Turunnya
Harga Minyak
Ibrahim Hasyim ; Ketua Umum Alumni Akademi Migas
|
KORAN
SINDO, 12 Desember 2014
Harga
minyak dunia kali ini terus merosot terendah selama lima tahun terakhir.
Banyak analisis yang menjungkirbalikkan prediksi sebelumnya bahwa harga
minyak dunia akan terus naik.
Analisis
yang tepat, penting bagi pemerintah agar kebijakan yang diambil tidak keliru.
Terlebih saat ini banyak suara yang meminta harga BBM diturunkan. Pasalnya,
harga premium sudah kurang lebih sama dengan pertamax. Apakah tidak boleh?
Ingat pada tahun APBN 1972/73 dan 1973/ 74, Indonesia pernah mengalami “laba
BBM” dan sebelumnya malah laba dari premium, avgas dan avtur, di-cross
subsidikan dengan harga minyak tanah, solar, diesel, dan minyak bakar.
Karena
itu, penulis ingin menyampaikan salah satu analisis yang diulas oleh Keith
Kohl dalam publikasi “Energy and Capital“. Menurutnya, apa yang terjadi di
pasar minyak dunia saat ini, tidak lain adalah perang harga antara Arab Saudi
dan Amerika Serikat. Kalau pada dekade lalu adalah perang naik harga, tapi
kali ini turunkan harga.
Apa
boleh buat, pasar minyak dunia sangat ditentukan oleh dua raksasa ini,
Amerika Serikat sebagai konsumen utama dan Arab Saudi produsen utama. Kenapa
pada pertemuan terakhir OPEC tidak memangkas produksinya, padahal dengan
harga terus turun, ekonomi negara OPEC akan merosot.
Bisa
juga berdampak sosial huru-hara di negara yang pendapatannya sangat
bergantung pada minyak seperti Venezuela dan Nigeria. Investasi infrastruktur
di hulu juga akan menjadi lebih berisiko dan mahal. Indonesian Petroleum Association memperkirakan investasi hulu
migas Indonesia anjlok sebesar 20% dari proyeksi investasi sebesar USD32
miliar.
Senjata Penekan
Alkisah
empat dekade lalu, lewat pertemuan Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi
dan Anwar Sadat dari Mesir, dimulailah era minyak menjadi senjata untuk
menekan pihak lain. Peperangan dan pertikaian politik mendorong kenaikan
harga minyak dunia. Perang Yom Kippur antara Israel dan Mesir di tahun 1973,
harga melompat naik dari USD2,73 per barel, mencapai USD25,50 di tahun 1977,
karena Raja Faisal mengumumkan pembatasan produksi.
Krisis energi muncul, banyak negara industri kewalahan dan tidak siap.
Terjadi lagi perang Irak-Iran dan invasi Irak ke Kuwaitpada tahun1990-1991.
Harga naik menjadi USD32,29 per barel di tahun 1990 dan menyentuh USD60 dolar
per barel di tahun 2004.
Sandiwara potong tambah produksi dimainkan OPEC silih berganti.
Kemudian pada dekade berikutnya, persoalan ekonomi lebih mengemuka, negara
OPEC membutuhkan uang untuk membangun ekonomi negaranya. Naik-turunnya harga
tidak ada lagi berhubungan dengan biaya produksi. Terakhir kita tahu,
akhirnya harga sempat menyentuh USD150 per barel.
Migas
Amerika Meroket
Permainan harga OPEC sangat menyakitkan Amerika Serikat. Dengan
insentif harga tinggi, Amerika kemudian meningkatkan eksplorasi minyak dan
shale gas besar-besaran di Teluk Meksiko dan Amerika Utara. Hasilnya bukan
main, minyak dan shale gas mengalir deras dari perut bumi.
Target pun ditetapkan, akan tembus 10 juta barel per hari pada 2020.
Kenyataannya lebih cepat, sekarang sudah menembus 9 juta. Bagaimana tidak,
formasi Bakken sudah menghasilkan 1,2 juta barel per hari, dari Eagle Ford
1,5 juta dan dari Permian mencapai 2 juta barel, belum lagi dari Teluk
Meksiko, Texas, dan Oklahoma.
Amerika mengalami booming produksi mencapai angka tertinggi dalam 28
tahun terakhir. Bahkan, Badan Energi Internasional memperkirakan akan segera
menyalip Arab Saudi. Dua tahun lalu Amerika menggeser Rusia sebagai produsen
gas terbesar. Booming produksi di AS terjadi berkat penerapan teknologi.
Produksi melonjak 60 persen dan kini produksi lebih banyak dari impor.
Peningkatan produksi ini telah mengubah segalanya. Amerika mulai mengurangi
impor dari negara OPECdanmenargetkan65% dari produksi domestik. Pada Desember
2013, Menteri Perminyakan Arab Saudi Ali Al Naimi menyatakan Amerika akan
mengimpor 1,4-1,5 barel per hari selama 2014, tapi sampai Oktober hanya
878.000 barel per hari.
Arab Saudi mengerang. Bayangkan sejak 2005, impor menurun sebesar54%
dari ArabSaudi, 56% dari Venezuela, 59% dari Meksiko, dan 100% dari Nigeria.
Pergeseran lanskap sumber dan pasar minyak dunia tentu mempengaruhi perilaku,
asumsi, dan kebijakan berbagai negara.
OPEC tidak bisa lagi leluasa memainkan harga dengan cara biasa.
Produksi shale gas dengan harga yang sangat murah telah memungkinkan ekspor
dalam bentuk LNG. Perkembangan itu telah ikut mengubah paradigma Jepang dalam
meningkatkan sekuriti pasokan energi domestiknya dan menjadikan dirinya
sebagai “LNG hub“ di Asia.
Arab
Saudi Melawan
Kemampuan produksi Amerika itu sangat menakutkan Saudi, untuk itu perlu
dihentikan karena semakin merepotkan OPEC. Tapi bukan lagi dengan cara potong
produksi. Diam-diam Saudi memberi potongan harga ke negara Asia. Harga pun
meluncur turun. Namun, Menteri Perminyakan Arab Saudi membantah isu bahwa
negaranya melakukan perang harga.
Pada konferensi di Acapulco, Naimi menyebut, “Kami tidak berusaha
memolitisasi minyak, ini adalah murni bisnis,” katanya. Karena itu, Naimi
menekankan perlunya dialog lanjutan antara OPEC dengan Negara konsumen, agar
pasar dan harga stabil, baik untuk produsen, konsumen, investor, dan
negara-negara berkembang”.
Dengan harga di bawah USD70 per barel akan sulit sekali bagi Amerika
untuk mengeduk minyak dan perekahan formasi batu, karena biaya produksinya
lebih dari USD60 per barel. Dengan harga rendah, bukan hanya Amerika yang
terkena, sejagat raya juga akan terkena. Kanada akan kehilangan sebanyak 193
miliar barel yang tidak bisa dikeduk, 19 wilayah shale oil di Amerika akan
terkena dampak, karena keuntungan sangat tipis pada harga USD75 dolar per
barel.
Perlu
Sikap
Kalau analisisnya adalah perang harga, masalah ini bisa bertahan lama.
Akan ada sandiwara baru naik-turun harga. Dunia akan masuk pada dimensi baru,
dulu atur produksi antarnegara OPEC, ke depan jika berdamai, akan atur
produksi antara OPEC dan Amerika. Akan perlu sejumlah aksi bagi Indonesia,
yang perlu dilakukan. Pertama, Indonesia kini mempunyai bargaining position
kuat untuk impor jangka panjang di saat produsen kesulitan ekspor.
China memanfaatkannya dengan impor gas jangka panjang di saat Rusia
khawatir pasokan gas ke Eropa barat terganggu akibat konflik Ukraina. Kedua,
perlu segera menetapkan kebijakan subsidi tetap untuk meredam dampak
volatilitas. Ketiga, prioritaskan pengembangan jenis energi baru murah,
supaya berkembang dan berkelangsungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar