Century
dan Memori Publik
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI;
Anggota Tim-9; Inisiator Kasus Bank Century
|
KORAN
SINDO, 12 Desember 2014
Lima
tahun sudah mega skandal Bank Century mewarnai jagat isu negara ini. Luar
biasa, karena publik bukan hanya tidak bosan, melainkan masih penasaran.
Untuk
menunjukkan ketajaman pisau hukum di negara hukum ini, publik akan terus
mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan proses hukum kasus
ini tanpa pandang bulu atau status. Dalam nada penuh tanya, publik sering
mendiskusikan mengenai seperti apa ujung dari proses hukum kasus Bank
Century?
Berakhir
pada vonis pengadilan Tipikor Jakarta terhadap mantan deputi Gubernur Bank
Indonesia (BI) Budi Mulya? Atau, proses hukum akan berlanjut pada sejumlah
nama yang selama ini diyakini tidak bisa dipisahkan dari aspek penyalahgunaan wewenang pada jabatannya
masing-masing?
Pertanyaan
seperti ini wajar saja karena operasi
penyelamatan dan penyalahgunaan dana bailout melibatkan wewenang
penguasa politik dan wewenang penguasa sektor moneter. Menurut asumsi banyak
orang yang awam hukum pidana maupun awam hukum tata negara, sangat tidak
mudah menjerat figur-figur seperti itu, walaupun mereka kini berstatus mantan
penguasa.
Namun,
tanpa bermaksud memaksakan kehendak, publik berharap proses hukum kasus Bank
Century tidak berakhir di area abu-abu alias tanpa kejelasan sama sekali,
seperti halnya nasib beberapa kasus besar yang pernah terjadi di negara ini.
Sebutlah dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga kasus
kartel daging sapi yang konon melibatkan seorang perempuan berjuluk Bunda
Putri itu.
Mengacu
pada harapan publik itu, semoga KPK tidak kompromistis dalam melanjutkan
proses hukum kasus Bank Century. Bagaimanapun, publik akan menjadikan kasus
ini sebagai alat untuk menguji ketajaman pisau hukum di negara hukum ini.
Jika proses hukum kasus Bank Century terhenti pada terdakwa Budi Mulya,
publik akan menilai semua institusi penegak hukum tidak kredibel.
Dan,
karena itu, jangan pernah lagi mengklaim Indonesia sebagai negara hukum.
Sejak pekan pertama November 2014, sejumlah kalangan mengungkit kembali
kenangan mereka akan gerakan politik sejumlah anggota DPR menggagas Hak
Angket kasus Century pada 12 November 2009. Dimotori Tim Sembilan, usul Hak Angket
Century yang awalnya ditandatangani 139 anggota DPR periode 2009-2014 dari
delapan fraksi itu diserahkan ke pimpinan DPR RI dan disetujui.
Penggunaan Hak Angket DPR itu membuahkan kesepakatan tentang urgensi
penyelidikan oleh DPR. Maka, terbentuklah Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk
kasus bailout Bank Century. Kenangan itu rupanya berkait dengan rencana
peluncuran buku baru berjudul Tim
Sembilan, Membongkar Skandal Century karya Monang Sinaga.
Tak pelak, rencana peluncuran buku ini mendorong publik untuk
mempertanyakan kelanjutan proses hukum mega skandal ini. Menariknya, di
sela-sela kenangan dan perbincangan mengenai buku itu, beredar pula isu baru
yang cukup menghentak banyak kalangan sepanjang Kamis (4/12) malam hingga
keesokan harinya. Isunya, KPK telah menetapkan mantan Wakil Presiden Boediono
sebagai tersangka kasus Bank Century.
Isu ini pun buru-buru dibantah KPK. KPK menegaskan bahwa belum ada
ekspose tentang status Boediono. Kelanjutan penyidikan kasus ini harus
menunggu keputusan tetap (inkracht)
dari banding yang diajukan terdakwa Budi Mulya. Dengan begitu, sejauh ini
belum ada penambahan jumlah tersangka dalam kasus Century ini. Status
Boediono pun masih sebagai saksi.
Tidak ada yang tahu apakah isu itu direkayasa untuk memberi warna
khusus pada kenangan akan sepak terjang Tim Sembilan, atau hanya kebetulan
belaka. Namun, dari mana pun isu itu bersumber, dia menjadi bukti tentang
kuatnya memori publik pada proses hukum kasus Bank Century.
Melalui isu seperti itu, pesannya sangat jelas bahwa publik ingin
mempertanyakan kelanjutan proses hukum kasus Bank Century. KPK sudah
menjawabnya, dan publik pun menghargai serta percaya pada jawaban itu. Namun,
perlu dicamkan oleh KPK bahwa pada waktunya nanti, pertanyaan itu akan
disuarakan lagi.
Terus
Mengawal
Sudah terbukti bahwa skandal Bank Century adalah kasus hukum yang akan
terus menyedot perhatian publik. Karena itu, status hukum Boediono pun akan
terus menjadi pergunjingan. Wajar jika publik yang awam beranggapan bahwa kelanjutan
proses hukum kasus Bank Century terkesan lamban, khususnya pascapenetapan
vonis terdakwa Budi Mulya.
Maka itu, rumor dengan topik “Boediono
berstatus tersangka” yang berseliweran baru-baru ini hendaknya dipahami
sebagai aspirasi publik kepada KPK untuk segera menuntaskan proses hukum
skandal Century. Tanpa terasa, kasus hukum ini telah berproses selama
lima tahun, dan rentang waktu sepanjang itu terasa sangat lama. Bukti-bukti
sudah lebih dari cukup.
Pisau hukum mestinya tidak boleh tumpul di hadapan bukti-bukti itu.
Memang, banyak kalangan prihatin mengingat Boediono berstatus mantan wakil
presiden yang patut dihormati. Maka agar status hukum Boediono tidak terus
terombang-ambing seperti sekarang, percepatan proses hukum, termasuk banding
yang diajukan Budi Mulya, menjadi sangat beralasan.
Seperti diketahui, setelah Majelis Hakim Tipikor Jakarta menjatuhkan
vonis untuk terdakwa Budi Mulya, kelanjutan proses hukum untuk menuntaskan
mega skandal Bank Century menjadi sebuah konsekuensi logis, sesuai bunyi
dakwaan Jaksa penuntut dari KPK. Menurut Jaksa Penuntut KPK, Budi Mulya
terbukti melakukan korupsi terkait FPJP dan penetapan Bank Century sebagai
bank gagal berdampak sistemik.
Budi dinilai melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tindak Pidana
Korupsi No 20/ 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP
sebagaimana dakwaan primer. Penuntut KPK juga menegaskan, “Terdakwa selaku deputi gubernur BI
menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya secara bersama-sama dengan Boediono
selaku gubernur BI, Miranda S Goeltom selaku deputi senior BI, Siti Fadjriah
selaku deputi gubernur bidang 6, Budi Rochadi, almarhum selaku deputi
gubernur bidang 7, Robert Tantular, dan Harmanus H Muslim.”
Dari argumentasi itu, mudah untuk ditarik kesimpulan bahwa masih ada
beberapa nama yang juga perlu menjalani proses hukum untuk kejelasan prinsip
siapa bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewenangannya dalam kasus ini.
Harap diingat, Budi Mulya itu hanya seorang deputi gubernur BI.
Dia mengambil keputusan berdasarkan masukan dari deputi gubernur BI
lainnya, dan tentu saja berdasarkan restu Gubernur BI saat itu. Bukankah
berlaku ketentuan Kolektif Kolegial dalam mekanisme pengambilan keputusan
pada forum Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI? Tim Sembilan memang telah bubar
dengan sendirinya.
Namun, tidak berarti pengawalan terhadap proses hukum kasus ini
terhenti. Secara moral, semua anggota Tim Sembilan bersama publik tentunya
akan terpanggil untuk terus mengawal dan juga mengkritisi. Bahkan, kalau
perlu, setiap anggota Tim Sembilan akan berkreasi melalui tindakan dan
pernyataan untuk terus menyegarkan memori publik pada kasus ini.
Tidak ada tujuan lain kecuali mendorong institusi penegak hukum untuk
secara berkesinambungan mempertajam pisau hukum di hadapan segenap warga
negara, tanpa pengecualian. Proses hukum Kasus Century yang masih berjalan
saat ini jelas-jelas belum memuaskan dahaga publik akan keadilan. Proses
hukumnya harus berakhir dengan tuntas, jelas dan berkepastian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar