam penyelenggaraan pilkada. Harus diakui, penyelenggaraan pemilu
tidak memberikan porsi yang cukup bagi publik, khususnya pemilih, untuk
memberikan pilihan politiknya berdasarkan nilai-nilai integritas.
Penyelenggara dan peserta pemilu lebih sibuk mempersiapkan
hal-hal yang berbau teknis penyelenggaraan pilkada. Lalu, bagaimana dengan
nasib pemilih agar pilihannya diberikan kepada calon tertentu yang memiliki
integritas baik?
Selama ini, yang terjadi adalah pendangkalan pendidikan politik
yang berintegritas bagi pemilih. Penyelenggara sibuk menyosialisasikan dan
mengawal tiap tahapan pilkada, sementara peserta pemilu (calon kepala daerah)
sibuk mengumbar janji-janji politik yang dikemas manis dalam balutan visi
misi. Bagi sebagian besar pemilih, apa yang sudah dilakukan ini sangatlah
tidak cukup dan tidak memadai untuk bisa memandu dan menentukan pilihan
politiknya secara baik.
Kebiasaan kita dengan mengatakan ”biarkan pemilih yang menghukum
partai yang korup” lebih terlihat sebagai ungkapan emosional, tetapi tidak
meyakinkan. Sebab, pada kenyataannya integritas calon tidaklah menjadi acuan
utama pemilih dalam menentukan pilihan politiknya.
Alasannya cukup sederhana. Selama ini, kampanye mengenai
nilai-nilai integritas, termasuk soal antikorupsi, jauh dari bahasa yang
dipahami masyarakat pada umumnya. Bagi sebagian publik, persoalan korupsi
hanya dipandang sebagai urusan penegak hukum dan penyelenggara negara. Adapun
urusan soal pelanggaran terhadap pasal-pasal korupsi dianggap tidak ada
hubungannya dengan keseharian publik.
Perkuat
pemilih kritis
Oleh karena itu, sangat penting untuk memperkuat pemahaman
masyarakat terhadap dampak korupsi dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.
Harus ada kesepahaman bahwa korupsilah yang menyebabkan sulitnya mendapatkan
pendidikan, rumitnya akses terhadap fasilitas kesehatan yang memadai,
sulitnya mencari pekerjaan yang layak, hingga tingginya harga kebutuhan
pokok, dan seterusnya.
Seluruh persoalan ini harus diterjemahkan sebagai akibat dari
perilaku korup para penguasa, mafia, dan oligarki. Dengan begitu, persoalan
korupsi akan relevan dengan bagaimana publik menentukan pilihan politiknya.
Selain itu, publik juga harus paham bahwa ia bisa mengubah semua
persoalan di atas hanya jika menggunakan pilihan politiknya secara bijak.
Bahwa hanya dengan jalur politik (pemilu) publik bisa menggunakan
kekuasaannya untuk menyelesaikan problem sosial dan ekonomi yang selama ini
amat membebani.
Ketiga, integritas setelah penyelenggaraan pilkada. Tahapan ini
menjadi sangat penting bagaimana mengawal dan mengawasi proses
penyelenggaraan pemerintahan setelah penyelenggaraan pilkada. Pilkada akan
dianggap gagal jika tidak menghasilkan kepala daerah yang berhasil
menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Tahap ini akan jauh lebih mudah untuk dilakukan jika tahapan
kedua telah terkonsolidasi secara baik, di mana seluruh pemilih akan mengawal
dan mengawasi kepala daerah terpilih hingga berakhir masa jabatannya.
Pemilih tidak lagi terpecah menjadi kelompok yang memilih dan
tidak memilih calon tertentu, tetapi menjadi gerakan pemilih kritis yang
terkonsolidasi. Pemilih tidak lagi terfragmentasi sebagai ”haters” dan
”lovers” yang justru mencerminkan rendahnya integritas pemilih.
Sistem demokrasi yang telah disepakati dan kita jalankan ini
hanya akan jadi seremonial lima tahunan jika warga pemilih tidak terdidik
secara politik. Takaran integritas pilkada pada akhirnya hanya kesepakatan di
atas kertas, yang kemudian dibicarakan dalam ruang-ruang seminar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar