HAM Tenggelam, Demokrasi pun Kelam
Mohammad Afifuddin ; Peneliti Pusat Studi Pembangunan, Ekonomi,
dan Kebijakan (PuSPEK)
|
JAWA
POS, 10 September 2015
SEPTEMBER, tampaknya, masih menjadi bulan
suram bagi supremasi HAM. Sebab, pada bulan ini, ada dua peristiwa kelam yang
terus menjadi ”hantu” bagi pemerintah namun tak kunjung dituntaskan. Yang
pertama adalah pembunuhan aktivis penegakan HAM Munir Said Thalib 7 September
2004 dan kasus pembantaian warga Tanjung Priok pada 12 September 1984.
Meski banyak contoh lain kasus pelanggaran HAM
berat di Indonesia, dua kasus di atas bisa dimaknai sebagai ”uji kasus” atas
keseriusan pemerintah dalam menghargai HAM di negeri ini. Sebab, dalam dua
kasus itu, terkandung tingkat konspirasi kelas wahid dan ”dampak sistemik”
bagi eksistensi elite-elite politik (dan militer) di negeri ini.
Karena itu, jika rezim kali ini berani
membongkar tuntas dua kasus tersebut, niscaya akan jadi preseden baik untuk
menuntaskan kasus pelanggaran HAM lainnya. Namun, harapan para korban HAM
itu, sepertinya, masih akan menggantung. Pasalnya, Presiden Joko Widodo
(Jokowi) belum menunjukkan sikap yang jelas dalam memandang kasus-kasus HAM
pada masa lalu.
Ketidakpedulian SBY
Keberanian Jokowi sedang diuji dalam konteks
ini. Apakah dia lebih progresif dari pada SBY atau malah mengulangi lagu lama
SBY. Kita tahu, saat kampanye Pemilu 2009, SBY berjanji menuntaskan kasus
pembunuhan Munir.
Tiga tahun kemudian (25 Juli 2012), SBY
kembali membuat pernyataan yang meminta jaksa agung mempelajari berkas hasil
penyelidikan Komnas HAM atas kasus 1965 dan penembakan misterius 1982–1985.
Meski banyak menebar janji, SBY justru
bertindak kontra produktif. Jangankan menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM berat pada masa lampau dan menuntaskan kasus pembunuhan
Munir, untuk hal kecil saja, SBY sering lalai. Misalnya, dia telat merespons
berakhirnya masa tugas sebelas komisioner Komnas HAM periode 2007–2012 pada
30 September 2012.
HAM dan Demokrasi Beku
Sejak puluhan tahun silam, dua ilmuwan politik
ternama, George Sorensen dan Samuel Huntington, memperingatkan bahwa laju
demokrasi tidak selalu linier. Level kualitas demokrasi itu juga fluktuatif.
Jika Huntington memberikan sinyalemen adanya arus balik demokratisasi,
Sorensen mewanti-wanti munculnya gejala demokrasi beku (froozen democracy).
Dalam buku Democracy
and Democratization: Process and Prospect in a Changing World (1993),
Sorensen menggambarkan kondisi masyarakat saat sistem politik demokrasi yang
sedang bersemi berubah menjadi layu karena ber bagai kendala. Sorensen
mengembangkan empat indikator demokrasi beku; 1) belum kukuhnya perekonomian,
baik di level lokal maupun nasional; 2) macetnya proses pembentukan civil society; 3) konsolidasi
sosial-politik yang tidak pernah solid dan cenderung semu; 4) penyelesaian
masalah-masalah sosial-politik-hukum dan HAM warisan rezim-rezim terdahulu
yang tidak pernah tuntas.
Secara faktual, demokrasi di Indonesia nyaris
beku. Selain demokrasi berjalan hanya mengikuti prosedur (demokrasi
prosedural), empat indikasi yang disampaikan Sorensen terjadi di negeri ini.
Pertama, di sektor ekonomi, kita melihat
akhir-akhir ini indikator makro ekonomi kita sedang goyah. Kondisi diperparah
pertumbuhan ekonomi tanpa disertai pemerataan kesejahteraan.
Bung Hatta pernah berujar, demokrasi politik
itu harus seiring sejalan dengan demokrasi ekonomi. Dibukanya akses
pemerataan hakhak kebebasan berpendapat dan bersuara (politik) kudu dibarengi
dengan pembukaan akses pemerataan kesejahteraan ekonomi. Bagi Hatta, negara
itu ”panitia kesejahteraan”. Kita menggelar pemilu tak ubahnya memilih ”ketua
panitia” yang bertugas menyusun program-program yang bisa menyejahterakan
kita.
Kedua, pembentukan karakter kewargaan (citizenship) yang kukuh juga belum
berhasil. Pemerintah belum punya master plan untuk membangun karakter kelas
menangah Indonesia –yang menjadi prasyarat terbentuknya civil society yang kuat– agar punya kualitas dan tak hanya menang
secara kuantitas.
Ketiga, konsolidasi demokrasi selama ini
justru mengarah pada penguatan oligarki dan kartelisasi politik dari
konsorsium elite ekonomi-politik. Dampaknya, laju politik-demokrasi di
Indonesia berjalan nyaris tanpa sosok negarawan.
Keempat, bukannya tuntas menyelesaikan
kasus-kasus hukum dan HAM pada masa lalu, rezim Yudhoyono malah ”memproduksi”
banyak kasus pelanggaran HAM baru. Contoh, kerusuhan Bima dan Mesuji.
Dari penjelasan tersebut, muncul pertanyaan:
apa relevansi penegakan supremasi HAM dan demokrasi? Saya akan menjawabnya
dengan perumpamaan. Salah satu perbedaan mendasar antara agama dan demokrasi
adalah, jika agama hadir menjanjikan surga, demokrasi justru demi
menghindarkan penganutnya dari ”neraka”.
Maksudnya, jika kita meyakini dan menaati
asas-asas demokrasi, semestinya kita tidak akan mengalami penyiksaan fisik,
kekerasan, tirani, dan praktik-praktik dehumanisasi lainnya. Sebab, demokrasi
mengajarkan penyelesaian sengketa dan perbedaan melalui jalan dialog,
musyawarah, dan pengambilan keputusan yang dibingkai dalam prinsip-prinsip
konstitusional.
Begitulah analoginya. Demokrasi adalah sistem
yang bisa mendukung tegaknya HAM, sementara HAM adalah basis kita mendapatkan
hak-hak demokratis. Karena itu, jika ada presiden yang terkesan ”mengebiri”
HAM dan beretorika atas nama demokrasi dan HAM, sesungguhnya dia mengingkari
esensi demokrasi.
Karena itu, ketegasan dan kehadiran pemimpin
untuk serius menegakkan HAM akan jadi preseden baik dan membuka jalan terang
menuju demokrasi substantif. Tanpa tegaknya substansi demokrasi, niscaya kita
akan terpelanting pada arus balik demokrasi sebagaimana dipostulatkan
Huntington maupun membekunya demokrasi seperti dijelaskan Sorensen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar