11 September, Terorisme, dan Peradaban Masa Depan
Muhammadun ; Analis Studi Politik di Lembaga Ta’lif wan
Nasyr PW NU Jogjakarta
|
JAWA
POS, 11 September 2015
TRAGEDI 11 September 2001 menjadi
ingatan yang sangat memilukan: mencekam dan penuh tangisan. Tragedi 11/9 itu
menjelma menjadi ’’kuburan’’ yang membuat manusia saling mencaci, meneror,
bahkan menumpahkan darah saudara sendiri.
Sudah 14 tahun berlangsung. Tetapi, pertumpahan darah atas nama teror masih berlangsung kolosal di berbagai belahan dunia. Indonesia yang sudah mempunyai BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tetap saja diliputi bara yang mencekam ketika ancaman terus datang silih berganti. Masa depan peradaban umat manusia sejak tragedi 11/9 mengalami perubahan yang mencolok. Dialektika antar peradaban mandek. Isu terorisme yang mencekam membuat curiga berlebihan yang sangat tidak produktif.
Untung saja, manusia bergerak dinamis sehingga terjadi
pergeseran paradigma terkait dengan terorisme. Yang sebelumnya menjadi
penyulut angkara murka menjadi perekat antar sesama. Tidak sedikit gelombang
manusia yang mengkaji agama dengan sesungguhnya untuk mencari makna
substansial ajaran agama yang dibajak kaum teroris-radikalis.
Salah satu gerak perekat itu dilakukan Nahdlatul Ulama dengan
gagasan Islam Nusantara. Gagasan tersebut berusaha menghadirkan tafsir Islam
di Nusantara untuk berdialektika dalam peradaban dunia.
Karakteristik Nusantara bisa menjadi alternatif dalam dialektika
peradaban global. Sebab, tumbuhnya peradaban tidak bisa dilepaskan dari
karakteristik lokal dan regional. Islam Nusantara hadir menjadi ’’oase’’
peradaban masa depan di tengah derasnya ’’arus air bah’’ bernama terorisme
yang membanjiri dunia.
Menurut Rais Am PB NU KH Ma’ruf Amin (2015), ada pilar utama
Islam di Nusantara dalam berdialektika dengan peradaban global. Pertama,
pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat ( tawassuth).
Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak
tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis adalah berpikir secara kaku
pada nash ( al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi
dalam memahami teksteks Alquran.
Salah satu pernyataan Imam alQarafi, ulama ahli ushul fiqh,
berbunyi: ’’ al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi
maqasidihi’’, pembacaan yang statis (tanpa tafsir) pada dalil-dalil adalah
kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Yang
dimaksud liberal adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengabaikan metodologi
yang disepakati di kalangan ulama.
Kedua adalah gerakan. Artinya, semangat Islam Nusantara
ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan
perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jam’iyah (perkumpulan) dan jama’ah
(warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Inovasi
pun tak cukup, namun juga harus dibarengi sikap aktif dan kritis.
Ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara menekankan bahwa segala
hal yang dilakukan harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandasan fikih
dan ushul fiqh; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah
yang diperintah Alquran dan sunah Nabi.
Peradaban Masa Depan
Masa depan peradaban harus ditegakkan bersama. Tragedi 11/9
menjadi pelajaran penting bagi umat manusia bahwa peradaban yang damai
merupakan impian bersama. Kajian, diskusi, seminar, dan lainnya yang terkait
dengan masa depan peradaban memang sangat dibutuhkan. Tetapi, aksi nyata
justru menjadi agenda yang paling ditunggu dunia.
Menurut Prof Said Aqil Siradj (2015), ada tiga agenda bersama
yang bisa digerakkan untuk membangun peradaban masa depan. Pertama,
menyerukan komitmen warga muslim untuk bersama-sama mengentas kemiskinan.
Harakah islamiyyah (gerakan keislaman) perlu difokuskan untuk menghadirkan
kesejahteraan.
Kemiskinan akan mendorong umat menjadi lemah, dekat dengan
kekufuran. Indonesia sebenarnya kaya raya, dikenal sebagai negeri zamrud
khatulistiwa. Di dalamnya terdapat pelbagai kekayaan alam: ragam fauna,
tumbuhan, mutiaramutiara, hingga material tambang di perut bumi. Itulah yang
harus dikelola sebagai kekayaan bangsa.
Kedua, kebaikan-kebaikan yang menghadirkan harapan. Islam
menegaskan pentingnya pengetahuan untuk membangun peradaban.
Revolusi mental bangsa hanya dapat digapai dengan moral dan
keteladanan. Gerakan mencerdaskan otak, menyegarkan mental, dan menjernihkan
hati akan mendorong lahirnya individu yang saleh sekaligus masyarakat yang
saleh. Bangsa yang paling mulia di hadapan Allah adalah bangsa yang bertakwa.
Gerakan intelektual dan strategi kedaulatan haruslah diiringi dengan
kejernihan hati, kecerdasan moral, dan keteguhan mental.
Ketiga, menjadi jembatan islah, rekonsiliasi antarmasyarakat.
Islam mengajarkan pentingnya maslahah ‘ammah, kemaslahatan bagi seluruh umat
manusia. Islam tanpa pretensi politik praktis harus selalu berperan menjadi
perekat bangsa dan mengawal keutuhan NKRI.
Ingat, perdamaian adalah hak semua bangsa. Jadi, terorisme tidak
layak bersemayam dalam kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar