Garuda
tanpa Emirsyah
Effnu Subiyanto ; Advisor Cikal AFA-Umbrella;
Direktur Koridor; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
|
JAWA
POS, 13 Desember 2014
TREN
mundur direktur utama BUMN agaknya kini menjadi fenomena baru. Diawali
Direktur Utama PLN Nur Pamudji yang mengajukan mundur Desember tahun lalu
karena kesal lima staf di kantor sektor Belawan dan PLN pusat diperiksa
Kejaksaan Agung dalam perkara tender 12 flame turbine pada 2007–2009, namun
ditolak Menteri BUMN Dahlan Iskan. Beberapa kali Pamudji tetap bersikeras
hendak mundur dan beberapa kali pula Dahlan menolaknya.
Direktur
utama yang mundur berikutnya adalah Karen Agustiawan sejak 1 Oktober tahun
ini. Legacy (warisan) Karen malah
luar biasa dan mencapai puncaknya pada 2013. Laba bersih Pertamina, BUMN yang
dipimpin Karen, adalah USD 3,07 miliar (Rp 32,05 triliun) atau naik 11 persen
dibanding kinerja 2012 sebesar USD 2,77 miliar. Meskipun di sisi lain
Pertamina menyatakan rugi bersih Rp 5,7 triliun dari bisnis elpiji nonsubsidi
12 kg, fakta itu tidak mengurangi kinerja Karen.
Kini,
tidak ada angin tidak ada hujan, Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah
Satar juga menyatakan mundur (Jawa Pos,
11 Desember 2014). Masa kerja Emirsyah sebetulnya sampai Maret 2015.
Namun, dengan alasan ingin memberikan waktu lebih banyak kepada penggantinya,
dia mengajukan pengunduran diri terhitung sejak 8 Desember 2014.
Legacy Emirsyah
Mundurnya
Emirsyah sebetulnya menimbulkan tanda tanya besar karena kinerja Garuda yang
bertepatan memburuk. Kendati nilai asetnya membesar sampai USD 3,162 miliar
(September 2014), total kewajibannya USD 2,124 miliar atau 67,17 persen. Ini
jauh melebihi batas aman internasional debt service ratio (DSR) sebesar 44
persen.
Semester
I 2014 rugi bersih USD 211,7 juta atau Rp 2,3 triliun dan kembali melonjak
pada kuartal III sebesar USD 219,54 juta. Rugi nilai tukar melonjak 20 persen
pada semester I, sementara itu rugi karena dampak penggabungan passenger service
charge (PSC) saja Rp 52,8 miliar sepanjang dua tahun yang kemudian dihentikan
pada 1 Oktober 2014. Kerugian Garuda naik 14 kali lipat secara yoy dibanding
tahun lalu sebesar USD 15,01 juta. Sementara itu, pendapatannya hanya naik
4,08 persen menjadi USD 2,81 miliar.
Penyebabnya
adalah banyaknya aksi korporasi yang dilakukan Garuda. Strategi Garuda adalah
banyak menyewa pesawat baru, membuat rute-rute baru, padahal pada saat
bersamaan nilai tukar rupiah terus merosot. Pada periode 2016–2018, misalnya,
maskapai pelat merah itu akan mendatangkan sepuluh pesawat Airbus dengan
modal utang USD 810 juta. Utang tersebut bertenor 10–12 tahun. Ekspansi
Garuda masih belum selesai. Pada periode 2017–2023 kembali 50 pesawat baru
akan didatangkan dengan investasi USD 4,9 miliar. Total jumlah pesawat yang
dioperasikan Garuda sekarang 169 unit dan akan menjadi 194 pesawat pada 2015.
Akhir
November 2014 Garuda membuat kerja sama code
share dengan Myanmar Airways International. Jejaring internasional terus
dibangun sejak masuknya Garuda dalam SkyTeam, aliansi penerbangan global,
awal tahun ini dan ini sangat menguntungkan penumpangnya.
Ada 20
maskapai dunia yang menjadi anggota Sky Team dan menjangkau sedikitnya seribu
rute internasional. Terbang dengan maskapai nasional Garuda sekarang tidak
lagi bisa disebut kampungan pada level internasional. Pada rute-rute penting
dunia, nama Garuda sudah tidak asing lagi dan ini membawa kebanggaan bangsa
Indonesia.
Modal Kompetisi
Meski
demikian, strategi Garuda yang ekspansif sekarang ini harus diapresiasi
karena akan menjadi modal penting dalam menghadapi MEA open sky tahun depan.
Daya angkut Garuda meningkat 2,7 kali dan kini menjadi 20,9 juta penumpang
per tahun. Dengan banyaknya tambahan armada pesawat baru, daya angkut kargo
juga melonjak menjadi 292.888 ton per tahun (September 2014). Bahkan, kini
Garuda menjadi the best airline nomor 7 dunia.
Emirsyah
adalah CEO yang bersedia taking risk
dengan mempertaruhkan opportunity
untung sekarang, namun digunakan untuk memperbesar amunisi untuk persaingan
regional, bahkan global. Karena itu, melihat modal Garuda yang demikian kuat
ini dan selalu penuhnya seat Garuda dengan okupansi di atas 80 persen, ke
depan Garuda seharusnya sudah tidak boleh melapor rugi.
Tugas
direktur utama yang baru, yakni Arif Wibowo, sebenarnya relatif mudah karena
harus membawa perusahaan rugi menjadi perusahaan untung. Ini berbeda dengan
tugas Dwi Soetjipto yang berat di Pertamina. Karena Pertamina kini sudah
untung USD 3,07 miliar (Rp 32,05 triliun), tugas Dwi harus membuat untung
lebih besar lagi tahun depan. Padahal, ketika harga BBM mendekati pasar,
masyarakat mulai akan melirik kompetitor Pertamina.
Yang
sangat positif dari banyaknya direktur utama BUMN yang mundur adalah
berjalannya estafet kepemimpinan. Menjadi direktur utama BUMN kini bukan
hasil rebutan lagi, melainkan sebuah amanah mahaberat. Sebab, jika salah
menjalankannya, penjara yang akan menunggunya.
Selamat
jalan, Pak Emir. Selamat datang, Pak Arif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar