Rabu, 17 Desember 2014

Widow’s Cruise, Currency Wars, dan Umar bin Khattab

Widow’s Cruise, Currency Wars,

dan Umar bin Khattab

Adiwarman A Karim  ;   Peneliti di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
REPUBLIKA,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


John Maynard Keynes memperkenalkan istilah widow's cruse untuk pertama kalinya dalam ilmu ekonomi. Tepatnya di halaman 139 buku Treatise on Money, Keynes mengambil kisah Elijah dari bani Israil yang menumpang dengan seorang janda, kemudian menjadikan bejana janda itu selalu penuh dengan minyak yang tidak pernah habis.

Investasi yang terus meningkat pada satu titik akan jenuh dan menyebabkan over-investment yang selanjutnya akan membawa perekonomian pada keadaan tingkat tabungan neto mencapai titik nol. Keynes mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi ada batasnya karena investasi pun mengalami tingkat keuntungan yang semakin menurun (diminishing returns). Pertumbuhan ekonomi bukanlah widow\'s cruse yang da - pat terus meningkat tanpa batas.

James Tobin, pemenang Nobel ekonomi tahun 1981, mengulang penggunaan istilah widow's cruse ini dalam risetnya "Commmercial Banks as Creators of Money". Tobin mengingatkan, bank-bank, baik secara individu maupun kolektif, tidak memiliki keajaiban widow's cruse. Bank sebagai lembaga perantara keuangan dibatasi oleh skala ekonomi para pihak, di antaranya, penyimpan dana dan pengguna dana. Bahkan, dalam pidato penganugerahan Nobelnya yang berjudul "Money and Finance in the Macroe conomic Process", Tobin menekankan pentingnya keseimbangan pertumbuhan sektor keuangan dengan riil. Pertumbuhan sektor keuangan tanpa kendali sektor riil hanya akan memaksa pemerintah akhirnya melemahkan nilai mata uang itu sendiri.

Perang mata uang tidak dapat dihindarkan. Bank Sentral Jepang melakukan qualitative quantitative easing (QQE) dengan meningkatkan pembelian surat berharga exchange traded funds, real estate investment trusts, menambah jangka waktu obligasi pemerintah, dan menambah ekspansi moneternya. Langkah ini efektif melemahkan yen terhadap dolar AS sebesar 15 persen dalam tahun berjalan dan mendorong ekspor Jepang naik 9,6 persen dalam setahun, dua kali lipat daripada ekspektasi pasar sebelumnya.

Korea Selatan langsung terpukul akibat kebijakan Jepang ini. Yen Jepang melemah hingga 20 persen terhadap won Korea. Pertumbuhan ekspor Korsel melambat hanya pada 2,5 persen dari yang ditargetkan semula mencapai 6,9 persen. Bank Sentral Korsel menurunkan tingkat suku bunga untuk menyelamatkan ekonomi, diperkirakan pada tingkat 1,75 persen.

Cina juga mengalami hal yang sama. Menguatnya Renmibi Cina terhadap dolar AS dan terhadap yen Jepang telah mendorong Bank Sentral Cina menurunkan tingkat suku bunga kredit 0,4 persen menjadi 5,6 persen, tingkat suku bunga simpanan 0,25 persen menjadi 2,75 persen.

Barry Eichengreen, guru besar ekonomi Universitas Bekeley, dan Poonam Gupta, ekonom Bank Dunia, dalam riset mereka, "Tapering Talk: The Impact of Expectations of Reduced Federal Reserve Security Purchases on Emerging Markets", menunjukkan dampak signifikan kebijakan Bank Sentral AS terhadap nilai mata uang Brasil, Rusia, India, Indonesia, Cina, Afrika Selatan, dan Turki. Sepanjang April-Juli 2013, semua mata uang negara itu melemah terhadap dolar AS, kecuali Cina, karena mematok nilai tukarnya.

Eichengreen dan Gupta menyimpulkan, ukuran-ukuran makroekonomi seperti defisit anggaran, utang negara, tingkat cadangan devisa, dan pertumbuhan ekonomi, tidak terkait langsung dengan ketahanan ekonomi terhadap goncangan eksternal. Artinya, negara yang memiliki kinerja makroekonomi yang bagus tetap memiliki risiko mata uang yang selanjutnya dapat memukul sendi-sendi perekonomian lainnya. Mereka meng identifikasi tiga hal penting dalam menghadapi gejolak eksternal. Pertama, nilai tukar mata uang yang tidak direkayasa. Kedua, defisit neraca pembayaran yang dikelola baik. Ketiga, skala pasar keuangan negara tersebut.

Itu sebabnya, Joseph Stiglitz, guru besar ekonomi Universitas Columbia, peraih Nobel Ekonomi 2001, menegas kan bahwa yang diperlukan dunia adalah kerja sama menjaga nilai tukar mata uang, bukan malah perang mata uang dengan saling mendevaluasi.

Pada zaman Umar bin Khattab RA, tepatnya pada 17-18 H, terjadi krisis ekonomi panjang yang dikenal sebagai Tahun Ramadah, tahun abu karena padang pasir berubah menjadi warna putih seperti abu akibat kemarau yang panjang. Selama dua tahun tidak ada hujan, musim paceklik panjang. Ternak mati, 60 ribu kaum Arab Badui mendatangi Madinah karena kelaparan, berbagai penyakit mewabah.

Umar RA segera memperbaiki necara pembayaran dengan mendatangkan bantuan dari Mesir, Irak, dan wilayah Islam lainnya. Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah mengirim 3.000 unta membawa gandum, gubernur Saad bin Abi Waqash mengirim 3.000 unta membawa perlengkapan musim dingin, gubernur Abu Musa al-Asy'ari mengirim 2.000 unta membawa makanan dan roti, gubernur Amr bin Ash mengirim 3.000 unta membawa makanan.

Arab Badui yang mendatangi Madinah disediakan makanan setiap hari bersama dengan penduduk Madinah sehingga persaudaraan di an tara mereka semakin terjalin. Umar RA tidak ingin datangnya bantuan memanjakan rakyat karena mereka tidak tahu sampai kapan musim paceklik akan berakhir. Beliau memerintahkan untuk makan daging berselang hari, mengajarkan metode masak dengan lebih sedikit gandum, mengurangi porsi makan hanya setengah porsi, dan tidak belanja yang tidak diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar