Demokratisasi Calon Tunggal
Tommi A Legowo ; Pendiri dan Peneliti Senior Formappi
|
KOMPAS,
05 September 2015
Sampai hari pengumuman hasil verifikasi pasangan calon kepala
dan wakil kepala daerah untuk pilkada serentak Desember 2015 oleh KPU
(24/8/2015), belum ada rancangan solusi bijaksana final masalah pasangan
calon tunggal.
Yang tersedia adalah penundaan pilkada hingga 2017 sesuai
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12/2015 tentang Pencalonan
Kepala Daerah. Mungkin pertimbangannya, rentang waktu dua tahun cukup untuk
mempersiapkan lebih dari satu pasangan calon, meski tak ada jaminannya.
Lemah
Dari sisi kekuatan peraturan, PKPU berada di bawah undang-undang
(UU). Pertimbangannya adalah hal-hal teknis pelaksanaan UU, bukan hal-hal
substansial dalam UU. Fenomena calon tunggal mengandung hal-hal substansial
yang alpa diselesaikan para legislator. Kealpaan terlihat dari tak ditemukan
satu pun rujukan pasal dan ayat dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada yang dapat
dijadikan dasar membuat peraturan menunda pilkada.
Pasal 48, 49, 52 menganjurkan penundaan dalam hitungan hari
untuk masa pendaftaran pasangan calon. KPU betul dalam mengantisipasi
persoalan ini, tetapi melangkah melampaui UU.
Dari masa laku peraturan, PKPU itu berjangka pendek, hingga
2017. Padahal, fenomena calon tunggal bukan spesifik pilkada serentak 2015.
Potensi permasalahan pernah ada di Pilkada Provinsi Gorontalo September 2006
dan mungkin muncul lagi dalam putaran pilkada serentak selanjutnya, bahkan
setelah pilkada serentak raya 2027.
Memang ada putaran-putaran bertahap menuju 2027. Namun, jika
kemunculan pasangan calon tunggal pada setiap putaran mengharuskan penundaan
pilkada pada putaran berikutnya, ini menghadirkan ”ketidakadilan politik”
bagi pasangan calon tunggal dan masyarakat pemilih. Sebab, jarak waktu
antarputaran pilkada berbeda-beda: putaran pertama Desember 2015, kedua
Februari 2017, ketiga Juni 2018, keempat 2020, kelima 2022, keenam 2023, dan
terakhir serentak 2027.
Karena sifatnya teknis, PKPU terlihat tidak mempertimbangkan
perlakuan adil terhadap hak-hak dasar warga negara, dalam hal ini hak memilih
dan dipilih, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak politik
dan pemerintahan.
Dalam perspektif negara republik demokrasi yang menghormati
hak-hak warga negara, pengabaian hak-hak tersebut membuat hak-hak dasar
jutaan warga negara tak terlayani jika solusi calon tunggal adalah penundaan
pilkada.
Mustahil melarang pasangan calon tunggal karena hanya akan
menjadi pintu banyak siasat politik sekadar memenuhi persyaratan prosedural
dan atau untuk kepentingan pragmatis. Lebih buruk lagi, pelarangan ini
berpotensi menghadirkan ancaman darurat nasional ketika banyak daerah dalam
pilkada serentak ”dibuat” gagal menghadirkan lebih dari satu pasangan calon.
Solusi
Solusi bijak-final masalah calon tunggal memang bisa terhambat
oleh preposisi deterministik anti calon tunggal. Pertama, prinsip demokrasi
meniscayakan keberagaman pilihan; calon tunggal potensial meniadakan
keberagaman.
Kedua, prinsip integritas pemilu meniscayakan proses dan hasil
pilkada yang bersih dan absah; calon tunggal dicurigai muncul dari proses
kotor yang keabsahannya diragukan.
Ketiga, prinsip tata kelola pemerintahan yang baik meniscayakan
pengelolaan pemerintahan secara demokratis; calon tunggal bisa melahirkan
pemimpin pemerintahan anti demokrasi.
Preposisi yang membentuk sikap anti calon tunggal perlu diubah
untuk membuka jalan penyelesaian bijak, menyeluruh, dan final. Adakah metode
yang memastikan bahwa calon tunggal terpilih secara absah sebagai pemimpin
pemerintahan daerah lewat proses yang mematuhi prinsip pilkada demokratis?
Ada jalan untuk mengembangkan metode itu. Pertama, jika pilkada
demokratis mensyaratkan proses bersih mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai
pengumuman hasil, calon tunggal harus dipastikan muncul dari proses bersih
seperti itu.
Kedua, jika pilkada demokratis menuntut keberagaman pilihan,
calon tunggal harus dipastikan lahir dari proses yang tidak anti keberagaman.
Artinya, calon tunggal muncul dari proses prakontestasi yang terbuka
menawarkan jalan untuk hadirnya banyak pilihan, bukan hasil rekayasa yang
menghalangi munculnya pasangan calon pesaing.
Ketiga, perlu institusi tepercaya untuk memverifikasi proses
lahirnya calon tunggal yang bersih dan memberikan keabsahan atas ”kebersihan”
calon tunggal.
Bawaslu
Dalam penyelenggaraan pilkada serentak, Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) di bawah supervisi Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu tepat
untuk tugas ini.
Mengabsahkan calon tunggal tak berarti menyelesaikan proses
pilkada. Proses ini harus berlanjut dengan kampanye. Langkah ini penting
untuk mengenalkan calon tunggal kepada publik.
Kelima, meski tanpa pesaing, pemberian suara seyogianya
dilakukan. Tujuannya bukan membatalkan keabsahan keterpilihan calon tunggal,
melainkan menyatakan tingkat keabsahannya di hadapan pemilih (rakyat). Belum
tentu calon tunggal didukung mayoritas mutlak pemilih.
Keenam, peluang calon tunggal menjadi pemimpin pemerintahan
daerah yang anti demokrasi harus dicegah dengan berbagai peraturan
perundang-undangan yang membatasi dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan
di daerah.
Ketujuh, langkah fundamental lain terkait pembaruan
sumber-sumber rekrutmen kepemimpinan publik. Masyarakat adalah sumber
rekrutmen untuk calon independen. Kegagalan parpol menyediakan kader-kader
kepemimpinan pemerintahan merupakan kesalahan fatal yang tak tertoleransi
dan, karena itu, harus ada sanksi berat.
Terakhir, perppu tentang calon tunggal dengan alasan darurat
hak-hak politik warga negara dan kandungan substansi demokratisasi calon
tunggal mendesak dilahirkan sebagai penyelesaian masalah yang menyeluruh dan
final untuk tegaknya keadilan warga negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar