Spiritualitas
Pendidikan
Zaim Uchrowi ; Guru
Karakter dan Transformasi KULTURA Leadership
|
REPUBLIKA,
15 Desember 2014
"Aku
berpikir, maka aku ada." Sejak Bapak Filsafat Modern Rene Descartes
(1596-1650) mengemukakan ungkapan itu, "berpikir" menjadi begitu
penting di dunia. Paradigma analitis logis Cartesian, paham yang didasarkan
pada pandangan Descartes, dengan segera menggusur cara pandang holistik Ibnu
Sina (980-1037) yang mendominasi global selama enam abad.
Dunia
menyambut paradigma baru itu. Diperkuat oleh temuan Newton (1643-1727)
tentang hukum gravitasi, paham Cartesian pun menguasai seluruh sendi
kehidupan. Hasilnya, Barat melesat dalam peradaban dunia berbasis materialistik.
Penjajahan dengan penjarahan pada bangsa lain di satu sisi, dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di sisi lain menjadi kunci kemajuannya.
Paham
analitis logis Cartesian pun terus berkembang, termasuk ke dunia pendidikan.
Taksonomi Bloom yang menjadi acuan penting pendidikan pun diterjemahkan
secara Cartesian. Menurut Bloom, ranah pendidikan adalah kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Implementasinya menjadi kognitif, kognitif, kognitif.
"Berpikir, berpikir, berpikir." Terutama di Indonesia.
Pilihan
itu dapat dimengerti. Kognitif atau "berpikir" adalah ranah yang
paling mudah diukur. Dianggap ilmiah hanya bila dapat diukur. Ujian nasional
adalah produk cara pandang itu. Begitu pula kurikulum pendidikan selama ini.
Menjejalkan pengetahuan lalu mengujinya dianggap sebagai hal semestinya dalam
pendidikan. Dalihnya: "Pendidikan kan ranah ilmiah. Harus
serbaterukur."
Bapak
Pendidikan Ki Hajar Dewantara pernah mencoba melawan arus tersebut. Ia
mengusung pendekatan holistik ketimuran. Ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing
madyo mangun karso, tut wuri handayani merupakan produk cara pandang itu.
Kalangan pendidikan Indonesia mengapresiasi dan mengutip ucapannya, tapi
diam-diam lebih mengadopsi paham Cartesian.
Alasannya
sederhana. Kognitif, sekali lagi, paling mudah diukur. Selain itu, buku-buku
teks Barat tersedia melimpah untuk dijadikan buku teks babon. Tak ada buku
teks babon berbasis pemikiran Ki Hajar Dewantara. Pemerintah pun tak tertarik
mengembangkannya, sebagaimana para universitas negeri (mantan IKIP) juga tak
tertarik pendekatan kualitatif karena dianggap "kurang ilmiah".
Dengan
paradigma seperti itu, pendidikan nasional pun kering dan jauh dari efektif.
Apalagi dengan administrasi birokrasi yang telanjur biasa bekerja dengan
sistem ad hoc. Belum lagi penurunan kualitas SDM pendidikan setelah
putra-putra terbaik bangsa lebih banyak diserap sektor lain. Sebagian besar
mereka hanya mampu mengajar. Bukan mendidik. Itu pun secara pas-pasan.
Maka,
pendidikan nasional pun terus mengajarkan pengetahuan atau
"berpikir". Bukan mendidik. Hal yang diharapkan membuat siswa
cerdas, tapi membuat hasil sebaliknya. Menurut penilaian program
internasional PISA, daya nalar siswa Indonesia termasuk terendah dibanding
bangsa lain. Wajar bila Menteri Anies Baswedan menyebut dunia pendidikan
Indonesia sudah gawat darurat.
Menekankan
"berpikir" terbukti tak membuat siswa pandai berpikir. Sebaliknya
malah membuat mereka tidak cakap hidup. Agar berkecakapan hidup, siswa perlu
pendidikan yang dislogankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri.
Yakni pendidikan berupa "olah hati, olah pikir, olah raga (olah
fisikal-mental), serta olah rasa dan karsa (olah emosi-sosial)".
Sayangnya,
empat "olah" itu juga tak menjadi buku teks babon pendidikan.
Jadilah olah pikir lagi, olah pikir lagi. Polemik kurikulum sekarang
merupakan produk budaya olah pikir itu. Kecenderungan yang hendak dipatahkan
dengan Kurikulum 2013, dan ternyata gagal. Selain karena kurikulum—hasil
kerja ad hoc—Itu tak cukup memadai, juga karena paham olah pikir masih begitu
dominan.
Kini
saatnya mengubah pendidikan yang menekankan "berpikir". Kini
saatnya untuk membangun pendidikan yang sungguh-sungguh memberdayakan. Untuk
itu spiritualitas pendidikan diperlukan. Dengan spiritualitas pendidikan,
aspek kultural-spiritual dikedepankan. Keteladanan dan pembiasaan pun
didahulukan dibanding pengajaran. Pengajar perlu ditransformasi menjadi
pendidik.
Dengan
spiritualitas pendidikan, olah hati menjadi yang pertama. Baru kemudian
diikuti dengan olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa. Bukan lagi
"mengajari", melainkan "menyayangi" yang menjadi kata
kuncinya. Bukan lagi kuantitatif melainkan kualitatif yang menjadi alat
ukurnya. Itu yang akan membuat siswa berdaya. Terutama setelah cara pandang
"aku berpikir, maka aku ada" tergantikan oleh "aku sayang,
maka aku ada". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar