Widow’s
Cruise, Currency Wars,
dan
Umar bin Khattab
Adiwarman A Karim ; Peneliti
di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
15 Desember 2014
John Maynard Keynes
memperkenalkan istilah widow's cruse untuk pertama kalinya dalam ilmu
ekonomi. Tepatnya di halaman 139 buku Treatise
on Money, Keynes mengambil kisah Elijah dari bani Israil yang menumpang
dengan seorang janda, kemudian menjadikan bejana janda itu selalu penuh
dengan minyak yang tidak pernah habis.
Investasi yang terus meningkat
pada satu titik akan jenuh dan menyebabkan over-investment yang selanjutnya
akan membawa perekonomian pada keadaan tingkat tabungan neto mencapai titik
nol. Keynes mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi ada batasnya karena
investasi pun mengalami tingkat keuntungan yang semakin menurun (diminishing returns). Pertumbuhan
ekonomi bukanlah widow\'s cruse yang da - pat terus meningkat tanpa batas.
James Tobin, pemenang Nobel
ekonomi tahun 1981, mengulang penggunaan istilah widow's cruse ini dalam
risetnya "Commmercial Banks as
Creators of Money". Tobin mengingatkan, bank-bank, baik secara
individu maupun kolektif, tidak memiliki keajaiban widow's cruse. Bank
sebagai lembaga perantara keuangan dibatasi oleh skala ekonomi para pihak, di
antaranya, penyimpan dana dan pengguna dana. Bahkan, dalam pidato
penganugerahan Nobelnya yang berjudul "Money
and Finance in the Macroe conomic Process", Tobin menekankan
pentingnya keseimbangan pertumbuhan sektor keuangan dengan riil. Pertumbuhan
sektor keuangan tanpa kendali sektor riil hanya akan memaksa pemerintah
akhirnya melemahkan nilai mata uang itu sendiri.
Perang mata uang tidak dapat
dihindarkan. Bank Sentral Jepang melakukan qualitative quantitative easing (QQE) dengan meningkatkan
pembelian surat berharga exchange
traded funds, real estate investment trusts, menambah jangka waktu
obligasi pemerintah, dan menambah ekspansi moneternya. Langkah ini efektif
melemahkan yen terhadap dolar AS sebesar 15 persen dalam tahun berjalan dan
mendorong ekspor Jepang naik 9,6 persen dalam setahun, dua kali lipat
daripada ekspektasi pasar sebelumnya.
Korea Selatan langsung terpukul
akibat kebijakan Jepang ini. Yen Jepang melemah hingga 20 persen terhadap won
Korea. Pertumbuhan ekspor Korsel melambat hanya pada 2,5 persen dari yang ditargetkan
semula mencapai 6,9 persen. Bank Sentral Korsel menurunkan tingkat suku bunga
untuk menyelamatkan ekonomi, diperkirakan pada tingkat 1,75 persen.
Cina juga mengalami hal yang
sama. Menguatnya Renmibi Cina terhadap dolar AS dan terhadap yen Jepang telah
mendorong Bank Sentral Cina menurunkan tingkat suku bunga kredit 0,4 persen
menjadi 5,6 persen, tingkat suku bunga simpanan 0,25 persen menjadi 2,75
persen.
Barry Eichengreen, guru besar
ekonomi Universitas Bekeley, dan Poonam Gupta, ekonom Bank Dunia, dalam riset
mereka, "Tapering Talk: The Impact
of Expectations of Reduced Federal Reserve Security Purchases on Emerging
Markets", menunjukkan dampak signifikan kebijakan Bank Sentral AS
terhadap nilai mata uang Brasil, Rusia, India, Indonesia, Cina, Afrika Selatan,
dan Turki. Sepanjang April-Juli 2013, semua mata uang negara itu melemah
terhadap dolar AS, kecuali Cina, karena mematok nilai tukarnya.
Eichengreen dan Gupta
menyimpulkan, ukuran-ukuran makroekonomi seperti defisit anggaran, utang
negara, tingkat cadangan devisa, dan pertumbuhan ekonomi, tidak terkait
langsung dengan ketahanan ekonomi terhadap goncangan eksternal. Artinya, negara
yang memiliki kinerja makroekonomi yang bagus tetap memiliki risiko mata uang
yang selanjutnya dapat memukul sendi-sendi perekonomian lainnya. Mereka meng
identifikasi tiga hal penting dalam menghadapi gejolak eksternal. Pertama,
nilai tukar mata uang yang tidak direkayasa. Kedua, defisit neraca pembayaran
yang dikelola baik. Ketiga, skala pasar keuangan negara tersebut.
Itu sebabnya, Joseph Stiglitz,
guru besar ekonomi Universitas Columbia, peraih Nobel Ekonomi 2001, menegas
kan bahwa yang diperlukan dunia adalah kerja sama menjaga nilai tukar mata
uang, bukan malah perang mata uang dengan saling mendevaluasi.
Pada zaman Umar bin Khattab RA,
tepatnya pada 17-18 H, terjadi krisis ekonomi panjang yang dikenal sebagai
Tahun Ramadah, tahun abu karena padang pasir berubah menjadi warna putih
seperti abu akibat kemarau yang panjang. Selama dua tahun tidak ada hujan,
musim paceklik panjang. Ternak mati, 60 ribu kaum Arab Badui mendatangi
Madinah karena kelaparan, berbagai penyakit mewabah.
Umar RA segera memperbaiki necara
pembayaran dengan mendatangkan bantuan dari Mesir, Irak, dan wilayah Islam
lainnya. Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah mengirim 3.000 unta membawa gandum,
gubernur Saad bin Abi Waqash mengirim 3.000 unta membawa perlengkapan musim
dingin, gubernur Abu Musa al-Asy'ari mengirim 2.000 unta membawa makanan dan
roti, gubernur Amr bin Ash mengirim 3.000 unta membawa makanan.
Arab Badui yang mendatangi
Madinah disediakan makanan setiap hari bersama dengan penduduk Madinah sehingga
persaudaraan di an tara mereka semakin terjalin. Umar RA tidak ingin
datangnya bantuan memanjakan rakyat karena mereka tidak tahu sampai kapan
musim paceklik akan berakhir. Beliau memerintahkan untuk makan daging
berselang hari, mengajarkan metode masak dengan lebih sedikit gandum,
mengurangi porsi makan hanya setengah porsi, dan tidak belanja yang tidak
diperlukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar