Harga
Diri Rupiah
Arfanda Siregar ; Dosen
Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan
|
REPUBLIKA,
16 Desember 2014
Harga
diri rupiah kian suram di tengah geliat perekonomian dunia. Nilai kursnya
terus anjlok di hadapan mata uang asing, khususnya dolar AS. Nilainya terus
terjun bebas hingga melampaui Rp 12.300 per dolar AS.
Kejatuhan
nilai rupiah yang tak dapat dikendalikan bukan perkara sepele. Harga diri
rupiah juga cerminan harga diri bangsa di mata asing. Sebagai bangsa yang
masih bergantung pada produk impor, seperti pangan, buah-buahan, bahan bakar,
mesin, sepeda motor, mobil, hingga alat berat pasti menggunakan dolar sebagai
alat pembayaran. Jika nilai dolar terus menekan rupiah, harga barang bakal
naik tak tak terkendali (inflasi).
Hal ini
pernah terjadi pada 1997, di mana 1 dolar AS yang biasanya Rp 2.000 menjadi
Rp 20 ribu. Bayangkan, apa jadinya jika harga satu unit komputer yang
biasanya Rp 1 juta dibanderol Rp 10 juta. Masyarakat kita pasti merintih jika
hal tersebut berulang kembali.
Depresiasi
rupiah juga menimbulkan kontraksi ekonomi. Perusahaan-perusahaan yang
berbasis resources import based
bakal mengalami kebangkrutan. Perusahaan tak berkemampuan lagi membeli barang
modal karena harganya naik berkali-kali lipat. Kalau sudah demikian bakal
banyak perusahaan yang gulung tikar dan merumahkan karyawan.
Melemahnya
rupiah juga berakibat pada berkurangnya likuiditas domestik serta kian
mahalnya harga-harga barang sehingga menggerus daya beli dan konsumsi
masyarakat, yang akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi.
Besarnya
pengaruh kejatuhan rupiah terhadap perekonomian nasional seharusnya tak dipandang
sebelah mata. Pemerintah harus membenahi akar masalah nilai rupiah yang terus
mengalami keruntuhan sejak Resesi Ekonomi tahun 1998. Praktis, sejak krisis
1998, nilai rupiah tergolong terburuk di dunia.
Pokok
pangkal keruntuhan nilai rupiah sebenarnya karena suplai dolar AS yang masuk
lebih rendah daripada dolar yang keluar dari dalam negeri. Hal ini disebabkan
oleh defisit neraca perdagangan. Sejak beberapa tahun belakangan Indonesia
mengalami defisit neraca perdagangan yang dipicu tingginya nilai impor
dibandingkan ekspor nasional, terutama untuk komoditas bahan bakar minyak
(BBM) dan pangan.
Padahal,
pelemahan ekspor berarti pengurangan devisa masuk. Akibatnya, kemampuan
membayar barang impor pun melemah, cadangan devisa terkuras, sementara
kebutuhan atas dolar AS melonjak, yang akhirnya menguatkan dolar AS terhadap
valuta lain di pasar global.
Tingginya
utang Indonesia juga menjadi penyebab kejatuhan nilai rupiah. Saat ini, utang
Indonesia melebihi Rp 2.036,14 triliun dengan rasio 24,7 persen terhadap
produk domestik bruto (PDB) telah menyebabkan debt service ratio (DSR) atau standar tolok ukur yang sering
dipakai untuk beban utang 37 persen PDB, jauh di atas batas normal maksimal
DSR sekitar 20 persen PDB. Akibat tingginya beban utang membuat persediaan
dolar AS kita setiap tahun terus menipis, mengingat pembayaran utang
menggunakan dolar.
Selain
faktor internal, yang tak kalah penting penyebab depresiasi rupiah adalah
membaiknya ekonomi Amerika Serikat. Logikanya mudah saja. Ketika perekonomian
AS membaik, investor bakal menarik dana investasinya dari negara lain (emerging economics)
dan mengalihkannya ke AS atau ke aset berdenominasi dolar AS. Bagaimanapun
berbisnis di Negeri Paman Sam jauh lebih aman ketimbang negara berkembang
seperti Indonesia.
Jika
pemerintah serius menyelesaikan kebangkrutan rupiah, penguatan fundamental
ekonomi bangsa wajib dilaksanakan. Pertama, memutus pembelian BBM impor.
Ketergantungan kepada BBM impor, meskipun harganya saat ini terus anjlok
tetap menguras persediaan dolar dalam negeri. Pemerintah harus berani mencari
dan membangun energi alternatif yang dapat melepaskan Indonesia dari
ketergantungan BBM impor. Sebagai upaya mencukupi ketersediaan BBM, program
diversifikasi energi harus digalakkan untuk menggantikan BBM impor yang
dibeli menggunakan dolar.
Kedua,
pemerintah harus konsisten melepaskan Indonesia dari cengkeraman pangan
impor. Negeri ini berpotensi besar surplus pangan dan komoditas pertanian
jika pemerintah serius mengurus pertanian dan melindungi hasil jerih keringat
petani dari pemburu rente produk impor.
Ketiga,
menguatkan sisi suplai valuta asing agar ekspor kita memiliki daya saing,
seperti efisiensi kelembagaan ekonomi pasar yang berbiaya murah. Hal itu
dapat terjadi jika infrastruktur dan SDM kita berkualitas dan para pemburu
rente dibabat habis.
Keempat,
memutus ketergantungan utang kepada bangsa asing. Hal ini sangat penting
mengingat utang kita jauh lebih tinggi daripada anggaran negara setiap tahun.
Bukan hanya sekadar berhenti berutang, pemerintah pun harus berani
bernegosiasi kepada pemberi pinjaman agar diringankan dalam mencicil utang.
Hal ini pernah dilakukan oleh negara pengutang, seperti India, Bolivia,
Argentina, dan Brasil demi menyelamatkan keuangan negara.
Sesungguhnya,
keberhasilan pembangunan ekonomi pemerintah Jokowi kelak dapat dilihat dari
gebrakannya membangun fundamental ekonomi bangsa. Selama ini, pemerintah
merasa telah membawa kemajuan ekonomi yang luar biasa bagi negeri ini,
terutama memacu pertumbuhan nasional.
Tren
positif pertumbuhan nasional bukan jaminan kemajuan ekonomi bangsa karena
bisa saja yang menjadi penyebab peningkatan pertumbuhan ekonomi adalah
segelintir konglomerat yang menguasai 80 persen kekayaan nasional.
Keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari keperkasaan rupiah
terhadap dolar AS.
Selama
nilai rupiah tetap tenggelam dibandingkan mata uang dolar, maka pertanda
perekonomian bangsa masih berpotensi bangkrut. Jika pemerintah ingin
menaikkan harga diri rupiah, maka fundamental ekonomi kita harus direhabilitasi.
Semoga Pemerintah Jokowi mampu menaikkan harga diri rupiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar