Rabu, 17 Desember 2014

Spiritualitas Pendidikan

                                           Spiritualitas Pendidikan

Zaim Uchrowi  ;   Guru Karakter dan Transformasi KULTURA Leadership
REPUBLIKA,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


"Aku berpikir, maka aku ada." Sejak Bapak Filsafat Modern Rene Descartes (1596-1650) mengemukakan ungkapan itu, "berpikir" menjadi begitu penting di dunia. Paradigma analitis logis Cartesian, paham yang didasarkan pada pandangan Descartes, dengan segera menggusur cara pandang holistik Ibnu Sina (980-1037) yang mendominasi global selama enam abad.

Dunia menyambut paradigma baru itu. Diperkuat oleh temuan Newton (1643-1727) tentang hukum gravitasi, paham Cartesian pun menguasai seluruh sendi kehidupan. Hasilnya, Barat melesat dalam peradaban dunia berbasis materialistik. Penjajahan dengan penjarahan pada bangsa lain di satu sisi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain menjadi kunci kemajuannya.

Paham analitis logis Cartesian pun terus berkembang, termasuk ke dunia pendidikan. Taksonomi Bloom yang menjadi acuan penting pendidikan pun diterjemahkan secara Cartesian. Menurut Bloom, ranah pendidikan adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Implementasinya menjadi kognitif, kognitif, kognitif. "Berpikir, berpikir, berpikir." Terutama di Indonesia.

Pilihan itu dapat dimengerti. Kognitif atau "berpikir" adalah ranah yang paling mudah diukur. Dianggap ilmiah hanya bila dapat diukur. Ujian nasional adalah produk cara pandang itu. Begitu pula kurikulum pendidikan selama ini. Menjejalkan pengetahuan lalu mengujinya dianggap sebagai hal semestinya dalam pendidikan. Dalihnya: "Pendidikan kan ranah ilmiah. Harus serbaterukur."

Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara pernah mencoba melawan arus tersebut. Ia mengusung pendekatan holistik ketimuran. Ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani merupakan produk cara pandang itu. Kalangan pendidikan Indonesia mengapresiasi dan mengutip ucapannya, tapi diam-diam lebih mengadopsi paham Cartesian.

Alasannya sederhana. Kognitif, sekali lagi, paling mudah diukur. Selain itu, buku-buku teks Barat tersedia melimpah untuk dijadikan buku teks babon. Tak ada buku teks babon berbasis pemikiran Ki Hajar Dewantara. Pemerintah pun tak tertarik mengembangkannya, sebagaimana para universitas negeri (mantan IKIP) juga tak tertarik pendekatan kualitatif karena dianggap "kurang ilmiah".

Dengan paradigma seperti itu, pendidikan nasional pun kering dan jauh dari efektif. Apalagi dengan administrasi birokrasi yang telanjur biasa bekerja dengan sistem ad hoc. Belum lagi penurunan kualitas SDM pendidikan setelah putra-putra terbaik bangsa lebih banyak diserap sektor lain. Sebagian besar mereka hanya mampu mengajar. Bukan mendidik. Itu pun secara pas-pasan.

Maka, pendidikan nasional pun terus mengajarkan pengetahuan atau "berpikir". Bukan mendidik. Hal yang diharapkan membuat siswa cerdas, tapi membuat hasil sebaliknya. Menurut penilaian program internasional PISA, daya nalar siswa Indonesia termasuk terendah dibanding bangsa lain. Wajar bila Menteri Anies Baswedan menyebut dunia pendidikan Indonesia sudah gawat darurat.

Menekankan "berpikir" terbukti tak membuat siswa pandai berpikir. Sebaliknya malah membuat mereka tidak cakap hidup. Agar berkecakapan hidup, siswa perlu pendidikan yang dislogankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri. Yakni pendidikan berupa "olah hati, olah pikir, olah raga (olah fisikal-mental), serta olah rasa dan karsa (olah emosi-sosial)".

Sayangnya, empat "olah" itu juga tak menjadi buku teks babon pendidikan. Jadilah olah pikir lagi, olah pikir lagi. Polemik kurikulum sekarang merupakan produk budaya olah pikir itu. Kecenderungan yang hendak dipatahkan dengan Kurikulum 2013, dan ternyata gagal. Selain karena kurikulum—hasil kerja ad hoc—Itu tak cukup memadai, juga karena paham olah pikir masih begitu dominan.

Kini saatnya mengubah pendidikan yang menekankan "berpikir". Kini saatnya untuk membangun pendidikan yang sungguh-sungguh memberdayakan. Untuk itu spiritualitas pendidikan diperlukan. Dengan spiritualitas pendidikan, aspek kultural-spiritual dikedepankan. Keteladanan dan pembiasaan pun didahulukan dibanding pengajaran. Pengajar perlu ditransformasi menjadi pendidik.

Dengan spiritualitas pendidikan, olah hati menjadi yang pertama. Baru kemudian diikuti dengan olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa. Bukan lagi "mengajari", melainkan "menyayangi" yang menjadi kata kuncinya. Bukan lagi kuantitatif melainkan kualitatif yang menjadi alat ukurnya. Itu yang akan membuat siswa berdaya. Terutama setelah cara pandang "aku berpikir, maka aku ada" tergantikan oleh "aku sayang, maka aku ada".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar