Politik-Ekonomi Negara
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha
|
KOMPAS,
04 September 2015
Di luar perkiraan banyak orang, sampai sembilan bulan terakhir
ini pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak terkendala ”politik”. Yang
dimaksud ”politik” di sini adalah relasi dan dinamika hubungan antara DPR
(parlemen) dan lembaga kepresidenan.
Lalu, apa yang sebenarnya dihadapi Indonesia dewasa ini?
Sabtu, 22 Agustus lalu, Kompas memberitakan bahwa sehari sebelumnya
(21/8), ”investor asing membukukan penjualan bersih Rp 770,1 miliar.”
Artinya, telah terjadi ”pelarian modal” dari pasar saham lebih dari setengah
triliun hanya dalam satu hari. Sejak awal 2015, Kompas menyatakan aksi
”pelarian modal” ini mencapai Rp 4,379 triliun. Secara keselu- ruhan, The Wall Street Journal (25/8)
menyatakan, sejak Januari-Juli 2015 sebesar 26 miliar dollar AS telah keluar
dari pasar negara-negara berkembang. Ini menjelaskan mengapa nilai tukar
rupiah terjungkal hingga Rp 14.000 per dollar AS dan kapitalisasi pasar saham
Indonesia pekan lalu turun dari Rp 4,595 triliun menjadi Rp 4,490 triliun.
Apa kaitannya ini dengan dunia politik? Dalam The Economics of Money, Banking and
Financial Markets (1997), Frederic S Mishkin menyatakan bahwa pasar modal
sangat penting dalam aktivitas ekonomi. Mengapa? Karena melalui pasar modal
korporasi dan pemerintah mampu meminjam untuk membiayai aktivitas mereka.
Dan, ini penting,melalui pasar modal itu juga tingkat suku bunga ditentukan.
Pentingnya penentuan suku bunga adalah karena pada tingkat
perorangan, tingginya tingkat bunga mencegah seseorang membeli rumah atau
mobil karena cost of money (bunga
kredit) tinggi. Sebaliknya, suku bunga tinggi mendorong orang menabung karena
berharap tambahan laba dari bank. Secara keseluruhan, kesehatan ekonomi akan
terpengaruh dengan kebijakan suku bunga tinggi. Sebab, kebijakan itu bukan
saja mendikte keinginan konsumen berbelanja atau menabung, tetapi juga
keputusan investasi di dalam dunia usaha. Kesimpulannya, aksi ”pelarian
modal” di pasar modal Indonesia bukan saja mencerminkan sesuatu yang tak
positif, tapi juga telah memaksa Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral,
mempertahankan suku bunga tinggi di dalam rapat dewan gubernur baru-baru ini.
Berkaitan
dengan politik
Akibat melemahnya pasar modal dan tingginya suku bunga adalah
kelangkaan likuiditas. Sementara yang pertama menyebabkan kekeringan dana
non-perbankan yang bisa disalurkan kepada korporasi dan pemerintah, yang
kedua menimbulkan credit crunch—seretnya
aliran kredit. Ujungnya, kinerja ekonomi melemah dan sasaran pertumbuhan tak
bisa dicapai.
Dalam situasi legitimasi pemerintah tergantung keberhasilan
pembangunan material, meredupnya kinerja pasar modal berkaitan dengan
politik. Sebab, jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), ”pelarian modal”
dan tingginya suku bunga segera terkonversikan ke dalam market players’
political vote (pilihan politik para pemain pasar), justru setelah siklus
pemilihan politik riil telah berakhir. Berbeda umumnya dengan ”pemilih
politik”, market players’ political
vote secara teknikal lebih bersifat kalkulatif. Kecuali kemampuan
teknikal dan profesionalisme pemerintah, ideologi dan popularitas tidak
dijadikan landasan pertimbangan.
Lalu, apa hubungannya dengan negara, sebagaimana judul artikel
ini?
Sabtu, 22 Agustus, The Jakarta Post memberitakan gambaran tak
positif di pasar modal itu berkaitan pelemahan mata uang Tiongkok, yuan, dan
kemungkinan Amerika Serikat menaikkan suku bunga pada September ini. Selasa,
25 Agustus, koran yang sama bahkan membuat judul khusus atas peristiwa
moneter ini: Rupiah Slides Past 14,000 per Dollar. Mengingat apresiasi dollar
AS terhadap rupiah secara tak berpreseden—sejak krisis 1997-1998— ini segera
berpengaruh terhadap otoritas politik domestik, tak bisa termungkiri bahwa
kedaulatan negara otomatis terkurangi dengan peristiwa moneter ini.
Dalam The Retreat of the
State: The Diffusion of Power in the World Economy (1996), Susan Strange
melihat gejala kurang otonomnya negara telah berlangsung sejak ribuan tahun
lalu. Di masa Mesopotamia dan Amerika Tengah, negara tergantung
takhayul-takhayul ahli agama. Maka, mengharapkan otonomi negara dalam
perkembangan ekonomi internasional saat ini jadi tak realistis. Sejak lama,
aktor-aktor non-negara memainkan peran lebih penting dalam tiga struktur
utama politik-ekonomi internasional: produksi, finansial, dan pengetahuan.
Aktor-aktor non-negaralah yangmenentukan dalam memilih siapa dapat akses
kredit, yang beruntung dan rugi dalam perjudian finansial internasional, dan
menentukan pengetahuan apa yang harus dicari, oleh siapa dan kepada siapa
pengetahuan itu boleh atau tidak boleh dikomunikasikan.
Pengurangan otonomi negara dalam peristiwa moneter internasional
ini bahkan melanda AS dan Tiongkok sendiri. Berbeda jauh dengan BI yang
mengambil keputusan tingkat suku bunga dalam sekali rapat dewan gubernur, The Wall Street Journal (21-23
Agustus) memberitakan Gubernur The Fed Janet Yellen masih terombang-ambing
dalam mengambil keputusan menaikkan suku bunga jangka pendek karena di
samping kalkulasi dampaknya pada perekonomian domestik, mempertimbangkan efek
devaluasi yuan.
Bank sentral Tiongkok, The
People’s Bank of China (PBOC), di pihak lain, berusaha menurunkan
cadangan minimum wajib (reserve
requirement) perbankan setengah persen guna melepaskan dana dalam bentuk
kredit sebesar 678 miliar yuan (106.2 miliar dollar) ke dalam
perekonomiannya. Tetapi, pada 24 Agustus, koran yang sama memberitakan dilema
PBOC atas efek kebijakan uang longgar ini. Yuan yang telah terdepresiasi
beberapa pekan lalu akan kian tertekan dengan penggelontoran kredit dalam
jumlah raksasa itu.
Di sini berlaku apa yang dinyatakan Jonathan David Aronson pada
1977. Dalam bukunya Money and Power:
Bank and the World Monetary System, Aronson berkata bahwa gerak tak
terkontrol pasar modal internasional akibat tindakan bank telah membatasi
kemampuan pemerintah secara politik mencegah penyesuaian-penyesuaian kurs
valuta yang tak dikehendaki, di mana bank tak bisa dipersalahkan. Dua negara
adidaya dunia di atas bahkan tidak otonom menentukan kebijakan moneternya
sendiri.
Jika AS dan Tiongkok saja tak mampu tegak secara otonom dalam
peristiwa moneter itu, apalagi Indonesia. Mengikuti kriteria negara kuat Joel
Migdal, Indonesia sulit dimasukkan ke dalamnya. Dalam karyanya Strong Societies and Weak States
(1988), Migdal memasukkan kemampuan penetrasi ke dalam masyarakat, pengaturan
hubungan-hubungan sosial, menggali sumber daya dan menggunakan sumber-sumber
daya itu dalam cara yang telah ditetapkan atau direncanakan sebagai negara
kuat. Dengan melihat persebaran jaringan birokrasi dan lembaga-lembaga
penegakan hukum, kriteria pertama dan kedua ”relatif” bisa ditempelkan ke
dalam kinerja negara di Indonesia.
Namun, kriteria ketiga dan keempat bersifat problematik. Sebab,
dalam hal mengejar target pajak, satu hal tergolong dalam ”kemampuan
penggalian sumber daya”, misalnya, tak pernah terpenuhi dengan sempurna.
Apalagi yang keempat, di mana kemampuan kontrol dan penggunaan efektif
sumber-sumber daya yang telah tersedia pun tak mampu dilaksanakan. Secara mencolok
ini terlihat pada menganggurnya dana yang dialokasikan ke pemerintah daerah
sebesar Rp 273,5 triliun. Maka, jangan ditanya kemampuan jangkauannya atas
dana undisbursed loan (kredit yang telah disetujui, tapi belum dimanfaatkan)
di sektor swasta yang sampai April lalu mencapai Rp 1.163 triliun.
Menghadirkan
negara
Pertanyaannya adalah apakah ada langkah yang harus ditempuh dan
apa implikasi dari langkah yang diambil itu?
Melalui Kompas (26/8), Presiden Jokowi mendorong rakyat untuk
optimistis. Sebab, seluruh instrumen negara, seperti Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), BI, menteri-menteri koordinator, telah bergerak. Dan, infrastruktur
peraturan yang menghambat jalannya perekonomian telah dan sedang dipangkas.
Apakah langkah-langkah ini tegak pada landasan strategis?
Jawabannya adalah ”ya”. Berbeda dengan masa akhir pemerintahan
Soeharto (1997-1998), langkah kebijakan Presiden Jokowi berada pada posisi
lebih strategis: absennya pergolakan politik domestik. Di samping memperoleh
dukungan penuh Koalisi Indonesia Hebat, dengan logika berada di dalam perahu
yang sama, tak ada satu pun pihak oposisi Koalisi Merah Putih merumitkan
politik domestik. Basis politik penyelesaian masalah, dengan demikian, berada
di pihak Presiden Jokowi.
Mengambil pelajaran dari Great
Depression yang dimulai pada 1929, John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest and
Money (1936) menjelaskan fenomena krisis sering berlangsung dengan
tiba-tiba dan, ini penting, violently
(keras dan menyakitkan). Salah satu jalan mengatasi krisis itu adalah sebuah
frasa yang diperkenalkannya: the
propensity to consume (kecenderungan berbelanja). Dari kategori besar
kecenderungan itu, dua hal yang perlu kita lihat dalam konteks Presiden
Jokowi saat ini.
Pertama, kecenderungan belanja itu ditentukan tingkat upah
seseorang. Semakin tinggi upah akan semakin besar kemungkinan berbelanja dan
sebaliknya. Dengan asumsi tindak belanja mendorong kinerja ekonomi,
menstabilkan penyerapan tenaga kerja adalah tindakan yang tepat.
Persoalannya, bagaimana menjaga kestabilan itu jika perekonomian
meredup dan suku bunga tinggi sehingga aktor ekonomi swasta tak
mauberinvestasi? Di sini, Keynes tak berharap kepada sektor swasta. ”I conclude that the duty of ordering the
current volume of investment cannot safely be left in private hands.”
Maka, penting melihat hal kedua: peran negara melalui kebijakan fiskal. Di
sini, dua hal perlu dilihat. Pertama, nada ”sosialistis” Keynes dalam
penanganan fiskal: ”Jika kebijakan fiskal digunakan sebagai alat khusus bagi
pembagian pendapatan yang lebih merata,” ujarnya, ”pengaruhnya atas kenaikan
aksi belanja sangat nyata.” Kedua adalah belanja pemerintah untuk investasi.
Di sini, dalam keadaan di mana sektor swasta tak mau bertindak, maka ujar
Keynes, ”mengambil tanggung jawab lebih besar secara langsung
mengorganisasikan investasi.”
Dalam bukunya Keynes and After (1988), Micheal Stewart melihat
justru AS, dan bukan Inggris, yang berbagi pandangan dengan Keynes. Walau
dianggap benteng kapitalis, AS mengerahkan sumber daya fiskal melaksanakan
New Deal pada 1933 di bawah Presiden Roosevelt. Sebuah program raksasa yang
dilakukan negaramembangun infrastruktur semacam ”padat karya” yang mendorong
kenaikan upah untuk konsumsi, yang pada akhirnya membujuk kaum swasta berinvestasi.
Program yang menghadirkan negara ke dalam perekonomian secara lebih dalam
ini, walau mulanya dianggap tindakan bunuh diri, berhasil meletakkan dasar
penyelesai krisis ekonomi yang ditelurkan Great
Depression.
Kurang lebih, dengan berbagai variasinya, kondisi inilah yang
menjadi setting politik-ekonomi negara di bawah Jokowi dewasa ini. Maka,
program pembangunan infrastruktur yang dibebankan kepada Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang anggarannya mencapai Rp 118,5
triliun pada dasarnya adalah langkah strategis negara, sebagaimana dibuktikan
AS pada 1930-an. Ramifikasi pengaruh konstruktif pembangunan infrastruktur
ini akan melancarkan gerak roda perekonomian.
Jika program ini berhasil, di tengah absennya partisipasi
swasta, negara di bawah Jokowi akan tampak lebih dominan di dalam
perekonomian tanpa harus melakukan pendekatan keamanan, seperti di era Orde
Baru. Di sini, demokrasi dan pembangunan ekonomi akan berjalan seiring. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar